JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna kemarin, Selasa (23/2) tiba-tiba saja dihadirkan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, nama Andri tidak tercantum dalam jadwal pemeriksaan baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus ini. Sama halnya dengan Ichsan Suaidi yang tiba-tiba saja juga dihadirkan tim penyidik tanpa tertera di jadwal pemeriksaan.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha pun mengklarifikasi terkait hal ini. Priharsa mengatakan kehadiran Andri dan Ichsan untuk mengonfirmasi perihal barang bukti yang didapat penyidik baik ketika proses penangkapan maupun penggeledahan.

Setelah itu, mereka juga diperkenankan untuk menandatangani berkas penyitaan yang ada di penyidik. Berkas-berkas ini untuk melengkapi proses penyidikan terhadap Andri dan juga Ichsan dalam kasus yang sama.

"Tandatangan berkas penyitaan dari mobil keduanya. Berkas penyitaan disita dari mobil beberapa barang akhirnya disita penyidikdipanggil. Mobil pas OTT itu. Dua mobil itu, mobil milik Ichsan dan Andri barang," kata Priharsa di kantornya, Selasa (23/2).

Seusai menandatangani berkas tersebut, Andri keluar terlebih dahulu. Sebelum masuk ke mobil tahanan, pria yang sudah mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK ini menyempatkan diri menjawab pertanyaan wartawan.

"Enggak ada, enggak ada pejabat (MA lain) yang terima uang," kata Andri saat ditanya perihal adanya pejabat MA lain yang ikut bermain dalam kasus ini.

Namun, pernyataan berbeda disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Ia mengamini jika pihaknya terus menelisik keterlibatan pejabat MA lain yang menerima uang dalam kasus penundaan salinan putusan kasasi ini.

Sebabnya, Andri dianggap tidak mempunyai wewenang untuk menunda salinan putusan kasasi pidana khusus dalam hal ini kasus korupsi pada pembangunan Dermaga Haji di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

"Indikasinya ada (pejabat MA lain), masih diproses," kata Saut kepada gresnews.com.

Namun Saut enggan mengungkap siapa pihak lain yang turut diselidiki oleh KPK. Beberapa pejabat MA sendiri memang telah dipanggil penyidik, seperti Direktur Jenderal Badan Peradilan MA Herri Swantoro, Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Wahyudin serta Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Ingan Malem Sitepu.

Tetapi, ketiganya enggan memberi keterangan kepada wartawan mengenai materi pemeriksaan yang ditanya penyidik. "No comment, no comment ya," kata Herri.

Namun, bungkamnya para pejabat MA termasuk Andri, tidak membuat KPK berhenti mengusut keterangan pihak lain dalam kasus ini. Priharsa menerangkan bahwa penyidik tidak hanya mendengarkan keterangan para pejabat tersebut untuk mendalami kasus ini.

"Tidak harus keterangan dari dia. Tapi yang jelas tanpa keterangan dari yang bersangkutan pun perkara ini tetap bisa didalami. Sejauh apa, tergantung petunjuk yang didapat penyidik," pungkas Priharsa.

KRONOLOGI KASUS - Kasus ini bermula dari operasi penangkapan penyidik pada 13 Februari lalu. KPK menyita uang dengan total Rp900 juga dari rumah Andri di wilayah Gading Serpong, Tangerang. Uang itu diduga untuk menunda putusan kasasi Ichsan Suaidi.

Ichsan terbukti bersalah dalam kasus korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur dengan nilai proyek sebesar Rp82 miliar. Dalam kasus ini, Majelis Kasasi MA telah menjatuhkan hukuman kepada Ichsan selama 5 tahun dan denda Rp200 juta. Selain itu, Ichsan juga diminta membayar kerugian negara sebanyak Rp4,46 miliar.

Atas dasar itulah, KPK menetapkan tiga orang menjadi tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Andri Tristianto Sutrisna (ATS), Ichsan Suaidi (IS) selaku Direktur Utama PT Citra Gading Asritama, serta seorang pengacara Awang Lazuardi Embat (ALE).

Ichsan dan Awang sebagai pihak pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Ia terancam pidana minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta.

Sedangkan Andri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 dalam Undang-Undang yang sama. Pasal ini mengatur tentang penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

BACA JUGA: