JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) setelah kalah oleh gugatan warga Bidaracina di Pengadilan Tata Usaha (TUN),  membuat warga berang. Pemrov DKI Jakarta yang digugat warga terkait penerbitan Surat Keputusan (SK) Penetapan Lokasi Perluasan Proyek Sodetan Banjir Kanal Timur mengajukan kasasi dengan pengajuan bukti berupa sertifikat Hak Guna Bangunan (HBG) milik warga yang tanahnya terkena perluasan proyek sodetan.

Upaya hukum yang dilakukan kuasa hukum Pemprov DKI Jakarta itu dikritik oleh para penggugat. Bukan saja karena pengajuan kasasi, tapi juga karena alat bukti yang diajukan,  yang tidak dibenarkan dalam pengadilan tingkat Kasasi.

Kuasa hukum warga Bidaracina, Resa Indrawan Samir, mengaku kecewa atas langkah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama sebagai tergugat. Gubernur Jakarta melalui kuasa hukumnya mengajukan bukti berupa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).

"Menurut kami, pengajuan bukti tersebut tidak tepat karena pengajuan bukti harusnya dilakukan di pengadilan tingkat pertama, yaitu pengadilan TUN," kata Resa kepada gresnews.com, Selasa (14/6).

Resa menilai pihak tergugat tidak memiliki itikad baik dalam persidangan. Sebab pada saat persidangan tingkat pertama di PTUN Jakarta, pihak tergugat sama sekali tidak pernah hadir di persidangan. "Ketidakhadirannya itu sama saja mengabaikan untuk mengajukan bukti," ujarnya.

Resa mengatakan bahwa Pengadilan TUN sebagai judex facti secara hukum hanya memeriksa fakta-fakta persidangan dengan bukti-bukti yang diajukan. Sedangkan Mahkamah Agung (MA) tidak lagi melihat bukti tetapi hanya pada penerapan hukum. "Apakah penerapan hukum pengadilan TUN sudah benar atau tidak," terang Resa.

Selain itu, dia juga mengaku kecewa terhadap panitera PTUN Jakarta karena menerima alat bukti yang diajukan tergugat. Seharusnya panitera menolak alat bukti baru tersebut karena pengadilan di tingkat kasasi tidak lagi diperkenankan mengajukan alat bukti.

Selain itu, pengajuan alat bukti juga terkesan ditutup-tutupi pihak tergugat. Karena daftar alat bukti diajukan setelah pengajuan memori bandingnya didaftarkan. "Seperti diakal-akali karena pengajuan daftar alat bukti diajukan beberapa hari setelah mengajukan memori banding," terang Resa.

Resa menganggap, upaya kuasa hukum Pemprov DKI Jakarta adalah upaya yang tidak fair dalam peradilan. Pasalnya, kalau diajukan alat bukti pihak penggugat tidak memiliki akses untuk melihat apakah alat bukti tersebut sama dengan aslinya atau tidak.

Menurut informasinya, pihak tergugat mengajukan alat bukti berupa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Bidaracina. Namun dalam alat bukti tersebut, imbuh Resa, terdapat kejanggalan-kejanggalan yang sulit untuk dibuktikan. Pertama, fotocopy sertifikat HGB yang diajukan tergugat tidak mencantumkan masa waktu pemberian HGB. Kedua, fotocopy sertifikat itu juga tidak ada peruntukannya.

Sebelumnya hakim Pengadilan Tata Usaha Negara telah mengabulkan gugatan warga Bidaracina  yang teregister dengan nomor perkara 59/G/2016/PTUN-JKT. Hakim PTUN memutuskan untuk mencabut SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tentang Penetapan Lokasi Perluasan Sodetan Banjir Kanal Timur karena melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam putusan tersebut, Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo menyatakan berbeda pendapat  (dissenting opinion) terhadap dua koleganya. Pertimbangan Hakim Budhi karena gugatan yang diajukan para penggugat telah melewati tenggat 90 hari sebagaimana disyaratkan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN.

Menanggapi hal itu, sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan sertifikat yang diterbitkan untuk HGB wajib mencantumkan jangka waktu dan jelas peruntukannya. Sehingga sertifikat yang digunakan tanpa memuat itu patut dipertanyakan.

"Sertifikat HGB wajib mempunyai jangka waktu," tutur Iwan kepada gresnews.com.

Setiap sertifikat yang diterbitkan, sambung Iwan, sudah menyelesaikan tumpang tindih. Artinya tidak ada sengketa lagi terhadap kepemilikan tersebut. Kalau memang tidak ada jangka waktu dalam sertifikat tersebut maka sertifikat menjadi cacat administratif.

"Kalau tidak ada (jangka waktu penggunaan), maka tidak memenuhi syarat administratif dan ini masalah serius. Perlu dicek ke BPN, jangan-jangan bodong," tukas Iwan.

TERGUGAT AJUKAN BUKTI - Kuasa hukum tergugat Nadia Zunairoh membenarkan bahwa pihaknya mengajukan alat bukti ke PTUN Jakarta. Namun saat ditanya alat bukti apa saja yang diajukan, Nadia enggan membeberkan soal alat bukti tersebut.

"Ya benar. Kami mengajukan alat bukti ke PTUN," kata Nadia  kepada gresnews.com melalui sambungan telepon, Selasa (14/6).

Nadia menjelaskan alat bukti tersebut diajukan karena pada persidangan tingkat pertama mereka tidak berkesempatan mengajukan alat bukti. Karena itu, pihak tergugat mengajukan alat bukti sebagai pertimbangan hakim.

Pengamat hukum Tata Negara Margarito Kamis menyatakan bahwa pengadilan di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) tidak mengenal alat bukti baru. Peradilan tingkat Kasasi hanya berwenang memeriksa penerapan hukum oleh pengadilan TUN.

"Enggak bisa itu. Hanya dalam Peninjauan Kembali (PK) bisa diajukan bukti baru," ujar Margarito kepada gresnews.com, Selasa (14/6).

Kalau pun alat bukti itu diajukan ke Mahkamah Agung, itu tidak akan mempengaruhi putusan hakim agung. Dia meyakini MA tidak akan menjadikan alat bukti itu sebagai pertimbangan hukumnya.

BACA JUGA: