JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah dibahas di DPR RI terus menerus menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya pembahasan RKUHP yang terdiri dari lebih dari 700 pasal ditargetkan selesai di tahun ini. Tenggang waktu yang tinggal sedikit serta jumlah pasal yang sangat banyak ditenggarai sebagai salah satu penyebab pembahasan peraturan yang akan dijadikan acuan hukum pidana itu terkesan asal-asalan.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan dalam RKUHP itu adalah Pasal 58 RKUHP tentang Penyesuaian Sanksi Pidana. Pasal tesebut mengatur tentang mekanisme atau syarat untuk mendapatkan penyesuaian atau perubahan hukuman bagi narapidana yang sudah divonis oleh pengadilan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, pada dasarnya perubahan, keringanan, atau penyesuaian hukuman bagi narapidana itu kerap kali dilakukan oleh pemerintah melalui pemberian remisi atau pemotongan masa tahanan bagi narapidana. Hal itu telah diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana narapidana yang dianggap memiliki kelakuan baik selama menjalani masa tahanan dapat memperoleh potongan atau remisi dari masa penahanan yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

Remisi atau potongan masa tahanan merupakan salah satu kebijakan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk mengembalikan atau menyatukan kembali narapidana dan masyarakat diluar, dengan harapan narapidana tersebut memiliki perubahan tingkah laku yang positif ketika bebas dari tahanan. Sayangnya, selama ini prosedur dan indikator yang dapat diberlakukan untuk mengklasifikasikan seorang narapidana itu berhak mendapatkan remisi pun sangat abstrak, sehingga tidak jarang fasilitas remisi itu hanya diperoleh bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial saja.

Belum selesai dihadapi dengan persoalan tidak jelasnya indikator seorang narapidana mendapatkan remisi, kemudian muncul Pasal 58 RUU KUHP yang tampaknya merupakan fasilitas baru bagi narapidana yang hendak mendapatkan remisi atau potongan masa tahanan. Dalam penjelasan Pasal 58  RUU KUHP dinyatakan, bahwa perubahan atau penyesuaian ini dilakukan dengan putusan pengadilan atas dasar permohonan yang diajukan ke pengadilan dan tidak mengurangi kewenangan yang ada pada Menteri Hukum dan HAM selaku penanggungjawab pemberi remisi bagi narapidana.

"Kalau dilihat dari ketentuan ini, ini seperti tambahan fasilitas disamping remisi, karena permohonannya itu disampaikan ke pengadilan bukan ke Kemenkum HAM," kata Anggara dalam diskusi Perubahan atau Penyesuaian Sanksi Pidana RKUHP di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (30/10).

Hanya saja, ia mengaku pasal tersebut masih memiliki kerancuan. Sebab, disatu sisi Kemenkum HAM masih memiliki kewenangan seperti halnya yang telah diatur dalam UU Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 1999, PP No.28 Tahun 2006, dan PP No.99 Tahun 2012. Sementara, dalam RKUHP Pasal 58 ini kewenangan pemberian remisi berada ditangan hakim pengadilan. "Kemenkum HAM jadi lebih pada mengetahui hasil putusan pengadilan saja nanti," ujarnya menegaskan.

Kendati demikian, ia berharap, pemberian remisi ini harus mengacu pada tujuan sesungguhnya, yaitu memasyarakatkan kembali atau resosialisasi narapidana pasca menjalani masa tahanan. Selain itu ia juga meminta agar pemerintah memperjelas indikator kelakuan baik yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan selama ini, sehingga pemberian remisi bagi narapidana tidak hanya dikaitkan dengan over kapasitas lapas yang saat ini kurang memadai.

"Karena selama ini kebijakan remisi kan selalu dijadikan alasan dapat mengurangi kapasitas narapidana di dalam LP kan, kalau narapidana berkurang berarti mengurangi beban finansial yang harus ditanggung Negara kan. Padahal bukan itu esensi dari remisi sebenarnya," tegasnya.

CABUT HAK REMISI KORUPTOR - Dalam kesempatan yang sama, Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, prosedur pemberian remisi yang diatur dalam Pasal 58 RKUHP ini memiliki nilai positif sebagai upaya pengetatan pemberian remisi bagi para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi (koruptor). Menurutnya, kewenangan pengadilan dalam memutuskan apakah seorang terpidana kasus korupsi itu berhak mendapatkan remisi atau potongan masa tahanan lainnya seharusnya dapat menjadi terobosan baru dalam pemberian efek jera bagi para koruptor.

Ia menambahkan, sebelum RKUHP ini muncul, Pemerintahan SBY telah mengeluarkan PP No.99 Tahun 2012 tentang syarat dan penentuan untuk mendapatkan remisi bagi narapidana. Dalam PP tersebut, ada ketentuan bagi terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi, atau asimilasi, atau bebas bersyarat. Yang pertama jika terpidana itu berkelakuan baik selama menjalani proses tahanan.

Kedua, terpidana juga harus sudah menjalankan hukuman 2/3 dari jumlah masa tahanan, selain itu salah satu pengetatan yang dilakukan oleh SBY adalah syarat ketiga, yaitu jika terpidana membantu pemerintah atau aparat kepolisian dalam melakukan penyelidikan terkait kasus atau tindak pidana yang dikenakannya (justice collaborator).

Jauh sebelumnya, lanjut Emerson, SBY juga pernah mengeluarkan PP No.28 Tahun 2006 yang juga mengatur tentang syarat dan penentuan untuk mendapatkan remisi bagi narapidana. Hanya saja dalam PP tersebut masih sangat berpotensi dijadikan celah bagi para koruptor atau pun pelaku kejahatan luar biasa lainnya untuk mendapatkan remisi atau potongan masa tahanan. "Karena disitu tidak ada syarat justice collaborator," tegasnya.

Akan tetapi, lanjutnya, perlu komitmen yang serius dari pemerintah untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Korupsi adalah kejahatan yang tergolong sangat luar biasa sehingga penanganan serta penindakannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.

Emerson berharap, RKUHP yang memberikan kewenangan kepada pengadilan dalam memutuskan remisi ini, tidak menghilangkan semangat untuk menindak tegas para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

Disatu sisi, ia menilai, proses lewat pengadilan ini dapat menghilangkan praktik transaksional jual beli remisi antara terpidana dan oknum petugas lapas. Sebagaimana diketahui, salah satu syarat mengajukan permohonan remisi atau potongan masa tahanan adalah surat laporan/keterangan kelakuan baik dari petugas lapas yang hingga saat ini tidak memiliki indikator yang jelas.

"Kita tahu sendiri kan, koruptor itu sangat lihai dalam melihat celah hukum. Dia punya kekuatan finansial, dia bisa beli pengacara, petugas lapas agar buat laporan yang baik-baik di dalam lapas. Padahal di dalam lapas dia juga sebenarnya nyaman dengan fasilitas yang dia miliki dari oknum petugas lapas selama dalam tahanan," jelasnya.

Namun, bukan berarti kewenangan pengadilan juga tidak bisa masuk angin. Oleh karena itu kata Emerson, pemerintah harus mengeluarkan peraturan untuk mencabut hak secara keseluruhan para koruptor itu untuk mendapatkan remisi atau pemotongan masa tahanan.

"Dalam UU Korupsi itu harus diterapkan pidana tambahan, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak dari pada terpidana kasus korupsi. Jadi jaksa atau KPK dalam tuntutan itu jangan hanya bicara seberapa lama dia di penjara, tetapi harus ada pencabutan hak untuk mendapatkan remisi bagi para koruptor. Nah ini yang tidak pernah dilakukan," tegasnya.

REMISI JADI BARANG DAGANGAN – Pengacara Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan, proses pemberian remisi, asimilasi, serta bebas bersyarat selama ini sering kali dijadikan barang dagangan bagi oknum petugas di lingkaran Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini sangat sering terjadi lantaran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang syarat dan ketentuan pengajuan remisi, asimilasi, serta bebas bersyarat tidak diikuti dengan indicator yang jelas.

PP 27 Tahun 1983 mengatakan bahwa Kepala Rutan atau Kepala Lembaga Pemasyaraktan (Lapas) berwenang untuk melakukan evaluasi dan melaporkan tidak tanduk yang berkaitan dengan sikap para penghuni lapas/rutan kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM). Tapi sayangnya, dalam peraturan itu tidak dijelaskan tentang parameter yang dapat dijadikan acuan bagi perubahan sikap atau tingkah laku para narapidana.

Dalam situasi itu, tidak jarang laporan yang dibuat untuk mengajukan permohonan remisi, atau asimilasi, serta bebas bersyarat adalah laporan yang dibuat seperti halnya laporan kegiatan normatif para penghuni lapas.

"Tahu nggak laporannya itu kaya gimana? Laporannya itu ini orang sudah makan sehari berapa kali, kebutuhan hak biologisnya terpenuhi apa tidak, orang ini pernah sakit apa ngga? berapa kali orang ini sakit? Nggak ada catatan yang terkait dengan sikap baik bagi narapidana. Berapa kali dia ibadah ke tempat ibadah di dalam lapas aja nggak ada dilaporin, silahkan cek kalau nggak percaya," kata Julius yang mengaku pernah menjadi Tim Penyusun RUU Pemasyarakatan itu menjelaskan.

Ia juga mencontohkan, bagaimana Ratu Mariyuana dari Australia Schepelle Leigh Corby mendapatkan pembebasan bersyarat dari Pemerintah pada awal tahun 2014 lalu, kemudian terpidana kasus korupsi dan suap BLBI yang melibatkan mantan Jaksa Urip Tri Gunawan yang di pidana selama 20 tahun dan telah memperoleh beberapa kali remisi dari Kemenkum HAM.

"Masih banyak lagi koruptor-koruptor dan penjahat luar biasa di Indonesia yang dapat dengan mudah memperoleh potongan masa tahanan, padahal perubahan sikapnya dan indikatornya tidak jelas," ujarnya.

Sehingga ia berpendapat, Pasal 58 RKUHP merupakan terobosan hukum baru yang memiliki semangat restorative justice. Dengan pemberian remisi bagi narapidana di pengadilan, kata Julius, prosesnya akan lebih transparan atau terbuka sehingga masyarkat dapat mengawasi proses pemberian remisi atau potongan masa tahanan bagi narapidana.

Selain itu, hakim di pengadilan akan lebih dapat memeriksa pemohon remisi, terlebih lagi yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku serta perubahan narapidana yang hendak mengajukan remisi. Selain itu, jika kewenangan tersebut dipindah ke pengadilan, maka otomatis harus ada ketentuan atau prasyarat yang dijadikan hakim agar dapat menerima permohonannya atau tidak.

"Dengan indikator, misalnya, pengadilan harus memeriksa apakah yang bersangkutan itu selama pemeriksaan selalau mengikuti prosedur penyelidikan dan penyidikan secara sempurna dan mendorong keadilan bagi korban atas tindak pidana yang dia lakukan,"kata Julius.

Kedua, dia bisa mengajukan syarat misalnya 2/3 atau berapa pun waktunya selama mendapatkan potongan hukuman atau bebas bersyarat dia tidak melanggar tata tertib. "Dia harus mengalami perubahan religiusitas, intelektualitas, produktifitas bekerja, dan tentunya selama diluar dia tidak mengulang kembali perbuatannya," tutupnya. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: