JAKARTA- Kontitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menilai kuota keterwakilan perempuan 30% di legislatif dari tahun ke tahun masih jauh dari Harapan. Termasuk juga terbukanya pintu politik bagi para penyandang disabilitas masih sulit terealisasi.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ekonomi KODE Inisiatif Rahmah Mutiara mengatakan sejak Pemilu 2014 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mewajibkan partai politik memenuhi kuota keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik.

Dalam pencalonan anggota legislatif, partai peserta pemilu wajib mencalonkan calon anggota legislatif perempuan minimal 30% dari jumlah calon anggota legislatif yang diusung.

"Akan tetapi keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai jumlah yang diharapkan," kata Rahmah melalui surat elektronik kepada Gresnews.com, Rabu, (28/10/2020).

Berdasarkan hasil Pemilu 2009, meskipun calon anggota legislatif perempuan sudah memenuhi 30%, yang terpilih dan dilantik sebagai anggota dewan hanya 11,1%. Tahun 2014, dari 37% calon anggota legislatif perempuan, hanya 17,1% yang melenggang ke Senayan.

Begitu juga Pemilu Serentak 2019, hanya melenggangkan 20,9% calon anggota legislatif perempuan sebagai anggota DPR.

Rahmah melanjutkan, disisi lain, diakomodirnya kesetaraan dan akses politik terhadap penyandang disabilitas yang dituangkan melalui UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bagi mereka untuk tidak hanya dapat menggunakan hak pilih. Melainkan mereka juga dapat mengajukan diri untuk dipilih sebagai anggota DPR, DPD, DPRD, bahkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

Hasilnya, terdapat 43 calon anggota legislatif penyandang disabilitas yang ikut sebagai peserta pemilu di semua tingkatan pada Pemilu 2019.

"Dari 43 calon anggota legislatif penyandang disabilitas, terdapat tiga puluh satu (31) laki laki dan 13 calon anggota legislatif lainnya adalah perempuan," jelasnya.

Pada saat yang sama, kata Rahmah, rencana pembangunan yang disusun pemerintah juga mengakomodasi tentang penguatan keterwakilan perempuan di parlemen ini sebagaimana dicantumkan di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Sejumlah arah pembangunan dan strategi yang diterapkan dalam RPJMN 2015-2019 menegaskan tentang pentingnya peningkatan upaya fasilitasi bagi partai politik dalam pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pemilu, peningkatan kapasitas perempuan dalam pemenuhan hak politik.

"Pendidikan politik bagi masyarakat tentang pentingnya keterwakilan perempuan di lembaga politik, hingga pengembangan jaringan antar kelompok perempuan," terangnya.

Akan tetapi, beragam kebijakan dan strategi pemenuhan keterwakilan perempuan baru terbatas pada tahapan sebelum pemungutan suara. Padahal, praktik pemilu menunjukkan adanya potensi pergeseran hasil pemilu paska-pemungutan suara.

"Sehingga potensi pemenuhan keterwakilan perempuan tergerus oleh persoalan hukum yang muncul paska pemungutan suara," tutur Rahmah.

Menurut Rahmah, data perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menunjukkan adanya 901 kasus permohonan dimana 4,99% adalah permohonan perselisihan hasil pemilu oleh calon anggota legislatif perempuan atau 45 permohonan.

Pada Pemilu 2019, meskipun ada penurunan jumlah kasus sengketa pemilu menjadi 613, prosentase permohonan perselisihan hasil pemilu oleh calon anggota legislatif perempuan mengalami peningkatan. "Yaitu di angka 6,19% permohonan atau 38 permohonan," ujarnya.

Di tengah sistem pemilu langsung dan serentak yang rumit, tantangan bagi calon anggota legislatif perempuan dan penyandang disabilitas jauh lebih kompleks. Calon anggota legislatif tidak hanya berkompetisi antar calon anggota legislatif dalam satu partai, tetapi juga berkompetisi lintas partai.

Di sisi lain, lanjut Rahmah, dengan Pemilu serentak, perhatian publik lebih tersita pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan bukan kepada pemilihan anggota legislatif.

"Coat-tail effect yang diharapkan bisa terjadi melalui pemilihan umum serentak ini belum bisa terwujud," katanya.

Selain itu, menurutnya, calon anggota legislatif perempuan dan calon anggota legislatif penyandang disabilitas juga harus menghadapi pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan massif dan/atau bahkan menggeser kemenangan calon legislatif tertentu.

Setidaknya terdapat dua contoh kasus yang menguatkan argumentasi ini.

Pertama, Putusan MK Nomor 02-10/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 disampaikan Pemohon selaku Calon Anggota Legislatif dari Partai Hanura atas nama Dr. Hj. Elza Syarief yang mendalilkan telah terjadi pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM) sebagaimana tertuang dalam Putusan 02-10/PHPU-DPR-DPRD/X-II/2014.07.

Kedua, Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 6801-15/AP3-DPR-DPRD/PAN.MK/2019.

Hal ini sebagaimana yang didalilkan oleh Calon Anggota Legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atas nama Fitroh Nurwijoyo Legowo, S.Pd terkait Netralitas Penyelenggara dan Birokrasi yang menyebabkan pergeseran kemenangan calon anggota legislatif pada tahun 2019 yang tertuang dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 68-01-15/AP3-DPR- DPRD/PAN.MK/2019.

Oleh karena itu, kata Rahmah, agenda afirmasi bagi perempuan dan penyandang disabilitas idealnya tidak terbatas pada upaya mendorong pengenalan kepada pemilih dan membangun elektabilitas calon.

"Tetapi juga untuk memastikan agar keterpilihan mereka tidak termanipulasi melalui tindakan ilegal dalam pemilu," imbuhnya.

Menurutnya, terdapat tiga persoalan mendasar yang dihadapi perempuan dan penyandang disabilitas dalam menghadapi permasalahan hukum kepemiluan.

Pertama, akses informasi dan pemahaman terhadap permasalahan hukum kepemiluan. Kedua, akses terhadap pendampingan hukum.

"Ketiga, akses terhadap partai politik dalam memberikan rekomendasi dan pendampingan dalam hal calon anggota legislatif perempuan dan penyandang disabilitas hendak mengajukan sengketa administrasi maupun hasil," terangnya.

Oleh karena itu, kata Dia, penting untuk menyusun sebuah kebijakan yang bisa mendorong penguatan keterwakilan perempuan dan penyandang disabilitas. Selain untuk memperkuat kebijakan afirmasi yang sudah ada, kebijakan ini juga bisa berkontribusi kepada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

"Khususnya memastikan pengambilan keputusan yang bersifat mewakili, responsif, inklusif, dan partisipatif di semua tingkat," ungkapnya. (G-2)

BACA JUGA: