JAKARTA, GRESNEWS.COM - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Taufan Tiro akhirnya ditahan oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Taufan sendiri sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dalam pembahasan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang melibatkan kolega Taufan dari Komisi V Damayanti Wisnu Putranti.

Penahanan terhadap Andi melengkapi rentetan tersangka yang telah ditahan. Sebagian diantara tersangka itu bahkan telah diadili dan divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir yang dihukum selama 4 tahun.

Sementara pelaku lainnya yaitu Damayanti dan dua asistennya Julia Prasetyarini serta Dessy A. Edwin perkaranya sudah masuk dalam proses persidangan. Begitupula anggota dewan lainnya Budi Supriyanto yang kini sedang diadili majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Berikutnya ada nama Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary yang juga baru beberapa minggu lalu ditahan KPK. Dengan demikian, dalam kasus ini, ada total 7 orang tersangka yang telah menjalani proses hukum baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan.

Dari proses persidangan kasus ini, ternyata ada nama lain yang muncul yang diduga juga ikut menerima suap. Mereka juga berasal dari Komisi V yaitu dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana serta dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin.

Dua nama politisi di atas memang diduga kuat juga turut menerima uang suap dari para pengusaha di Maluku. Khusus untuk Musa, namanya telah tertera dalam surat dakwaan dan tuntutan Abdul Khoir sebagai pihak yang turut menerima uang. Musa diduga menerima uang sebesar Rp7 miliar dari Khoir untuk mempermulus proyek jalan di Maluku.

Uang tersebut diberikan melaui salah satu tenaga ahli DPR RI Jaelani melalui staf Musa yang bernama Mutakim. "Pada saat pemeriksaan lanjutan di KPK, tadinya saya tidak tahu. Tetapi setelah ditunjukkan foto, saya yakin itulah orang yang saya temui. Baru tahu namanya Mutakim," kata Jaelani di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (4/5).

Sayangnya, KPK sepeti kesulitan menjerat Musa dalam kasus ini. Bahkan, Musa seperti tak disentuh oleh para penyidik KPK, meski namanya sudah muncul di fakta persidangan. Namun pihak KPK membantah hal itu.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, pihaknya masih terus melakukan pendalaman termasuk kemungkinan untuk menjerat Musa Zainuddin dalam perkara ini. Apalagi namanya juga disebut dalam fakta persidangan.

"Iya, masih terus dilakukan pendalaman. Selama mempunyai alat bukti yang cukup penyidik dapat menetapkan sebagai tersangka," kata Priharsa, Selasa (6/9) malam.

Menurut informasi yang diperoleh, kesulitan KPK dalam menjerat Musa karena pemberian suap tidak langsung diberikan kepadanya. Uang tersebut diberikan oleh Abdul Khoir melalui Jaelani, dan Jaelani memberikan kepada staf Musa bernama Mutakin. Untuk menjerat Musa, KPK harus menggali keterangan dari Mutakim.

KETERLIBATAN MUSA ZAINUDDIN - Untuk menggali bukti keterlibatan Musa, KPK memang sudah memeriksa Mutakin beberapa waktu lalu. Mutakim diperiksa sebagai saksi untuk Amran Hi Mustary. Staf ahli anggota Komisi V DPR Jailani Paranddy sendiri mengaku ingat pernah memberikan uang sekitar tanggal 26-27 Desember 2015, di sekitar kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.

Saat itu, Jaelani menyerahkan uang sebesar Rp 7 miliar kepada Mutakim untuk diserahkan kepada Musa. "Dalam rapat di Komisi V, sekitar bulan Agustus sampai Oktober 2015, saya lihat dia mendampingi Musa. Saya tidak asing dengan wajah dia," kata Jailani di persidangan.

Dugaan keterlibatan Musa dalam kasus ini juga diperkuat dari masuknya nama Musa dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Abdul Khoir. Jaksa pada KPK menyebut, Musa Zainuddin ikut menerima duit suap dari Dirut PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Anggota Komisi V DPR RI ini menerima fee sebesar 8% atau senilai 8 miliar dari total nilai proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara.

"Musa Zainuddin menyetujui permintaan terdakwa (Abdul Khoir) agar proyek aspirasinya senilai Rp104,76 miliar diserahkan untuk dikerjakan oleh terdakwa dan So Kok Seng alias Aseng (Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa) dengan komitmen terdakwa dan Aseng memberikan fee 8% dari nilai proyek atau sejumlah Rp 8 miliar," kata Jaksa pada KPK saat membacakan berkas dakwaan untuk Abdul Khoir, Mochamad Wiraksajaya di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar, Jakpus, Senin (4/4).

Proyek yang diserahkan untuk dikerjakan kedua pengusaha ini adalah proyek pembangunan Jalan Piru-Waisala senilai Rp 50,44 miliar akan diserahkan kepada Abdul Khoir. Untuk mendapatkan proyek tersebut, Abdul Khoir bersedia memberikan fee sebesar 8% dari nilai proyek, yakni sejumlah Rp3,52 miliar kepada Musa Zainuddin.

Kemudian proyek pembangunan jalan Taniwei-Saleman senilai Rp54,32 miliar akan diberikan kepada Aseng. Dengan konsekuensi, Aseng harus memberikan fee sebesar 8% dari nilai proyek yakni Rp4,48 kepada Musa Zainuddin.

Pada tanggal 16 November 2015 terjadi penyerahan sebesar Rp2,8 miliar dan Sin$103.780 dari Erwantoro yang merupakan suruhan Abdul Khoir kepada Jailani yang dikemas dalam tas ransel warna hitam di parkiran Blok M Square Melawai Jakarta Selatan. Pemberian tahap kedua diberikan kepada Jailani sejumlah Rp2 miliar dan Sin$103.509 yang diserahkan di parkiran kantor PT Windhu Tunggal Utama, Jakarta Selatan.

"Pemberian tahap ketiga, terdakwa memerintahkan Erwantoro untuk memberikan uang Rp1,2 miliar dalam satuan dolar Singapura menjadi sejumlah Sin$121.088 yang dikemas dalam amplop cokelat dan diserahkan di Food Hall Mal Senayan City," kata Jaksa.

Kemudian pada tanggal 28 Desember 2015 di Komplek Perumahan DPR, Kalibata, Jaksel, Jailani menyerahkan Rp3,8 miliar dan Sin$328.377 kepada Musa Zainuddin melalui seseorang. Sedangkan Rp1 miliar diberikan kepada Jailani untuk dibagi berdua dengan Henock Setiawan alias Rino. (dtc)

BACA JUGA: