JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92/2015 tentang Pelaksanaan KUHAP pada Rabu (8/12) lalu. Beleid itu mengatur soal ganti rugi atas korban salah tangkap dan korban peradilan sesat yang selama ini diatur lewat PP 27/1982 yang dinilai sudah kadaluwarsa.

Dalam aturan baru itu, korban ganti rugi salah tangkap maksimal mendapat ganti rugi Rp 600 juta. Sebelumnya, berdasarkan PP 27/1982 maksimal korban hanya mendapat ganti kerugian sebesar Rp3 juta.

Selain itu, ada beberapa poin penting yang diatur dalam beleid baru soal ganti rugi korban salah tangkap itu. Berikut adalah poinnya:

1. Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta (sebelumnya Rp5 ribu-Rp1 juta).

2. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp300 juta (sebelumnya Rp0-Rp3 juta).

3. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan kematian, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta (sebelumnya Rp0-Rp3 juta).

Adapun untuk proses eksekusi, pemerintah wajib memberikan ganti rugi tersebut maksimal 14 hari sejak surat dari Ketua Pengadilan Negeri yang memberitahukan adanya ganti rugi tersebut, diterima pemerintah. Sebelumnya, tidak dibatasi waktunya hingga korban menerima gemerincing uang bisa bertahun-tahun lamanya.

Menanggapi disahkan beleid ini, Institute for Criminal Justice Reform menilai aturan baru tersebut harus menjadi pendorong keadilan bagi korban dan pendorong bagi peningkatan profesionalitas penegak hukum.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan, ada perubahan signifikan yang dituangkan dalam PP No. 92 Tahun 2015 tersebut. Pertama adalah soal nilai ganti rugi yang diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP.

Kedua, melalui PP No. 92 Tahun 2015, pemerintah juga menata jangka waktu pembayaran ganti kerugian. "PP ini mengamanatkan Menteri Keuangan membuat peraturan menteri yang lebih teknis untuk mengatur tata cara pembayaran ganti kerugian," kata Supriyadi dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (15/12).

Dengan adanya perubahan signifikan ini, kata dia, ICJR mengapresiasi terbitnya PP tersebut. "Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban atas berbagai kesalahan dalam penyidikan dan pengadilan," tegas Supriyadi.

Selama ini, kata dia, akses korban atas tuntutan ganti rugi sangat tidak fair. Paling tidak, PP ini dapat dianggap sebagai produk hukum transisi dalam melakukan perbaikan hukum acara pidana ke arah perubahan KUHAP di masa depan.

Kebijakan ini, kata Supriyadi, juga diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan penyidikan dan menahan seseorang. "Karena beban pembayaran tuntutan akan dibebankan ke dalam anggaran biaya negara," ujarnya.

Salah tangkap dan salah menahan orang akan berimplikasi atas pembayaran tuntutan kepada korban, dan pembayaran ini berdasarkan keuangan negara. "Dengan demikian, aparat penegak hukum harus profesional menjalankan kewenangannya di tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan," kata Supriyadi.

PROSEDUR BEBANI KORBAN - Meski memberikan apresiasi, ICJR juga memberikan beberapa catatan kritis terhadap terbitnya beleid ganti rugi korban salah tangkap ini. Salah satu yang paling signifikan adalah soal prosedur dan mekanisme pengajuan ganti rugi tersebut.

ICJR menganggap prosedur yang ditetapkan masih membebani korban, karena korban yang mengajukan haruslah membuktikan terlebih dahulu tuntutannya secara resmi lewat pengadilan. "Beban pembuktian masih dibebankan kepada korban, lagi pula mekanisme praperadilan saat ini membutuhkan partisipasi advokat, dimana tidak banyak korban dapat mengakses fasilitas tersebut," kata Supriyadi.

Seperti diketahui, dalam PP itu diatur, untuk permohonan gugatan, diajukan maksimal 3 bulan sejak petikan atau salinan berkekuatan hukum tetap diterima. Sementara eksekusi atas keputusan terhadap gugatan itu maksimal dilakukan dalam 14 hari. Dalam jangka tersebut, uang ganti rugi harus cair sejak pengadilan pengaju mengajukan ke Kemenkeu.

Karena itu, kata Supriyadi, pasca PP ini, maka langkah yang paling penting untuk diawasi adalah mengenai Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran. ICJR mendorong mekanisme yang lebih transparan dan tidak birokratis di Kementerian Keuangan.

"Dengan demikian, lorban dapat segera mengakses pembayaran kerugian dari negara," pungkasnya.

Terkait soal ganti rugi, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengakui adanya prosedur yang rumit ini. Dia mengatakan, meski nilai ganti rugi besar, namun PP itu tidak bisa menjamin kepada seluruh korban salah tangkap mendapat ganti rugi.

Alasannya, untuk mendapatkan ganti rugi, korban salah tangkap harus melewati proses praperadilan. "Proses praperadilan itulah yang menentukan apakah seseorang bisa menerima ganti rugi atau tidak," ujarnya.

Soal praperadilan ini, kata Hatta Ali, mengikuti prosedur Pasal 95 KUHAP. "Kalau memang dia bebas tapi menurut praperadilan penahanannya sah ya itu tidak bisa tuntut ganti rugi karena penahanannya sah," terang Hatta.

Dia menjelaskan, meski begitu pihaknya tetap mengapresiasi langkah pemerintah yang mengakomodir korban salah tangkap. "Saya rasa memang sudah harusnya diubah," pungkas Hatta.

BERPIHAK PADA KORBAN - Terbitnya beleid ini memang banyak diapreasiasi kalangan ahli hukum. Salah satunya adalah ahli pidana Dr Yenti Garnasih. "Alhamdulillah, akhirnya pemerintah Jokowi yang baru berumur 1 tahun justru yang merevisi PP yang sudah berumur 32 tahun dan ini berkenaan dengan HAM," ujar Yenti.

"Saya mengapresiasi atas PP tersebut dan saya yang ikut menjadi tim revisi pasti senang," kata Yenti yang juga anggota Pansel Capim KPK ini.

Perubahan PP 27/1983 menjadi PP 92/2015 ini sendiri memang diwarnai berbagai kasus salah tangkap/korban peradilan sesat. Salah satunya adalah peradilan terhadap Sri Mulyani, warga Semarang yang terpaksa dibui selama 13 bulan lantaran dituduh mempekerjakan anak di bawah umur di sebuah tempat karaoke.

Padahal Sri hanya seorang karyawan yang posisinya hanya sebagai kasir di tempat karaoke tersebut. Dia disinyalir telah dikorbankan oleh bosnya. Kasus Sri terungkap dan akhirnya bisa dibebaskan setelah dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron.

Sri dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA) dan diberi ganti rugi Rp5 juta sesuai PP 17/1983. Nilai itu dinilai tak sepadan dengan derita Sri yang selama 13 bulan tak bisa mencari nafkah dan nama baiknya rusak.

Kuasa hukum Sri dari LBH Mawar Saron, Jhoni Mazmur mengatakan trauma penjara yang menimbulkan kerugian immateril terhadap Sri seharusnya juga dikompensasi. "Kalau kita dipenjara, nama baik harus dibersihkan," ujar Jhoni.

Menurut Jhoni, revisi PP 27 itu haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan. Tidak hanya masalah nominal, tetapi juga mekanisme pembayaran dari negara ke korban.

"Nilai disesuaikan per daerah atau disamakan itu tidak masalah. Pendapatan mereka saat ditahan menjadi hilang, tapi berapa nilai pendapatan itu harus bisa dibuktikan," ujar Jhoni.

Sri sendiri hingga hari ini belum menerima ganti rugi Rp5 juta sebagaimana diputus pengadilan. Sebab prosesnya sangat lama dan harus masuk daftar APBN terlebih dahulu. "Ya sebisanya dipermudah masalah pencairannya. Kalau perkara Sri masih di anggaran belanja tahun depan, berarti APBN tahun depan," ujar Jhoni.

Dia bercerita, kasus Sri mirip dengan kasus serupa di Amerika Serikat. Pada tahun 60-an, Ernesto Miranda ditangkap oleh kepolisian karena diduga melakukan tindakan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 tahun.

Selama proses hukum, dia tidak didampingi pengacara. Di tingkat Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat, proses ini dinyatakan sebagai tindakan tidak profesional aparat. Setelah itu, muncullah istilah ´Miranda Rule´ atau ´Miranda Warning´.

"Anda berhak untuk diam. Apapun yang Anda katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Anda memiliki hak untuk bicara kepada penasihat hukum dan dihadiri penasihat hukum selama interogasi. Apabila Anda tidak mampu menyewa penasihat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah," demikian isi "Miranda Warning itu".

Jika di Amerika dikenal istilah ´Miranda Rule´ maka PP 92/2015 ini akan menjadi sebuah ´Sri Warning´-meminjam istilah salah seorang korban salah tangkap, Sri Mulyati yang dengan gigih memperjuangkan haknya. "Warning ini merupakan penekanan bagi para penegak hukum agar lebih profesional dan berhati-hati dalam melakukan penyidikan dan menahan seseorang," ujar Jhoni.

LBH Mawar Saron juga menuntut agar mental dan profesionalitas para penegak hukum juga harus ´direvolusi´ dan diperbaiki. Sebab setiap rupiah yang keluar dari negara atas ´kesalahan´ para penegak hukum yang salah menangkap dan menahan orang ini merupakan sebuah potensi kerugian negara yaitu negara yang harus menanggung kerugian atas ketidakprofesionalitasan aparat penegak hukumnya.

"Jangan sampai ini menjadi sebuah bentuk korupsi model baru yang bisa merugikan negara itu sendiri. Ini akan menjadi sebuah ´Sri Warning´ bagi para penegak hukum agar lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya," pungkas Jhon.

Nasib yang dialami Sri sejatinya memang bisa dialami siapa pun. Misalnya, kasus seorang anak yang sedang bermain di sebuah rumah dengan teman-temannya pada 13 April lalu di Subang, Jawa Barat.

Anak yang tak tahu apa-apa itu ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan berencana dan perampokan sebuah sepeda motor di Ciasem, Subang, Jawa Barat. Aparat kepolisian menahan si anak hingga trio Srikandi hukum dari PN Subang yaitu Rahmasari-Aryaniek Andayani-Aida Fitria membebaskan sang anak pada Agustus lalu. (dtc)

BACA JUGA: