JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkeyakinan Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung,  Andri Tristianto Sutrisna tidak bermain sendiri dalam kasus  suap penundaan pengiriman salinan putusan. Sebab Andri tidak memiliki kewenangan untuk menunda salinan putusan yang harus dikirim ke pengadilan negeri untuk dieksekusi. Untuk itu KPK terus menelisik keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara tersebut.

Kemarin KPK telah memeriksa Panitera MA, Soeroso Ono dan Panitera Muda Pidana Khusus MA, Rocki Panjaitan sebagai saksi untuk tersangka Andri. Dari keterangan yang disampaikan ada keterangan yang cukup menarik perihal kasus ini.

Rocki misalnya, mengaku bahwa salinan putusan itu baru dikirimkan setelah ada operasi tangkap tangan KPK terhadap Andri. Ia berdalih, bahwa lambatnya pemberian salinan putusan kasasi terhadap Direktur Utama PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi ini karena ada panitera yang meninggal dunia.

"Selama ini sudah berusaha diselesaikan tapi karena panitera meninggal itu," kata Rocki seusai menjalani pemeriksaan, Rabu (25/2) kemarin.

Anehnya, Rocki mengklaim tidak mengetahui secara pasti kapan panitera itu meninggal dunia dan soal pejabat lain yang menggantikannya. Ia justru melempar bola dengan mengatakan bahwa ketika operasi penangkapan salinan masih ada di majelis hakim.

"Belum ada di Pidsus (salinan putusan-red), ya itu, setelah (OTT) dikirim," ujar Rocki.

Sementara itu, panitera MA Soeroso Ono yang juga dimintai keterangan penyidik justru menyalahkan Ichsan yang mau saja dibohongi oleh Andri. Soeroso menyebut tindakan yang dilakukan oleh Ichsan dengan menyuap Andri merupakan tindakan bodoh. "Yang kasih duit itu bodoh," imbuh Soeroso.

Menurut Soeroso , Andri tidak mempunyai wewenang untuk menunda salinan putusan yang masuk dalam kategori pidana khusus seperti korupsi. Sebab Andri berada pada kasus perdata.

Selain itu, jaksa sudah bisa mengeksekusi Ichsan setelah putusan kasasi dibacakan. Sehingga tidak perlu lagi butuh salinan putusan kasasi dari Mahkamah Agung. "Dengan adanya kutipan putusan saja, Jaksa sudah bisa dieksekusi," imbuh Soeroso.

Soeroso pun menyesalkan segala tindakan yang dilakukan Andri. Sebab perbuatannya itu selain mencoreng lembaga peradilan tertinggi, perbuatan tersebut juga berakibat fatal bagi Andri sendiri. "Pasti dipecat, tapi nunggu inkracht, sampai terbukti nanti," tuturnya.

TELISIK PIHAK LAIN - Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, pemeriksaan kedua pejabat MA itu memang untuk mengetahui bagaimana mekanisme pemberian salinan putusan di Mahkamah Agung. "Iya, kita mau tahu mekanismenya," pungkas Priharsa kepada gresnews.com.

Selain itu, Priharsa juga mengatakan bahwa kasus ini tidak akan berhenti di Andri saja. Sebab cukup aneh jika memang Andri menjanjikan salinan putusan pidana khusus yang bukan kewenangannya. Andri sendiri membawahi kasus-kasus perdata di MA.

"Sejauh mana proses penanganan perkara disana, bagaimana juga mekanismenya. Lalu siapa-siapa saja yang memiliki kewenangan. Dan jika Andri itu menjanjikan, apa dia punya kewenangan? Apabila tidak, kenapa dia bisa menjanjikan itu," kata Priharsa.

Kasus dugaan suap ini terungkap dari Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK pada 12 Februari 2016. Pada Tangkap Tangan itu, KPK berhasil mengamankan tiga orang. Mereka adalah Kasubdit Kasasi dan PK Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna; Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi serta seorang Pengacara bernama Awang Lazuardi Embat.

Ichsan diduga telah memberikan suap kepada Andri melalui Awang yang tak lain merupakan kuasa hukumnya. Suap diberikan dengan tujuan agar salinan putusan kasasi terkait perkara yang menjerat lchsan dapat ditunda, sehingga eksekusi terhadap dirinya juga tertunda.

Ichsan diketahui merupakan terpidana kasus pembangunan dermaga labuhan haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Namun hingga saat ini lchsan belum dieksekusi. Usai menjalani pemeriksaan secara intensif di KPK, ketiganya resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Ichsan dan Awang dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Ia terancam pidana minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta.

Sedangkan Andri dijerat  Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 dalam Undang-Undang yang sama. Pasal ini mengatur tentang penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

BACA JUGA: