JAKARTA, GRESNEWS.COM – Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini menjadi acuan aparat penegak hukum menangani perkara pidana dinilai telah usang. Salah satu persoalan dalam KUHAP saat ini adalah proses prapenuntutan yang terkesan berbelit-belit. Keterangan itu disampaikan  oleh ahli hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, saat menyampaikan keterangannya di Sidang  Uji Materiil UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/3).

Dalam persidangan tersebut Mahkamah menghadirkan sejumlah ahli untuk dijadikan bahan pertimbangan Mahkamah dalam menangani perkara yang diajukan oleh sejumlah aktivis pemerhati peradilan di Indonesia itu.

Menurut Andi, produk hukum peninggalan Belanda itu harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Sehingga ia meminta pemerintah melakukan perubahan terhadap KUHAP, khususnya terkait dengan perbaikan sistem atau proses prapenuntutan yang saat ini dipersoalkan oleh para pemohon.

"Memang diperlukan penyesuaian. Jadi tidak ada P-19, tidak P-21, setelah perkara diserahkan kepada jaksa selesai. Sekarang P-21 tidak ada lagi hubungan antara penyidik dengan jaksa," kata Andi.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pakar hukum pidana Saint Louis University School of Law Berkeley, Amerika Serikat, Stephen C Thaman, yang juga dimintakan keterangan melalui video conference menjelaskan, di sejumlah negara maju, proses prapenuntutan yang dilakukan oleh penyidik aparat penegak hukum baik kepolisian maupun penuntut umum tidak bertele-tele seperti di Indonesia.

Ia mengisahkan, proses penyidikan prapenuntutan yang dilakukan di Inggris dan Amerika, aparat kepolisian dan jaksa melakukan penyidikan secara bersama-sama. Sistem ini, menurutnya, telah diadopsi oleh beberapa negara yang menganut sistem hukum pidana modern.

Menurutnya, hal itu dilakukan guna menyederhanakan dan mempersingkat proses prapenuntutan. Sejumlah negara yang menganut sistem hukum pidana modern juga tidak mengenal bolak-balik berkas penyidikan layaknya yang terjadi di Indonesia.

"Pada dasarnya, jaksa penuntut akan memutuskan setelah menerima pemeriksaan dari polisi untuk melanjutkan dengan penuntutan atau tidak," jelasnya.

Namun pandangan berbeda disampaikan pengamat hukum pidana Universitas Padjadjaran Prof. Romli Atmasasmita. Ia menyatakan, keterlibatan jaksa dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian tidak dapat dilakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan sistem hukum yang dianut oleh undang-undang di Indonesia mengadopsi system civil law. Civil law adalah sebuah sistem hukum yang mengatur kewenangan dan kekuasaan penguasa atau negara serta hubungan antara masyarakat dan negara.

Dalam sistem itu, lanjut Romli, seluruh instansi atau lembaga pengadilan seperti kepolisian, kejaksaan, serta hakim memiliki kewenangan masing-masing yang diatur dalam KUHAP.

"Kita ini mengadopsi civil law bukan common law. Jadi jaksa memiliki kewenangan dalam penuntutan, dan penyidikan itu wewenang kepolisian," katanya kepada gresnews.com melalui sambungan seluler.   

Untuk diketahui, gugatan judicial review ini diajukan oleh empat orang pemohon yang merasa dirugikan dengan keberadaan sejumlah pasal dalam KUHAP. Mereka adalah Usman Hamid, Choki Ramadhan, Carolus Tuah, dan Andro Supriyanto

Para pemohon telah mempersoalkan empat pasal dalam undang-undang tersebut, diantaranya, Pasal 14 huruf b dan huruf I tentang Prapenuntutan. Pasal 109 tentang Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada Penuntut Umum. Kemudian, Pasal 138 ayat 1 terkait dengan ketentuan Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan oleh penyidik.

Juga Pasal 138 ayat 2 yang menyatakan jika dari hasil penyidikan tersebut Penuntut Umum menyatakan belum lengkap atau masih memiliki kekurangan dari proses penyidikan, maka Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas yang disertai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.

Selain itu, para pemohon juga mempersoalkan Pasal 139 yang menyatakan setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali berkas atau hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Maka Penuntut Umum dapat segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

FENOMENA BERKAS BOLAK-BALIK – Sementara itu, salah satu pemohon, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Ramadhan mengatakan, permohonan judicial review UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini menekankan pada pola koordinasi penyidik kepolisian dengan penuntut umum dalam proses peradilan pidana yang dikenal dengan prapenuntutan.

Menurutnya, sejumlah pasal terkait prapenuntutan yaitu, Pasal 109 ayat 1, Pasal 14 huruf b, Pasal 138 ayat 2, Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i KUHAP tersebut telah menjadi salah satu sumber permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia. Antara lain terbukanya ruang kesewenang-wenangan penyidik dalam tahap penyidikan, sehingga sangat membuka celah untuk mengkriminalisasi seseorang.

Ia menambahkan, ruang kriminalisasi sangat terbuka ketika berkas pemeriksaan acara dari penyidik yang dilimpahkan kepada penuntut umum kemudian dikembalikan lagi berulang-ulang kali, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Urgensi dari pengujian ini adalah untuk memotong fenomena bolak-balik berkas perkara yang kerap terjadi antara penyidik dengan penuntut umum. Bolak-balik berkas perkara tidak jelas dapat dilakukan berapa kali. Bahkan norma prapenuntutan yang dimulai dari penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam KUHAP bersifat fakultatif (tidak wajib)," kata Choky di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menambahkan, ketentuan norma dalam pasal aquo yang mengatur tentang ketika berkas perkara sudah diserahkan kepada penuntut umum, frasa "segera" untuk dilimpahkan ke pengadilan dalam KUHAP tidak memiliki pemaknaan yang jelas. Sehingga ia menilai, norma tersebut berpotensi melanggar hak tersangka sekaligus membuka ruang praktik penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur penegak hukum.

Sehingga ia menegaskan harus ada pembenahan terkait dengan peran penuntut umum, sejak sebuah perkara masuk dalam tahap penyidikan oleh aparat kepolisian. "Salah satu jalan pembenahannya adalah melalui penguatan peran penuntut umum sebagai pengendali perkara," pungkasnya. Karena harus ada batasan baik waktu maupun jumlah bolak-baliknya berkas pemeriksaan," tegasnya menambahkan.

SALAH KAPRAH - Sementara itu, dalam persidangan sebelumnya, kesaksian pihak pemerintah yang diwakili oleh Kejaksaan Agung (Kejagung RI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menilai bahwa pokok permohonan para pemohon tidak memiliki landasan hukum. Mereka beranggapan gugatan para pemohon seharusnya bukan menjadi ranah MK, melainkan ranah para pembuat undang-undang sehingga pemerintah beranggapan permohonan para pemohon ´salah kaprah´.

Kepala Bagian Bantuan Hukum (Kabag Bankum) Mabes Polri Komisaris Besar Agung Makbul menyatakan, kewenangan MK adalah menangani perkara gugatan sebuah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Menurutnya, apa yang dipersoalkan oleh pemohon terkait dengan implementasi undang-undang dan merupakan ranah pembuat Undang-undang.

Ia menegaskan, ketentuan untuk melengkapi berkas perkara sehingga terjadi bolak-balik perkara merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UU KUHAP. Sehingga salah satu dalil permohonan para pemohon yang mempersoalkan batas waktu bolak-balik perkara,  merupakan salah satu proses untuk melengkapi pemeriksaan jika memang dianggap atau diperlukan penambahan sebagai mana yang diperintahkan undang-undang aquo.

Ia pun menegaskan, bahwa dalam UU KUHAP itu tidak ada ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur tentang batas waktu membolak-balikan berkas perkara. "Yang ada itu kadaluarsa, misalnya ancaman kurang atau di bawah 3 tahun itu ada 6 tahun waktu kadaluarsanya. Yang ancaman lebih 5 tahun ada 18 tahun, kalau kadaluarsa itu memang ada. Tapi kalau batas waktu masalah bolak-balik berkas penyidikan itu memang tidak ada," tegasnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Koordinator Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN) Kejaksaan Agung Eril Prima Agoes. Ia menyatakan, dalil permohonan pemohon yang menyatakan bahwa tidak adanya ketentuan batas waktu dan bolak-balik perkara telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminatif,  merupakan dalil yang keliru dan tidak logis.

Menurutnya, ketentuan bolak-balik perkara atau yang biasa dikenal dengan istilah P19 itu merupakan suatu semangat dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, syarat P19 itu digunakan oleh penyidik untuk melengkapi berkas permohonan perkara guna melanjutkan ke proses persidangan.

"Hal ini menjadi sangat penting untuk memastikan apakah berkas perkara yang masuk pengadilan sudah cukup alat bukti atau tidak. Dan hal ini tentu dilakukan sesuai dengan ketentuan prinsip negara hukum, dan semua tindakan aparat penegak hukum itu telah diatur di dalam KUHAP," papar Eril.

Kalaupun ada suatu kasus yang mengalami perlambatan kelengkapan berkas penyidikan seperti yang didalilkan oleh para pemohon, lanjut Eril, itu merupakan persoalan teknis yang bukan disebabkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan (aquo). Namun pada dasarnya, ia kembali menegaskan, bahwa penyidik dan penuntut umum hanya ingin memastikan berkas perkara yang dilimpahkan ke pengadilan benar-benar sudah dilengkapi dengan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dalam persidangan.

"Hal ini merupakan tindakan hukum yang mencerminkan adanya kepastian hukum dan keadilan yang telah diatur dalam KUHAP," tuturnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: