JAKARTA, GRESNEWS.COM - Warga Bidaracina, Jakarta Timur, resah lantaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikukuh menjalankan rencana penggusuran warga di wilayah itu demi melaksanakan program pembuatan sodetan Kali Ciliwung untuk mengendalikan banjir Jakarta. Program itu mengharuskan Pemprov DKI Jakarta membebaskan lahan seluas 1,35 hektare di Bidaracina yang dihuni 44.560 jiwa.

Pemprov DKI sendiri sudah menawarkan kepada warga agar mau dipindahkan alias direlokasi ke dua rumah susun yang sudah disiapkan yaitu di Cipinang Besar Selatan dengan 150 unit kosong dan rusun Pulo Gebang dengan 160 unit kosong. Kedua rusun ini diperkirakan dapat menampung 299 kepala keluarga yang kini tinggal di Bidaracina.

Hanya saja, warga tak setuju dengan rencana relokasi tersebut. Warga berharap Pemprov DKI mau bersikap lebih bijaksana terhadap warganya dengan memberikan ganti rugi yang sepadan dan layak kepada mereka.

Warga menilai, wilayah relokasi yang disiapkan Pemprov DKI dinilai kurang layak. Untuk itu, mereka memberi syarat apabila ingin menggusur lokasi ini, pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta untuk setiap meter perseginya.

Para penghuni kawasan Bidaracina, khususnya di RW 04, menolak relokasi karena rusun yang ditawarkan sempit dan tak nyaman. "Abang tau rusun itu kayak apa kan?..Sempit!..Apa pemprov mikir gimana kalau yang keluarganya banyak harus hidup sempit-sempitan di kamar rusun?" kata seorang warga yang enggan disebutkan namanya kepada gresnews.com, Senin (14/9).

Karena itu, warga juga melancarkan perlawanan hukum dengan menggugat Pemprov DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan eks Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Lewat gugatan class action di PN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 321/PDT.G/2015/PN.JKT.PST itu, warga meminta salah satunya agar pengadilan memerintahkan Pemprov DKI membayarkan ganti rugi yang sepadan bagi warga jika ingin menggusur kawasan itu.

Gugatan itu telah didaftarkan pada tanggal 15 Juli 2015 lalu. Gugatan itu seharusnya sudah disidangkan pada 10 September 2015 lalu, namun terpaksa ditunda hingga 5 Oktober 2015 mendatang karena pihak tergugat yaitu Kementerian PUPR serta mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tidak hadir di persidangan.

"Kita nggak mau dengan kekerasan makanya kita ajukan gugatan, tapi ternyata saat sidang Pemprov tidak hadir," kata seorang warga RW04.

Warga sendiri berharap majelis hakim yang menyidangkan perkara ini bisa bersikap adil. "Biar pengadilan aja yang memutuskan, kita sudah menghadap ke berbagai pihak, mengadu sampai menghadap hukum....tinggal menghadap Tuhan aja ini kita yang belum," keluh seorang warga lainnya.

MUNCUL NAMA SILUMAN - Selain soal ganti rugi, salah satu yang menjadi inti keberatan warga atas rencana penggusuran kawasan Bidaracina adalah klaim Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengatakan, sebagian warga yang tinggal di sana tidak memiliki sertifikat. Ahok mengatakan, pihak Pemprov hanya akan memberikan ganti rugi kepada warga yang memiliki sertifikat.

Menurut Ahok, kawasan Bidaracina dimiliki oleh empat pihak. Yaitu PT Jiwasraya, Pertamina, Pemda DKI Jakarta, dan seseorang bernama Hengky. Oleh sebab itu, mantan Bupati Belitung Timur ini hanya akan memberikan ganti rugi kepada pihak-pihak tersebut. Warga membantah keras klaim sepihak Ahok itu, apalagi soal nama Hengky yang disebut-sebut sebagai pemilik lahan di kawasan tersebut.

Salah satu kuasa hukum warga, Jamaluddin Karim, mengatakan, warga heran dengan munculnya nama-nama baru yang disebut Ahok sebagai pemilik sertifikat yang sah atas lahan di kawasan tersebut. Nama Hengky, misalnya, kata Jamaluddin tak pernah terdengar sebelumnya.

"Hengky itu sebelumnya tidak ada, ini kan nama-nama siluman," terang Jamaluddin kepada gresnews.com melalui telepon selulernya, Selasa (15/9).

Menurut Jamaluddin, dalam proses sosialisasi yang diberikan pihak Pemprov DKI, sebelumnya nama Hengky tidak pernah ada. Untuk itu, ia merasa aneh jika nama tersebut tiba-tiba muncul di permukaan dan disebut Ahok sebagai pemilik sertifikat dan akan diberikan ganti rugi, sementara warga yang sudah tinggal puluhan tahun di kawasan itu dan memiliki sertifikat justru dianggap sebagai warga liar dan terancam tak mendapatkan ganti rugi.

Karena itulah, kata Jamaluddin, warga mengajukan gugatan class action (kelompok) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang juga untuk memperkarakan masalah munculnya sertifikat yang diduga bodong atas nama Hengky ini, selain juga minta penetapan soal ganti rugi. Mereka menyeret pihak Pemprov DKI dalam hal ini Ahok sebagai tergugat satu, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta mantan Gubernur DKI Jakarta yang saat ini menjadi Presiden RI, Joko Widodo sebagai tergugat dua.

Namun warga harus menelan kekecewaan karena para tergugat tidak hadir di persidangan. Warga pun mengaku bingung dengan sikap yang tidak kooperatif dari pihak tergugat. "Warga mau digusur, katanya kita disuruh ajuin gugatan, kita ajuin, malah tergugat 1 dan 2 nggak dateng. Pengacaranya yang dateng, itu juga nggak bawa surat kuasa," ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya itu.

Gugatan ini bernomor perkara No. 321/PDT.G/2015/PN JKT.PST. Dalam provisi gugatannya, para warga meminta kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa sertifikat No 227/Bidaracina tidak sah dan mengikat secara hukum.

Kemudian, menyatakan dengan sah pembiayaan untuk pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan diktum Kelima SK Gubernur Keputusan Gubernur Nomor 81 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi untuk Pembangunan inlet sudetan kali Ciliwung Menuju Kanal Banjir Timur di Kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur pada 16 Januari 2014. Dan harus dilaksanakan oleh para tergugat sebelum pelaksanaan proyek pembangunan inlet sodetan dilakukan.

Untuk ganti rugi lahan dan bangunan para warga menuntut kepada para tergugat untuk membayar sebesar Rp25 juta per meter persegi untuk tanah dan Rp3 juta per meter persegi untuk bangunan. Pembayaran ganti rugi tersebut pun nantinya dapat diberikan melalui ketua RT RT. 02, RT. 04, RT. 07, RT. 08, RT. 09, RT. 10 dan Ketua RW 04 Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.

PEMPROV DKI TAK KONSISTEN - Selain menggugat soal ganti rugi dan dugaan munculnya nama "siluman" sebagai pemilik lahan di Bidaracina, warga juga keberatan dengan sikap Pemprov DKI Jakarta yang tidak konsisten. Selain mendadak munculnya nama Hengky, warga juga mengeluhkan sosialisasi yang dilakukan pihak pemprov yang informasinya berubah-ubah.

Jamaluddin mengungkap beberapa hal yang menurutnya tidak sesuai dengan sosialisasi awal yang diberikan pemprov. Salah satunya mengenai lokasi penggusuran yang lebih luas daripada sosialisasi semula.

Menurut Jamaluddin, pada awalnya Pemprov DKI hanya akan menggusur sekitar 2-3 meter lahan warga yang berlokasi dekat dengan sodetan kali Ciliwung dan Banjir Kanal Timur. Tetapi dalam kenyataannya, wilayah penggusuran semakin meluas dan mengancam sekitar 300 permukiman warga.

Jamaluddin pun menuding ada unsur lain dari penggusuran ini. "Bisa saja nanti tanah itu dijual ke developer terus dibuat apartemen atau bangunan mewah yang mahal," ujarnya.

Sementara itu, salah satu warga RW 04 yang tidak ingin disebut namanya juga menganggap Pemprov tidak memikirkan dampak lain dari rencana penggusuran ini. Dampak tersebut tidak hanya materiil, tetapi juga ada akibat nonmateriil yang diberikan.

"Pemprov nggak mikir dampak penggusuran. Bukan cuma materi, dengan denger gusuran aja mereka jantungan. Banyak yang udah tua, yang pekerja juga nggak enak, nggak tenang mereka. Belum lagi kalau bener digusur, gimana anak-anak? Mereka pasti trauma," tutur warga tersebut.

Ia juga menyesalkan cara-cara yang digunakan Pemprov DKI yang menurutnya sangat tidak layak untuk digunakan. Cara tersebut, yaitu dengan mendatangkan aparat TNI dan Polri untuk melakukan sosialisasi maupun penggusuran kepada warga.

Hal ini tentu saja mengganggu psikologis masyarakat. Mereka secara tidak langsung dianggap akan melakukan tindakan anarkis dari penggusuran ini. Padahal, para warga menempuh jalur hukum yang legal untuk menyelesaikan perkara ini.

"Masih dengan cara-cara lama, bawa pasukan, tentara, TNI, Polisi, warga bingung kok serame ini, padahal kita gak ngapa-ngapain. Males ribut-ribut, makanya kita class action, supaya nggak terjadi benturan kayak di Kampung Pulo. Sekarang serba salah, kita lawan nanti dianggap provokator, makanya nanti kalo mereka gusur kita suruh abisin aja sekalian," tutur warga itu.

AHOK BERTAHAN - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tetap pada pendiriannya untuk menggusur warga di kawasan Bidaracina. Ahok mengakui masih ada warga yang menolak untuk direlokasi, namun Ahok mengaku akan tetap menggusur warga.

Alasannya, proyek sodetan Ciliwung dan normalisasi sungai harus tetap berjalan. Ahok mengatakan, warga yang menempati lahan negara maupun yang memiliki sertifikat hak milik akan tetap direlokasi. "Kalau memang mereka tidak mau direlokasi, kami akan paksa. Tidak ada pilihan karena sodetan harus jalan," kata Ahok beberapa waktu lalu.

Ahok berpendapat, alasan warga menolak relokasi terkait ganti rugi tak relevan dan keliru. Dia bersikukuh tidak semua warga akan mendapatkan ganti rugi. Hanya yang memiliki sertifikat hak milik lah yang berhak mendapatkan ganti rugi. Untuk yang menempati tanah negara, akan dipindahkan ke rumah susun yang sudah disediakan.

"Kalau menduduki tanah negara, dasar saya bayar itu apa? Kalau yang ada SHM kami bayar," tegas Ahok.

Dia mengatakan, pemprov mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam beleid itu disebutkan, pihak yang berhak menerima ganti rugi adalah yang memiliki tanah bersertifikat.

Besarannya ditetapkan atas dasar insentif perpajakan. Namun mereka yang menduduki tanah negara hanya akan diganti dengan tanah dan/atau bangunan atau relokasi.

Dalam sosialisasi yang dilakukan pemprov kepada warga RW 14 misalnya, Camat Jatinegara Sofyan Taher menemukan data ada 14 warga yang mendirikan bangunan di atas tanah milik Pemda DKI Jakarta.

Meski begitu, warga tetap ingin ada penggantian kerugian yang sepadan. Terkait hal ini, Sofyan Taher tetap berjanji akan menampung segala usulan warga untuk dibicarakan kepada Gubernur DKI Jakarta. "Apapun itu permintaan warga, tentu akan kita tampung yang nanti akan dibahas kembali di atas. Seperti permintaan ganti rugi 5 kali NJOP ya itu tidak apa-apa toh ini masukan," kata Sofyan.

Oleh karena itu Sofyan meminta warga untuk bisa datang ke kantor Kecamatan Jatinegara Senin (9/3). Sehingga bisa mendengar penjelasan langsung dari tim apresial terkait ganti rugi.

"Besok itu warga bawa fotocopy apapun itu terkait kepemilikan tanah seperti AJB atau lain-lain. Nanti bisa dikonsultasikan semua oleh warga berapa nominal luas bangunan dan lain-lain," tutup Sofyan.


WARGA TETAP MINTA GANTI RUGI
- Warga sendiri menyadari kalau bangunan mereka berdiri di atas tanah milik Pemda DKI Jakarta. Mereka pun meminta kebijaksanaan dari Pemprov DKI Jakarta terkait ganti rugi pembangunan inlet sodetan Ciliwung.

"Ya, masa dengan kondisi pemerintah yang memiliki APBD sebesar itu tidak bisa menyisihkan ganti rugi yang manusiawi. Paling tidak kami sekeluar dari sana kami tidak kehilangan tempat tinggal," tutur warga bernama Heru.

Senada dengan Heru, Dedi mengatakan paling tidak sesuai kesepakatan warga bersama. Mereka bersedia pindah dengan catatan tanah mereka diganti 5 kali NJOP yang ada.

"Pak ini usulan warga bersama yang mana kita sudah sepakat paling tidak kami dapat ganti rugi 5 kali NJOP, ini mewakili omongan warga juga bukan individu," ujar Dedi.

Berbeda dengan warga RW 14, Warga RW 04 masih tetap menolak dilakukan pengukuran untuk pembuatan peta bidang. Wakil Ketua RW 04 Bidara Cina Riyanto memaparkan banyak alasan warganya menolak lahannya dibebaskan.

"Kami juga menolak dibebaskan karena lahan kami bebas banjir dan bukan lahan sengketa, bukan daerah kumuh. Di wilayah kami ada SD negeri yang menampung 250 siswa, ada kampus, pasar yang jadi andalan ekonomi warga," ujar Riyanto beberapa waktu lalu.

Selain itu warga juga beralasan memiliki kontrakan dan kost-kostan sebagai pemasukan mereka. Selain lokasi rumah dianggap strategis lantaran dekat dengan pasar.

"Sekarang kalau kita di pindah bagaimana nasib kami? Begini pak saya sebagai pengurus RW siap membantu tetapi tolong berikan penjelasan detail agar saya dapat mensosialisasikan ke warga, karena gara-gara permasalahan tanah yang tadi tetanggaan bisa bermusuhan," ujarnya.

Tak hanya itu, Wiratno Warga Rt 07/04 juga mengeluhkan sikap arogan oknum pemda. Pasalnya dalam pelaksanaan, petugas lapangan main masuk ke rumah untuk mengukur tanpa seizin pemilik rumah.

"Rumah saya juga main semprot cat biru saja oleh petugas tanpa koordinasi. Maksudnya apa itu, kenapa saya tidak diberitahu atau urun rembuk dulu, tahu-tahu rumah sudah ditandai," tambah Wiratno. (dtc)

BACA JUGA: