JAKARTA, GRESNEWS.COM – Terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2779/2015 tentang sodetan Kali Ciliwung membuat warga Bidaracina resah. Mereka resah lantaran dalam SK kedua terkait sodetan Ciliwung itu, Ahok menegaskan perluasan area terdampak dari sebelumnya 6.000 meter persegi menjadi 10.000 meter persegi.

Warga resah lantaran perluasan itu dipastikan akan berdampak pada besaran permukiman warga yang terancam penggusuran. Karena itu, warga Bidaracina pun menggugat SK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Salah seorang warga yang mengajukan gugatan, Galuh Radiah, mengaku keresahan warga sangat nyata pasca terbitnya SK tersebut. Dia khawatir akan ada penggusuran secara tiba-tiba oleh pemerintah DKI Jakarta. "Kita waspada aja takut ada penggusuran tiba-tiba," ujar Rodiah kepada gresnews.com, Rabu (20/4).

Rodiah mengaku belum ada sosialisasi kepada warganya terkait dengan penerbitan SK Gubernur. "Iya belum ada sosialisasi," kata Rodiah yang juga ketua RW 04 Bidaracina itu .

Hal senada juga diungkap Resa Indrawan Samir, kuasa hukum warga Bidaracina. SK itu, kata Resa, membawa dampak material dan psikologis terhadap warga Bidaracina. Dia menyatakan, sejak SK itu diketahui oleh warga, banyak dari mereka yang tidak bisa lagi bekerja karena khawatir terjadinya penggusuran.

"Ada teror psikologis terhadap masyarakat, yang berdampak pada kerugian material," kata Resa kepada gresnews.com.

Resa berharap majelis hakim PTUN Jakarta bisa mencabut SK yang dinilai telah meresahkan warga itu. Dia menilai pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah bertindak semena-mena menerbitkan SK tersebut sehingga mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat Bidara Cina.

"Kami berharap SK ini segera dicabut. Itu yang kami ajukan di dalam kesimpulan kami," ujar Resa.

Lebih lanjut, ujar dia, penerbitan SK Nomor 2779 Tahun 2015 itu pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip asas pemerintahan yang baik. Karena terdapat pelanggaran-pelanggaran prosedur yang ditabrak oleh Pemprov DKI Jakarta.

"SK Nomor 2779 itu bertentangan dengan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik," kata Resa.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Demi Kepentingan Umum mensyaratkan adanya sosialisasi kepada pihak yang terkena dampak dari penerbitan SK itu. Karena itu, dia menegaskan, perlu ada dialog dari Pemprov DKI Jakarta kepada masyarakat tentang penyelesaian yang memberi rasa keadilan kepada masyarakat. "Tetapi asas itu dilanggar oleh Pemprov DKI Jakarta," kata Resa.

Dia menegaskan, masyarakat tidak pernah dilibatkan melalui konsultasi publik terkait dengan penerbitan SK tersebut. "Padahal secara eksplisit menjelaskan seharusnya gubernur melakukan sosialisasi," tukasnya.

Selain itu, ada juga kejanggalan lain dari terbitnya SK tersebut yaitu, SK itu tidak melampirkan izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). "Itu merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah," katanya.

PEMPROV DKI MANGKIR - Proses gugatan warga atas terbitnya SK Gubernur DKI Jakarta terkait sodetan Ciliwung ini memang masih panjang. Pasalnya, pihak Pemprov DKI juga terkesan mengulur-ulur waktu dengan kerap mangkir dari panggilan sidang.

Dalam persidangan Senin (18/4) kemarin, dengan agenda pembacaan kesimpulan, pihak Pemprov DKI tidak hadir. Padahal kehadiran Pemprov DKI Jakarta dalam persidangan sangat diperlukan warga Bidaracina untuk mengonfirmasi alasan penerbitan SK tersebut.

Resa menganggap ketidakhadiran itu sebagai pengakuan bahwa SK yang terbitkan salah. "Kalau tidak hadir saya anggap pengakuan terhadap kesalahannya. Saya pikir mereka tidak punya iktikad baik dari pihak gubernur untuk menyelesaikan," tegasnya.

Resa menambahkan, terbitnya SK itu tanpa melalui pertimbangan yang matang. Itu terbukti tidak ada skema penyelesaian yang baik yang diajukan kepada warga terkait dampak yang ditimbulkan.

Terkait soal ini, kuasa hukum Pemerintah Daerah DKI Nadia enggan berkomentar. Nadia beralasan belum ada penunjukan secara resmi dari pemerintah DKI Jakarta kepadanya untuk menjadi kuasa hukum.

"Saya kurang tahu soal itu. Jadi saya belum bisa mengomentarinya," kata Nadia saat dihubungi gresnews.com, Senin (18/4).

BACA JUGA: