JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tersangkut kasus korupsi dan harus mendekam di balik terali besi, tak membuat ambisi politik Abdullah Puteh untuk kembali menduduki kursi gubernur Aceh hilang. Puteh, yang tersangkut kasus korupsi pembelian dua unit helikopter MI-2 pada 2004 lalu, divonis 10 tahun penjara.

Namun dalam perjalanannya, Puteh hanya menjalani hidup di balik jeruji besi selama lima tahun. Pada 18 November 2009, Puteh menjalani masa pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Puteh kemudian mendapatkan status bebas murni pada 2013.

Setahun setelah bebas murni, Puteh pun kembali ke jalur politik dan kini tengah berupaya untuk kembali bertarung memperebutkan kursi gubernur Aceh dalam pilkada serentak 2017 nanti. Sayangnya, langkah Puteh untuk kembali berkuasa di Aceh masih terhalang Pasal 67 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Dalam pasal tersebut diatur: Calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal lima tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.

Karena itulah, Puteh kemudian mengajukan uji materi atas beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu (20/7) lalu. Dalam gugatannya, Puteh yang diwakili kuasa hukumnya, Supriyadi Adi, menyatakan, aturan dalam Pasal 67 Ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh tidak sinkron dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada).

Supriyadi menyatakan, UU Pilkada sudah tidak mensyaratkan tentang larangan bagi mantan narapidana dalam perkara yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara. Puteh meminta UU Pemerintahan Aceh disamakan dengan UU Nomor 8 Tahun 2015.

Dalam persidangan kedua gugatan ini yang berlangsung, Selasa (26/7), pihak Puteh sudah melakukan perbaikan atas gugatannya seperti yang disarankan majelis hakim MK yang terdiri dari dari Aswanto, Patrialis Akbar dan I Dewa Gede Palguna. Pada persidangan pendahuluan itu, majelis hakim meminta pemohon untuk memperbaiki argumen (materi).

"Karena ada permohonan percepatan, dalam hukum acara tidak dikenal percepatan, tapi argumen saudara harusnya dipertajam di legal standing," ujar Aswanto.

Majelis hakim kemudian memberikan waktu hingga 2 Agustus 2016 kepada pemohon untuk memperbaiki. Namun, perbaikan dilakukan segera oleh pihak Puteh. Salah satu poinnya adalah menegaskan materi gugatan.

"Maksud permohonan kami adalah mengajukan pengujian Undang-Undang Pemerintahan Aceh, agar klien kami bisa ikut serta dalam Pilkada 2017 di Provinsi Aceh," kata Supriyadi.

Dia menegaskan, tidak sinkronnya peraturan dalam UU PA dengan UU Pilkada telah merugikan hak konstitusi kliennya, yakni Abdullah Puteh yang terganjal hak politiknya untuk bertarung dalam Pilkada Aceh 2017. "Berlakunya norma dalam Pasal 67 Ayat 2 huruf g UU Pemerintahan Aceh jelas merugikan Abdullah Puteh," ujarnya.

Hal tersebut sekaligus menegaskah legal standing Puteh untuk mengajukan gugatan. Kuasa hukum Puteh lainnya, Heru Widodo, menyampaikan, berlakunya norma tersebut merupakan sebuah kesewenang-wenangan. "Kalau kita melihat seakan-akan pembuat UU menghukum seseorang tanpa batas waktu atau selamanya tidak dapat menjadi kepala daerah, akan menghambat untuk berpartisipasi secara aktif dalam agenda demokrasi negara kita," ujarnya.

TERGANTUNG MK - Pihak Puteh menilai, Pasal 67 Ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, harus dibatalkan. Pasalnya aturan serupa dalam UU Pilkada sudah lebih dulu digugurkan oleh MK. Berdasarkan Keputusan MK Nomor 42/PUU-XII/2015, dinyatakan, Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada masyarakat atau publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

Meski beranggapan memiliki dalil yang kuat, langkah Puteh untuk kembali ke kancah politik lewat jalur independen ini masih akan tergantung keputusan para majelis hakim MK. Jika MK memenangkan gugatan Puteh maka langkahnya untuk kembali bertarung di Pilkada 2017 akan mulus.

Jika tidak, Puteh tentu harus mengubur dalam-dalam impiannya kembali menduduki kursi gubernur Aceh yang hilang dari genggaman sejak 2004 lalu. Saat itu Puteh harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran terlibat kasus korupsi pembelian dua helikopter MI-2.

Kasus Puteh saat itu termasuk kasus besar yang ditangani KPK yang baru saja secara resmi berdiri. Dalam perjalanannya, setelah melalui proses pengadilan, Puteh lalu dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Tapi putusan pengadilan itu bak macan ompong. Sebab pada kenyataannya Puteh hanya menjalani hidup di balik jeruji besi selama lima tahun. Pada 18 November 2009, Puteh sujud syukur di depan Lapas Sukamiskin, Jalan Sukamiskin, Bandung, karena bebas bersyarat.

Kakanwil Depkum HAM Jabar Danny Hamdany Kusumapradja menyatakan Puteh bisa bebas murni pada tahun 2013. Selama bebas bersyarat, Puteh tidak diperbolehkan pergi ke luar negeri. "Kalau akan ke luar negeri harus izin Depkum HAM, tidak boleh asal-asalan, bisa dicabut kalau melanggar," ujar Danny kala itu.

Selepas dari penjara, Puteh kembali aktif di kancah politik. Puteh mendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. 

"Kita mencari seorang presiden yang setia pada Aceh. Kita banyak lihat pemimpin yang tidak setia pada Aceh. Kita lihat sosok orang Jawa tapi setia pada Aceh namanya Prabowo Subianto," kata Puteh saat menemani Prabowo berkampanye di pelataran parkir Stadion H Dirmutala, Banda Aceh, pada 11 Juni 2014. (dtc)

BACA JUGA: