JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto mengakui mekanisme prapenuntutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bermasalah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Penilaian itu disampaikan Bibit saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang judicial review sejumlah pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatur tentang mekanisme prapenuntutan, di Mahkamah Konstitusi (MK).     

Menurut Bibit, yang dihadirkan para pemohon gugatan, sejumlah pasal terkait prapenuntutan yaitu, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 14 huruf b, Pasal 138 Ayat (2), Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i KUHAP itu seharusnya dapat menjadi jembatan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses peradilan pidana dengan baik.

Hanya saja, mantan petinggi Polri itu menilai, pada praktiknya proses prapenuntutan kerap bermasalah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan. Bahkan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum.

"Permasalahan utama terkait dengan pemberitahuan penyidikan dan pola koordinasi penyidik dengan penuntut umum," Kata Bibit di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (13/4).

Ia menjelaskan, sejak awal masalah sudah tampak dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang tidak mencantumkan atau memiliki kejelasan waktu kapan pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Pada praktiknya,  penyidik pun kerap kali menafsirkan berbeda-beda saat memberikan SPDP tersebut.

Seringkali SPDP diberikan kepada penuntut umum saat penyidik membutuhkan perpanjangan penahanan terhadap tersangka dari penuntut umum atau diberikan bersamaan dengan penyerahan berkas perkara. "Bahkan tidak jarang pemberitahuan penyidikan justru tidak dilakukan oleh penyidik," ujarnya.

Selain itu, ia juga menilai bahwa permasalahan kerapkali timbul dari kejaksaan atau penuntut umum yang tidak responsif terhadap dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian. Tidak jarang dalam sebuah perkara dapat berulang kali mengalami bolak-balik perkara dengan dalih pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik belum lengkap.

Lebih jauh Bibit mengisahkan pengalamannya saat masih menjabat sebagai aparat kepolisian. Menurut dia, koordinasi antara penyidik dan penuntut umum memang kerap kali terhambat. Ketika masih di kepolisian, untuk mengatasi persoalan mekanisme prapenuntutan ini, dilakukan dengan proaktif berkoordinasi baik melalui surat menyurat maupun komunikasi langsung dengan jajaran kejaksaan atau penuntut umum.

Sebab kenyataannya memang tidak ada kejelasan dalam norma pasal aquo. Jadi apabila penyidik tidak proaktif, begitu juga penuntut umum maka dipastikan proses koordinasi akan sangat terhambat. "Walaupun di internal Polri sudah ada mekanisme gelar perkara secara internal akan tetap bermasalah," ujarnya.   

Bibit menambahkan, praktik bolak-balik perkara dalam proses penyidikan dari penyidik dan penuntut umum adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Sebab, dalam UU KUHAP itu, koordinasi antara penyidik dan penuntut umum memang hanya dilakukan sebatas surat menyurat saja, sehingga tidak jarang antara dua instansi itu kerap terjadi kesalahpahaman satu sama lain, terlebih dalam menangani sebuah kasus yang memiliki tingkat pembuktian yang cukup rumit.

"Kondisi ini pernah disampaikan oleh mantan Wakapolri Bapak Makbul Padmanegara kepada saya, bahwa masalah koordinasi antara Polri dengan kejaksaan paling menonjol adalah bolak-baliknya berkas perkara," pungkasnya.

BERBEDA DENGAN KPK – Bibit pun membandingkan proses koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam UU KUHAP dengan proses yang sama di dalam KPK. Menurutnya, proses prapenuntutan yang dilakukan oleh lembaga antirasuah itu sangat kental dengan kesadaran koordinasi dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum. Secara kebetulan di KPK, penyidik dan penuntut umum berada di dalam satu kedeputian yaitu deputi penindakan, sehingga mekanisme yang dijalankan dalam deputi itu, baik oleh penyidik maupun penuntut umum, dilakukan dengan ekstra komunikatif dan koordinatif.

"Berbeda di sana, itu mereka sejak awal proses penyidikan bahkan penyelidikan suatu perkara jaksa penuntut umum itu sudah dilibatkan dalam diskusi pembahasan penanganan perkara," paparnya.

Pernyataan yang sama juga diamini mantan Komisioner KPK lainnya yang juga hadir dalam persidangan judicial review di MK yaitu Chandra Hamzah. Menurut Chandra, ketika KPK ingin meningkatkan tahap penyelidikan kepada tahap penyidikan dan dari tahap penyidikan naik ke tahap penuntutan itu, KPK melakukan gelar perkara di lingkungan internal dipimpin oleh pimpinan KPK dan dihadiri oleh deputi, para direktur, penyelidik, penyidik, dan jaksa penuntut umum yang ditugasi menangani perkara tersebut.

"Ada proses atau mekanisme koordinasi antara penyidik dan penuntut umum sejak dini dalam menangani sebuah perkara. Itu sangat penting dalam prapenuntutan," ungkap Chandra.

Diketahui sebelumnya, gugatan judicial review ini diajukan empat orang pemohon yang merasa dirugikan dengan keberadaan sejumlah pasal dalam UU KUHAP. Mereka adalah, Usman Hamid, Choki Ramadhan, Carolus Tuah, dan Andro Supriyanto. Para pemohon mempersoalkan empat pasal dalam undang-undang KUHAP, diantaranya, Pasal 14 huruf b dan huruf I tentang Prapenuntutan dan Pasal 109 tentang Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada Penuntut Umum.

Kemudian, Pasal 138 Ayat (1) terkait dengan ketentuan Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan oleh penyidik, serta Pasal 138 Ayat (2) yang menyatakan jika dari hasil penyidikan tersebut penuntut umum menyatakan belum lengkap atau masih memiliki kekurangan dari proses penyidikan maka penuntut umum berhak mengembalikan berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas yang disertai dengan petunjuk dari penuntut umum.

Selain itu, para pemohon juga mempersoalkan Pasal 139 yang menyatakan setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas atau hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum dapat segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak.

BACA JUGA: