JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beban rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini sudah melebihi kapasitas yang layak untuk menampung para tahanan atau terpidana kasus-kasus pidana. Untuk mengurangi beban Rutan dan Lapas akibat overcapacity maka pemerintah harus merombak total sistem penahanan.

"Sistem penahanan ini harus meliputi perbaikan dasar dan mekanisme kontrol, izin, dan komplain terhadap upaya penahanan," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (11/11).

ICJR mencatat, pada 2004 hingga 2011, populasi penghuni penjara (rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000 orang. Padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari 2%. Pada Juli 2015, menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDB) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ada sejumlah 178.063 penghuni yang tersebar di 477 lapas/rutan.

"Kepadatan penghuni lembaga lapas atau rutan secara nasional sudah berkisar di angka 145%, namun pada banyak penjara besar jumlah penghuni bisa mencapai angka 662% dari kapasitas yang tersedia," tambah Supriyadi.

Penghuni lapas dan utamanya rutan tentu saja bukan hanya terpidana, namun juga tahanan. Penahanan yang dilakukan pada tingkatan pra-persidangan yaitu pada tingkatan penyidikan dan penuntutan mencapai 34% dari jumlah total penghuni lapas dan rutan di seluruh Indonesia.

Besarnya jumlah tahanan pada tingkat pra persidangan inilah yang salah satunya menjadi penyumbang tingginya angka hunian lapas/rutan. "Angka ini belum termasuk jumlah tahanan yang berada di dalam tahanan Kepolisian yang sampai saat ini jumlahnya tidak pernah diketahui," kata Supriyadi.

Besarnya angka penahanan pada level ini, terjadi akibat besarnya penggunaan kewenangan penahanan pada tahapan pra-persidangan diakibatkan salah satunya karena kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan terlampau besar dan minim kontrol.

Ada beberapa catatan terkait persoalan penahanan di Indonesia. Pertama, kewenangan penyidik untuk menahan yang tak tersentuh. Penahanan di Indonesia terjadi secara Post Factum artinya penahanan terlebih dahulu terjadi barulah penahanan tersebut dapat dikomplain atau diuji.

Sistem penahanan di Indonesia tidak mengenal mekanisme izin dan kontrol dari lembaga lain, tidak ada lembaga yang dapat mengawasi kewenangan penahanan yang dilakukan oleh penyidik. "Hal ini mengakibatkan penyidik benar-benar tidak tersentuh dalam melakukan penahanan," tegas Supriyadi.

Kedua, penahanan secara yuridis dapat dikenakan bagi delik yang diancam dengan pidana diatas 5 tahun. Saat ini untuk tindak pidana di luar KUHP saja, sampai tahun 2014, ada sekitar 443 jenis kejahatan baru dengan ancaman maksimum hukuman lebih dari lima tahun.

Pengaturan besaran ancaman pidana di Indonesia yang tanpa arah dan indikator tersebut, memperburuk keadaan ini. Pembuat Undang-Undang seakan latah untuk membuat ancaman pidana setinggi mungkin tanpa sadar bahwa ancaman tinggi berarti membuka peluang penahanan semakin tinggi pula.

Permasalahan ini terlihat misalnya dalam kasus-kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), contohnya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang ancaman pidananya di atas 5 tahun. Sedangkan di dalam KUHP untuk delik-delik penghinaan, tertinggi diancam dengan pidana 4 tahun.

Ketiga, implementasi unsur keadaan kekhawatiran dalam penahanan. Dalam konteks Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, dalam melakukan penahanan penyidik harus didasarkan pada adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran. Beberapa diantaranya adalah kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri.

Kemudian, kekhawatiran tersangka atau terdakwa merusak atau mengilangkan barang bukti, atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Seluruh penilaian ini dikembalikan kepada penyidik, sehingga secara subjektif penyidik tidak perlu membuktikan atau mempertimbangkan "keadaan" yang dimaksudkan.

Hal ini, menurut Supriyadi, membuktikan tidak ada pembuktian yang berimbang karena yang dapat membuktikan adanya kekhawatiran tersebut tentu saja penyidik. "Ini berhubungan dengan mekanisme uji dan komplain yang secara praktik tidak pernah membebankan pembuktian itu pada penyidik," ujarnya.

Keempat, Mekanisme komplain berupa praperadilan tidak layak. Meskipun secara normatif hukum Indonesia mengakui adanya asas praduga tak bersalah, namun secara sistem, asas tersebut tidak dapat diimplementasikan secara baik.

"Sistem penahanan di Indonesia tidak menyediakan mekanisme kontrol, izin dan komplain yang memadai baik secara regulasi maupun praktik di ruang sidang," kata Supriyadi.

Dalam sistem penahanan di Indonesia, satu-satunya mekanisme komplain adalah praperadilan, namun mekanisme ini sangat tidak efektif. Praperadilan menempatkan tahanan sebagai orang yang melakukan permohonan, ini mengakibatkan beban pembuktian terdapat pada pemohon.

Padahal seluruh penilaian dan kompetensi pembuktian ada pada penyidik. Selain itu, khusus penahanan untuk tersangka anak, praperadilan tidak lagi dapat digunakan

Kelima, Pembuktian timpang dan prosedural. Berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, bukti yang cukup ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya.

Hal ini menjadi langkah baik dalam memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan penyidik haruslah tepat. Namun yang menjadi masalah adalah beban pembuktian dalam Praperadilan sebagai satu-satunya mekanisme komplain penahanan dibebankan pada pemohon.

Padahal yang bisa membuktikan adanya bukti permulaan yang cukup tersebut adalah penyidik sendiri. Selain itu secara praktik, praperadilan didasarkan pada pembuktian yang sangat prosedural formal, hakim hanya memeriksa bukti-bukti formil seperti surat menyurat tanpa melakukan pembuktian pada substansi alasan penahanan lainnya.

Keenam, kekanisme komplain minim akses. Praperadilan juga didasarkan pada sebuah mekanisme beracara yang mengakibatkan bahwa pemohon yang awam dengan acara di peradilan harus memiliki pengacara.

Ini menunjukkan, praperadilan sangat susah untuk diakses oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki pengacara. Penelitian ICJR pada 2014, dari 80 Putusan Praperadilan Penahanan, 77 diantaranya diajukan oleh pengacara, hanya 3 orang yang diajukan sendiri oleh tahanan.

"Ini menunjukkan ketergantungan yang besar pada pengacara," kata Supriyadi.

Dia menerangkan, pada intinya, kewenangan besar penyidik berbanding terbalik dengan regulasi dan mekanisme kontrol, izin dan komplain. Masalah ini tentu saja menimbulkan dampak yang besar, setiap kewenangan besar yang tanpa kontrol akan mengakibatkan adanya kesewenang-wenangan dan tingginya angka penahanan.

Tingginya angka penahanan tentu saja berakibat langsung pada banyaknya jumlah penghuni dalam rutan atau lapas. Hal ini, secara langsung menimbulkan overcapacity.

Menurut Supriyadi untuk mengurangi beban rutan dan lapas akibat overcapacity maka pemerintah harus merombak total sistem penahanan. Sistem penahanan ini harus meliputi perbaikan dasar dan mekanisme kontrol, izin dan komplain penahanan.

"Perubahan regulasi menjadi angka mati untuk memperbaiki persoalan penahanan selama ini, termasuk overcapacity dan masalah penahanan yang dipaksakan atau kriminalisasi," pungkasnya.

RESTORATIVE JUSTICE - Terkait overcapacity lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sendiri, pemerintah memang sudah berupaya mencari jalan keluar lewat memasukkan aturan soal restorative justice dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menkumham Yasonna Laoly dalam kesempatan membahas draf RKUHAP dengan DPR memberikan penjelasan terkait restorative justice.

Bunyi pasal soal pidana sosial ini terdapat di draf RUU KUHP Pasal 66. Aturan ini lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Yasonna menyebut munculnya hal ini sebagai terobosan yaitu bisa mengurangi kepadatan isi lembaga pemasyarakatan.

"Itu sangat penting. Itu lah terobosan KUHP kita. Masa orang-orang cuci piring, nenek-nenek kalian kirim masuk ke penjara sana? Kita kasih saja kerja sosial. Itu kan apa? Ini kan kita tak mampu bangun penjara terus," kata Yasonna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia mengingatkan penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa. Sebagian kecil angka dari total penduduk itu berada di lapas untuk menjalani hukuman. Menurutnya, jumlah lapas tak cukup mengimbangi tahanan narapidana sehingga sering membuat overcapacity.

"Kalau filosofi kita menghukum orang terus, mau harus bangun penjara berapa? Penduduk kita 250 juta," tuturnya.

Dia menegaskan restorative justice ini tak bisa dimanfaatkan sejumlah pihak seperti koruptor untuk mencari keuntungan. "Ya, enggak bisa. Restorative justice itu kan untuk kejahatan ringan. Kalau disebut restorative justice itu untuk tindak pidana ringan," sebutnya.

Prinsip restorative justice ini bisa diterapkan pada kasus misalnya, pemidaan atas Nenek Asyani yang didakwa mencuri kayu milik Perhutani. Pengamat Hukum Pidana Prof Dr Hibnu Nugroho mengatakan, dalam kasus seperti ini Nenek Asyani tidak perlu ditahan.

"Sekarang kan banyak perkembangan teori hukum baru, ada restorative justice. Artinya hal tersebut (kasus Nenek Asyani) tidak usah ditahan atau diteruskan," ujarnya.

Restorative justice sendiri merupakan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan. Baik untuk pelaku tindak pidana maupun korbannya sendiri.

"Kalau melihat dampak, kerugian, biaya penyelesaian perkara lebih besar daripada hasil pencurian itu, harus lihat restorative. Itu terobosan baru kalau pengadilan lihat seperti itu. Sekarang kan banyak karena faktor ekonomi," kata Hibnu.

Guru Besar Unsoed Purwokerto ini mengingatkan pihak-pihak yang terkait pada kasus Nenek Asyani. Bahwa ada alternatif penyelesaian selain menggunakan cara formal dalam penegakan hukum.

"Sekarang perkembangan hukum lebih humanis terhadap kasus ringan. Lebih pada pemulihan keadaan masyarakat setempat. Harus berpikir seperti itu. Kerugiaan kecil, pelaku orang tua, apa yang mau dicari," jelas Hibnu.

"Ada banyak alternatif penyelesaian. Lebih pada pembelajaran ke masyarakat setempat. Suatu saat kalau ada seperti itu lagi, baru dikenakan. Penyelesaian alternatifnya tidak melalui jalur formal," imbuhnya.

Nenek Asyani didakwa dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Ia dituduh mencuri kayu jati milik Perhutani yang ia tebang sekitar 5 tahun lalu.

KERJA SOSIAL - Selain restorative justice, dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana juga ada terobosan baru, berupa pemidaan berbentuk kerja sosial. Berdasarkan draf RKUHP, pidana kerja sosial dicantumkan di Pasal 66 tentang jenis pidana.

"Itu (pidana kerja sosial) kan baru draf. Kita harapkan begitu," kata Menkumham Yasonna Laoly.

Menurut Yasonna, alternatif pemidanaan itu bisa bersifat restorative justice atau lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Dengan demikian, orang yang bermasalah dengan hukum tidak harus masuk bui atau membayar denda.

"Pidana-pidana kecil kita harapkan tidak perlu dimasukan di dalam (penjara), tapi kerja sosial. Misalnya ada nenek-nenek usia 80 tahun (kena pidana), daripada ditahan, lebih bagus disuruh kerja (sosial)," tutur Yasonna.

Hukuman kerja sosial ini menjadi terobosan baru karena dalam KUHP yang berlaku sekarang, tidak ada pemidanaan berbentuk kerja sosial. Dalam UU KUHP Pasal 10, tercantum bahwa pidana pokok mencakup pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan tutupan. Sementara itu, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Hukuman pidana kerja sosial ini tentu mengingatkan pada community service yang sudah diterapkan oleh negara-negara seperti Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Indonesia, wacana ini beberapa kali muncul namun belum pernah tereksekusi karena ketiadaan landasan UU.

Selain itu, untuk mengatasi masalah overcapacity ini Yasonna juga mendorong pemberian remisi pembebasan bersayarat, cuti bersayarat, cuti menjelang bebas dan asimilasi. "Namun kadang sering mendapat kritik masyarakat," imbuh Yasonna.

Kemenkumham juga telah bekerjasama dengan BNN untuk membangun 62 UPT Pemasyarakatan sebagai tempat rehabilitasi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Selain itu, kerjasama juga dilakukan dengan Kementerian Pendidikan untuk menjamin pendidikan para warga binaan dan narapidana.

Kerjasama juga dilakukan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi para whistle blower dan justice collaborator. Bank Indonesia juga diajak bekerjasama dalam hal wirausaha bidang agroindustri.

"Kami bekerjasama dengan BI untuk memberikan pelatihan wirausaha pertanian buah naga dan peternakan sapi di Nusa Kambangan," tuturnya.

Untuk mengatasi masalah overcapacity, pemerintah memang tetap juga membangun lembaga pemasyarakatan baru. Saat ini. Kemenkum HAM telah membangun 13 lapas/rutan baru di Indonesia yang dapat menampung 5.251 warga binaan. Namun demikian, permasalahan kelebihan kapasitas di lapas/rutan masih belum teratasi.

Saat ini, dari 477 lapas yang ada di Indonesia, telah menampung 169.697 warga binaan. Sementara idealnya, total warga binaan yang dapat tertampung adalah 117.121 orang, sehingga masih ada kelebihan kapasitas 52 ribu orang, atau sebesar 145 persen.

Kelebihan kapasitas tersebut, menurut Yasonna merupakan masalah fundamental yang mengakibatkan banyak hal buruk terjadi di lapas/rutan. Padatnya lapas/rutan, membuat para narapidana dan warga binaan harus berebut untuk mendapatkan air dan tempat istirahat.

Tak jarang hal itu memicu kriminalitas di lapas/rutan. "Hal itu juga memacu mereka (napi dan warga binaan) menjadi lebih sensitif," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: