JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus suap yang berkaitan dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan pegawai MA Andri Tristianto Sutrisna mulai menuai "tumbal". Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin menjatuhkan vonis kepada dua terdakwa yaitu Ichsan Suaidi dan pengacaranya, Awang Lazuardi Embat. Mereka dijatuhi hukuman masing-masing selama 3,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan, karena terbukti memberikan suap kepada Andri.  

"Menyatakan terdakwa I Ichsan Suaidi dan terdakwa II Awang Lazuardi Embat terbukti sah dan meyakinkan melakukan tidak pidana korupsi secara bersama," kata Ketua Majelis Hakim John Halasan Butarbutar, Senin (20/6).

John menjelaskan, pemberian suap kepada Andri yang merupakan Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata Dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung bertujuan untuk menunda salinan putusan kasasi atas terdakwa Ichsan. Ia memberikan "mahar" untuk hal itu sebesar Rp400 juta.

Menurut John, ada dua tujuan yang ingin dicapai Andri dari penundaan salinan putusan itu. Pertama, agar tidak langsung dieksekusi tim jaksa, dan kedua, untuk mempersiapkan memori peninjauan kembali (PK) dalam perkara korupsi proyek pembangunan pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur.

Dalam putusannya, dia menyebut ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan majelis. Untuk pertimbangan meringankan, baik Ichsan maupun Awang bersikap sopan selama persidangan, mengakui perbuatannya dan menyesalinya, serta mempunyai tanggungan keluarga.

Sedangkan untuk pertimbangan memberatkan, selain bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perbuatan keduanya juga telah merusak sistem di Mahkamah Agung. Selain itu, mereka juga mencoreng wibawa lembaga peradilan.

"Terdakwa I sudah pernah melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa II merupakan advokat yang seharusnya menegakkan hukum," tutur John membacakan pertimbangan memberatkan lainnya.

KASUSNYA DIKEMBANGKAN - Usai sidang, penuntut umum KPK Ahmad Burhanuddin mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengembangkan perkara ini untuk membongkar mafia peradilan. Salah satunya dengan mempelajari dan menelusuri isi transkip pembicaraan pengaturan perkara antara Andri selaku Kepala Sub Direktorat Perdata Mahkamah Agung (MA) dan pegawai MA lain yaitu Kosidah.

Saat ditanya apakah hal tersebut bisa membuka penyelidikan baru, Burhanuddin mengatakan terbuka peluang untuk hal itu. "Kita lihat situasi saja, kita pelajari BBM itu. Sedang dipelajari semua, semua alat bukti di sidang kita pelajari itu semua," tutur Burhanuddin.

Transkip percakapan itu atas putusan majelis dikembalikan kepada penuntut umum untuk digunakan dalam perkara atas nama Andri yang saat ini sudah masuk dalam penuntutan. Burhanuddin mengatakan bahwa tidak lama lagi Andri juga akan segera menyusul ke persidangan.

Dalam transkrip tersebut terungkap Andri sempat meminta agar pengiriman salinan putusan kasasi perdata salah satu perkara di Mataram ditunda.  Selain itu ia juga membicarakan beberapa perkara selain di Mataram, bahkan beserta nilai transaksi korupsinya dengan bahasa sandi penyamaran nomor sepatu.   

Beberapa perkara itu berada di Pekanbaru, Tasikmalaya dan Bengkulu. Keduanya juga membicarakan besaran nominal uang yang diperlukan untuk pengurusan perkara tersebut. Terungkap juga uang-uang itu akan disetorkan kepada beberapa pihak,  agar pengurusan perkara mulus. Bahkan disebut-sebut keberadaan "Majelis ATM" di lingkungan kerja mereka, yang diduga merujuk istilah untuk penyebutan sekelompok majelis hakim yang biasa memainkan perkara di MA dengan imbalan uang.

Saat perkara ini terungkap, Mahkamah Agung melakukan penelusuran dan menganggap apa yang dilakukan Kosidah, rekan percakapan Andri yang tertera dalam transkrip merupakan pelanggaran serius. Kosidah pun dipecat dari pekerjaannya sebagai salah satu staf di lembaga peradilan tertinggi itu.

Ini potongan percakapan antara Andri dan Kosidah yang dipaparkan penuntut umum KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta:

Andri: Tolong dicek yang ajukan kasasi jaksa atau terdakwa
Kosidah: Ya mas Andri 
Andri: Mudah-mudahan majelisnya bukan AA (diduga Artidjo Alkostar)
Kosidah: Iya mudah-mudahan, korupsi perusahaan atau pemerintahan?
Andri: Pemerintahan Mbak
Kosidah: Nanti dilacak nomor kasasinya untuk penetapan, mudah-mudahan bukan AA
Andri: Kira-kira minta nomor sepatunya berapa ya Mba?
Kosidah: Berapa ya? Kalau 25 bagaimana?
Andri: Saya sudah ada di situ belum?
Kosidah: Sekarang Pak Syafrudin banyak nganggur, maksud saya kan sama saja, tidak usah fokus majelis ATM, Mas Andri tambahin saja mintanya
Andri: .... Juga bisa kan? Nanti nomor saya sampaikan besok lihat berkasnya sudah masuk ya
Kosidah: Iya saya juga, iya siap Mas
Andri: Mas Ichsan terdakwa dari Mataram sudah putus nomor kasasinya berapa?
Kosidah: Ok
Andri: Mbak untuk Mataram kan minta agar berkasnya ditahan dulu, minta ditahan dulu
Kosidah: Minta saja 50, kasih ke PP 30, itu kan perkara korupsi
Andri: Iya saya usahakan bersama yang bersangkutan

AWAL KASUS SUAP MA - Terungkapnya kasus dagang perkara di Mahkamah Agung bermula dari tertangkapnya Andri, Awang dan Ichsan dalam sebuah operasi tangkap tangan pada, Jumat malam (12/2). Diawali dengan penangkapan Awang di parkiran hotel kawasan Gading Serpong Tangerang.

Kemudian dilanjutkan dengan penangkapan Andri di rumahnya  di kawasan Gading Serpong Tangerang. Dalam penangkapan itu  KPK menemukan uang Rp400 juta dalam pecahan Rp100.000 dalam tas kertas (paper bag). Penangkapan itu berselang setelah Awan memberikan uang kepada Andri.

Hampir secara bersamaan penangkapan Andri,  penyidik KPK menangkap Ichsan yang merupakan Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA)  di sebuah apartemen di kawasan Karet, Jakarta Selatan. Saat ditangkap, dari tangannya kembali ditemukan uang Rp400 juta dalam paper bag, dan uang dalam satu koper.

Belakangan diketahui pemberian uang itu terkait dengan permintaan penundaan salinan putusan kasasi sebuah perkara dengan terdakwa Ichsan. Ichsan meminta pengiriman perkaranya terkait kasus korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur, dimana ia telah divonis 1,5 tahun penjara ditunda.

Atas perbuatan tersebut,  Andri ditetapkan tersangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu terkait penerimaan hadiah. Sementara Ichsan dan Awang disangkakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BACA JUGA: