JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pasal pemidanaan korporasi dianggap penting untuk dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, saat ini aturan terkait tindak pidana yang terjadi akibat kebijakan atau tindakan sebuah korporasi hanya mampu menjerat aktor-aktor pelaksana kebijakan dan tak menyentuh aktor pembuat kebijakan strategisnya, termasuk korporasinya selaku sebuah badan hukum. Sebagai dampaknya, tindak pidana oleh sebuah korporasi kerap berulang.

Padahal menjerat pelaku utama kejahatan itu, dalam hal ini adalah korporasi sebagai sebuah badan hukum yang bisa menjadi subyek pemidaan adalah merupakan inti pemidanaan, agar ada keadilan bagi korban tindak pidana korporasi. Lemahnya aturan pemidanaan korporasi ini juga ditengarai kerap menjadi pemicu terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat, terutama di sektor kehutanan dan pertambangan atau usaha-usaha ekstraktif.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, banyak korporasi telah mendapat "izin" untuk memonopoli kawasan hutan untuk melakukan ekstraksi sumber daya alam di Indonesia. Untuk perusahaan yang menggarap sektor logging atau perkayuan terdapat 303 perusahaan, perkebunan 262 perusahaan, minyak sawit sebanyak 1.605 perusahaan, pertambangan sebanyak 1.775 perusahaan yang menggarap lahan hutan seluas 80,5 juta hektare pada 2014 hingga 2025.

Luasan kawasan hutan yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan tersebut kerap memicu konflik dengan masyarakat yang tinggal di area sekitar kawasan hutan. Tahun 2014 saja tercatat sudah terjadi sebanyak 472 konflik agraria yang melibatkan 105.887 kepala keluarga. Akibat konflik agraria ini sebanyak 256 orang warga ditahan, 110 orang warga dianiaya, 17 orang warga tertembak, dan 19 orang warga tewas. Angka ini meningkat dibandingkan angka kejadian konflik pada 2013 yang hanya berjumlah 103 konflik.

Walhi juga mencatat penegakan hukum terhadap korporasi berbanding terbalik dengan upaya penegakan hukum terhadap masyarakat. Pada 2014 terdapat 40 warga Desa Lamunti dan Kaladan, Kapuas yang dipenjara karena berkonflik dengan perusahaan sawit PT Graha Inti Jaya. Lalu 20 warga Indragiri Riau juga dipidana karena dituduh membakar 9 unit alat berat milik PT Setia Agrindo Lestari, anak perusahaan perkebunan kepala sawit PT Surya Dumai Grup.

Dalam kasus-kasus ini, pihak korporasi selalu berada di pihak yang dianggap benar oleh aparat keamanan. Penyebab konflik pun yaitu berupa sengketa lahan misalnya, tak pernah bisa benar-benar diselesaikan sehingga kerap rakyat yang menjadi korban. Kalaupun ada dari pihak korporasi yang dipidana, seringkali adalah aparat keamanan perusahaan di level bawah dan tak menyentuh level atas apalagi korporasinya.

Masalah-masalah serupa juga sering terjadi pada kasus-kasus lain seperti masalah perbankan, kejahatan lingkungan, dan kasus-kasus kejahatan ekonomi lainnya yang melibatkan korporasi. Kerap kali dalam kasus-kasus ini, aktor utama yaitu para pimpinan korporasi lolos dari pemidanaan, sehingga korporasinya pun juga tak menanggung beban hukum apapun.

DPR BUTUH MASUKAN - Terkait pembahasaan pidana korporasi dalam RKUHP, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Junimart Girsang mengatakan, DPR memang masih membutuhkan masukan-masukan, khususnya dari para ahli hukum dan masyarakat sipil. Substansi atas masalah tersebut, kata Junimart, belum masuk ke dalam daftar inventarisasi masalah RKUHP.

"Hal-hal mana yang harus dimuat dalam KUHP baru nanti? Kalau memang masukan itu ada, DPR tentu kaji karena pasal korporasi itu selama ini belum diatur dalam KUHP," kata Junimart saat dihubungi gresnews.com, Senin (24/8).

Junimart melanjutkan, selama ini pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana sebenarnya sudah diatur, tetapi hanya dalam UU Korporasi. Melalui RKUHP ini, Junimart beharap, substansi pemidanaan korporasi akan dimasukkan sebagai satu kesatuan.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Eddyono Widodo mengatakan, isu pemidanaan korporasi sebenarnya sudah muncul sejak 1980-an. Sejumlah negara juga sudah menjadikan persoalan ini sebagai bagian dari reformasi pemidanaan di negaranya masing-masing.

"Isu ini terlambat masuk ke UU kita karena korporasi sudah dianggap subyek hukum pidana," ujar Supriyadi saat dihubungi gresnews.com, Senin (24/8).

Sementara, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda berpendapat, substansi pemidanaan korporasi memang sudah menjadi tuntutan perkembangan ilmu hukum pidana dan perkembangan ilmu peraturan peraturan perundang-undangan. Perkembangan bahwa korporasi juga menjadi subyek tindak pidana bukan menjadi hal baru lagi di Indonesia.

"Walau belum ada dalam KUHP, tapi dalam UU di luar KUHP sudah ada," tutur Chairul kepada gresnews.com, Senin (24/8).

Chairul berpendapat, pemidanaan koorporasi ini memang sangat penting khususnya untuk economic crime. Selama ini ketika terjadi tindak pidana yang dipidana adalah orangnya. Akibatnya kerugian ekonominya tidak pulih dan kejahatan itu bisa tetap berlangsung dengan berganti orang. "Misalnya penipuan investasi," tutur Chairul.

Dalam kasus penipuan investasi misalnya, pihak yang dipidana dari perusahaan yang melakukan penipuan investasi, umumnya hanya direktur utamanya. Ketika perusahaan tersebut tak dipidana, maka, hanya dengan mengganti sang direktur utama, dengan mudah kejahatan penipuan yang sama masih tetap berlangsung.

"Karena itu korporasinya, harus dikenai sanksi korporasi agar kejahatannya terkendali atau terhenti," kata Chairul.

Menyambung hal ini, Supriyadi menyebutkan contoh kasus lain terkait pemidanaan korporasi. Misalnya kasus lingkungan hidup seperti Lapindo di Surabaya dan penggelapan pajak Asian Agri. "Hampir semua kasus-kasus besar terkait korporasi," tuturnya.

DAMPAK MONOPOLI - Manajer Kampanye Walhi Kurniawan Sabar menuturkan, masalah utama dari kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam adalah adanya monopoli dan ekspansi pada industri ekstraktif. Industri ekstraktif misalnya terdiri dari perkebunan skala besar seperti sawit, logging (usaha kayu), dan pertambangan untuk ekstraksi mineral.

"Di beberapa kasus, wilayah-wilayah yang berkonflik atau praktik buruk dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dilakukan di wilayah-wilayah yang terdapat izin usaha industri. Di wilayah-wilayah itu paling banyak konflik pengelolaan sumber daya alam, kekerasan terhadap masyarakat, pelanggaran hak asasi manusia, deforestasi, dan pencemaran," jelas Wawan kepada gresnews.com, Senin (24/8).

Wawan mengatakan, dalam praktik penegakan hukum, praktik-praktik buruk yang disebutkan di atas lebih banyak menyasar pada individu-individu di lapangan yang hanya menjalankan program teknis dari korporasi tersebut. Penegakan hukumnya juga sangat jarang menyentuh akar masalah yaitu menyentuh struktur korporasinya secara langsung.

"Korporasi yang dimaksud tegas, dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah struktur yang terorganisir, bekerja secara sistematis, dan memiliki wilayah usaha yang jelas dan konkret. Di situ artinya ada penanggung jawab terhadap korporasi dan itu yang menjadi obyek penegakan hukum," jelasnya.  

Dalam kesempatan terpisah, Supriyadi menjelaskan, sasaran pemidanaan yang ingin dimasukkan dalam RKUHP lebih tepat korporasi. Sebab lingkup korporasi menurutnya lebih luas dibandingkan perusahaan. Lingkup dari korporasi misalnya induk perusahaan, anak perusahaan, holding company dan organisasi yang tidak berbentuk perusahaan terbatas.

"CV itu masuk lingkup korporasi," jelas Supriyadi.

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI - Terkait bentuk pemidanaan terhadap korporasi, Chairul menjelaskan, bentuk sanksinya tentu tidak bisa berupa pidana penjara. Sanksi pidana bagi korporasi diantaranya bisa berupa denda, ganti rugi, pembekuan, penghentian kegiatan korporasi, termasuk pembubaran korporasi.

"Jadi tidak hanya sekadar memidana orangnya, tapi juga kerugian-kerugian ekonomis yang timbul akibat tindak pidana itu juga harus bisa dipulihkan," jelasnya.

Pemulihan yang dimaksud misalnya korporasi harus bisa memulihkan kembali pencemaran lingkungan akibat kegiatannya. Hal seperti ini akan lebih cocok jika ditujukan pada korporasi dan bukan pada orang per orang.

Senada dengan Chairul, Supriyadi menyebutkan, sanksi pidana pada korporasi memang bisa berupa ganti rugi, pemidanaan pengurus korporasinya hingga pencabutan izin usaha. Dengan begitu, tidak akan ada lagi pemidanaan yang menjerat orang-orang kecil yang mengatasnamakan korporasi.

"Jadi semangat RUU KUHP ini, korporasi yang men-support orang-orang juga dapat dipidana. Selama ini hanya dalam batas tertentu yang terkena pasal pidana tapi struktur atasnya tidak," tuturnya.

Sementara itu, Kurniawan mengatakan, sanksi pidana yang bisa dikenakan pada korporasi khususnya disasar pada struktur penanggungjawab yang mengambil kebijakan secara sistematis agar bisa menjalankan prosedural teknis usaha. Selanjutnya, sanksi yang diberikan bisa berupa sanksi administratif, audit lingkungan, tindakan pemaksaan meliputi upaya menghentikan operasi produksi yang dianggap telah menyebabkan kerusakan atau konflik, dan mencabut izin usaha setelah melewati proses review.

"Kita juga sasar tidak hanya bentuk penegakan hukum yang bisa dilakukan, tapi upaya pemulihan," jelasnya.

Menurutnya, upaya pemulihan ini yang tidak banyak dilakukan dalam penegakan hukum. Kurniawan mengatakan, seharusnya ada sanksi tegas secara hukum yang menginstruksikan dan memiliki kekuatan hukum final dan mengikat agar ada upaya pemulihan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat yang terampas akibat operasi produksi dari perusahaan tersebut.

Atas substansi ini dalam RUU KUHP, pembahasan yang akan berat nantinya akan terkait dengan format berbagai macam peraturan pelaksanaan yang belum diformat untuk korporasi. Misalnya format dakwaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk individu per orang tentu berbeda dengan identitas data korporasi.

"Hal-hal teknis seperti itu yang harus disesuaikan juga, jadi dalam KUHAP-nya yang harus diatur berkenaan dengan hukum acara atau bagaimana melakukan proses hukum terhadap korporasi," pungkas Kurniawan. jelasnya.

BACA JUGA: