JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menyusul terungkapnya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan hakim dan aparat badan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA), MA mengeluarkan tiga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang pengawasan hakim dan aparat peradilan. Penerbitan Perma baru itu dalam rangka melakukan pembenahan sistem pengawasan lembaga peradilan.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur mengatakan, tujuan pembentukan aturan itu adalah untuk memperketat pengawasan maupun pendisiplinan hakim dan aparatur peradilan. Perma pengawasan aparatur peradilan adalah salah satu bentuk respons MA dalam upaya mencegah segala macam penyimpangan yang dilakukan hakim dan non-hakim dalam menjalankan tugasnya.

Tiga Peraturan MA yang diterbitkan itu adalah Peraturan MA Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pengawasan Aparatur Peradilan; Peraturan MA Nomor 8 Tahun 2016 tentang Whistleblower; dan Peraturan MA Nomor 9 Tahun 2016 tentang Disiplin Kinerja Hakim

"Ketiga Perma tersebut dalam tahap penandatanganan dengan Menteri Hukum dan HAM dan dimasukkan dalam berita Negara," kata Ridwan kepada gresnews.com, Jumat (5/8) malam.

Lebih lanjut Ridwan menjelaskan penerbitan Perma itu juga dilakukan untuk mengevaluasi serta merevisi Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) sebelumnya, yakni SK KMA Nomor 104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim jo SK KMA Nomor 215 /KMA/ SK/XII/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

Selain menerbitkan Perma, sebelumnya MA juga telah membentuk satuan tugas khusus (Satgas) untuk mengawasi proses penanganan perkara, supaya mekanisme penanganan perkara di MA akan lebih terkontrol.    


MOMENTUM PERBAIKAN INTERNAL MA - Menanggapi penerbitan Perma itu, juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Fajdi mengatakan, terjadinya beberapa peristiwa terakhir memang layak dijadikan momentum perbaikan. Beberapa bentuk konkretnya adalah lahirnya beberapa instrumen Perma tersebut. Dia mengapresiasi langkah tersebut dan harapan yang besar layak diarahkan kepada MA, baik pimpinan maupun jajaran di bawahnya.

"Kami sampaikan bahwa bagaimana pun perubahan harus dimulai dari internal peradilan," kata Farid kepada gresnews. com, Jumat (5/8) malam.

Hanya saja, yang perlu diingat, momentum keluarnya Perma tersebut jangan sampai kehilangan semangat dan nafasnya di tengah jalan. "Konsistensi atas usaha yang baik ini, benar-benar harus dikawal dan dijaga karena masalah yang harus dibenahi pun tidak sedikit," tandasnya.

Ia juga mengingatkan, yang paling utama dari semua ini, perhatikanlah bahwa peradilan di negara ini diisi oleh individu-individu yang juga punya perspektif masing-masing. Oleh karena itu yang dibutuhkan dari seluruh upaya perubahan ini adalah contoh nyata atau perilaku baik yang patut diteladani dari seluruh pelakunya.

"Utamanya para pemegang kebijakan, jika perubahan signifikan dapat dimulai dari titik itu, maka contoh yang sama akan diikuti oleh semua unsur lainnya," ujarnya.

TERGANTUNG MENTAL DAN INTEGRITAS -  Namun akademisi hukum pidana dan pencucian uang Yenti Garnasih melihat, penerbitan Perma tentang pengawasan aparatur peradilan dan hakim tidak begitu perlu. Sebab pengawasan sudah banyak. Baik oleh Hakim Agung Muda Pengawasan maupun KY. 

"Sebetulnya yang sekarang ada sudah cukup, yang belum baik adalah menjalankan fungsi pengawasan yang ada," kata Yenti kepada gresnews.com, Jumat (5/8).

Dia justru mempertanyakan, apakah dengan Perma pengawasan aparatur peradilan dan hakim, pengawasan akan menjadi efektif. "Bagi saya, semua tergantung mental dan integritas para hakim pengawasnya. Bukan karena ada atau tidak ada Permanya," tegasnya.

Seperti diketahui, beberapa bulan terakhir, MA dan pengadilan di bawahnya menjadi sorotan publik karena beberapa kejadian kasus suap yang menjerat sejumlah hakim, penitera pengadilan, hingga pegawai MA. Mereka tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat melakukan transaksi jual-beli perkara.

Kasus yang baru-baru ini terjadi diantaranya penangkapan panitera Pengadilan Negeri (PN Jakpus) Edy Nasution terkait dugaan suap dalam pengurusan sejumlah perkara anak usaha sebuah grup konglomerat Indonesia, yang disebut-sebut juga melibatkan Sekretaris MA, Nurhadi. Kemudian Kasubdit Kasasi Perdata MA, Andri Tristianto Sutrisna, juga tengah disidang atas dakwaan menerima suap terkait jual-beli informasi perkara terhadap sejumlah kasus di MA.

Dari catatan data Koalisi Masyarakat Pemantau Peradilan, sejak April 2016, terdapat 27 kasus di KPK yang melibatkan personel MA dan pengadilan.

Sementara Komisi Yudisial (KY) menyebutkan per Januari hingga Mei 2016, telah ada sekitar 11 aparatur peradilan yang terdiri dari tiga pejabat pengadilan dan hakim yang kasusnya muncul ke publik melalui media massa.

BACA JUGA: