JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nasib korban salah tangkap seperti Sri Mulyati, salah seorang warga Semarang, Jawa Tengah, sebentar lagi bakal berubah. Presiden Joko Widodo, pada Jumat (13/11) kemarin sudah memerintahkan agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia segara melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.

Beleid itu mengatur soal ganti rugi korban salah tangkap yang besarannya dinilai sudah tak relevan dengan kondisi saat ini yaitu hanya sebesar Rp5 ribu hingga Rp1 juta. Angka penggantian sebesar itu dinilai tak manusiawi mengingat korban salah tangkap selalu mengalami kerugian yang nilainya tak bisa diukur dengan sekadar pemberian uang. Apalagi uang pengganti yang nilainya alakadarnya.

Seperti Sri misalnya, dia ditangkap dan harus menjalani hukuman penjara selama 13 bulan lantaran dituduh mempekerjakan anak di bawah umur di sebuah tempat karaoke. Padahal Sri hanya seorang karyawan yang posisinya hanya sebagai kasir di tempat karaoke tersebut. Dia disinyalir telah dikorbankan oleh bosnya.

Kasus Sri terungkap dan akhirnya bisa dibebaskan setelah dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Sri dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA) dan diberi ganti rugi Rp5 juta sesuai PP 17/1983. Nilai itu dinilai tak sepadan dengan derita Sri yang selama 13 bukan tak bisa mencari nafkah dan nama baiknya rusak.

Karena itu, kabar revisi PP 27 ini disambut baik pihak Sri. "Menurut saya (revisi PP nomor 27) yang adil," kata kuasa hukum Sri dari LBH Mawar Saron, Jhoni Mazmur, Jumat (13/11) lalu.

Jhoni mengatakan trauma penjara yang menimbulkan kerugian immateril terhadap Sri seharusnya juga dikompensasi. "Kalau kita dipenjara, nama baik harus dibersihkan," ujar Jhoni.

Menurut Jhoni, revisi PP 27 itu haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan. Tidak hanya masalah nominal, tetapi juga mekanisme pembayaran dari negara ke korban.

"Nilai disesuaikan per daerah atau disamakan itu tidak masalah. Pendapatan mereka saat ditahan menjadi hilang, tapi berapa nilai pendapatan itu harus bisa dibuktikan," ujar Jhoni.

Sri sendiri hingga hari ini belum menerima ganti rugi Rp5 juta sebagaimana diputus pengadilan. Sebab prosesnya sangat lama dan harus masuk daftar APBN terlebih dahulu. "Ya sebisanya dipermudah masalah pencairannya. Kalau perkara Sri masih di anggaran belanja tahun depan, berarti APBN tahun depan," ujar Jhoni.

Nasib serupa bisa dialami siapa pun selain Sri. Misalnya, kasus seorang anak yang sedang bermain di sebuah rumah dengan teman-temannya pada 13 April lalu di Subang, Jawa Barat, Anak yang tak tahu apa-apa itu ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan berencana dan perampokan sebuah sepeda motor di Ciasem, Subang, Jawa Barat. Aparat kepolisian menahan si anak hingga trio Srikandi hukum dari PN Subang yaitu Rahmasari-Aryaniek Andayani-Aida Fitria membebaskan sang anak pada Agustus lalu.

Terkait revisi ini, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam suratnya mengatakan selain masalah nominal, mekanisme pembayaran juga menjadi perhatian serius. Alasannya dengan aturan lama itu, jika korban salah tangkap/peradilan sesat mendapat ganti rugi, maka dia harus menunggu satu tahun APBN lewat kas bendahara negara yang akan disalurkan lewat pengadilan. Padahal, kebutuhan perut dan biaya hidup tidak bisa menunggu satu tahun.

Pratikno menegaskan, Presiden Jokowi berharap Kemenkum HAM bisa bekerjasama dengan instansi lain dalam membahas revisi beleid ganti rugi korban salah tangkap ini. "Kami mengharapkan dalam penyusunan RPP tersebut, Menteri (Menkum HAM-red) melibatkan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan hasilnya kepada presiden," ujar Pratikno.

PERMUDAH AKSES KORBAN - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendukung langkah pemerintah merevisi beleid tersebut. Alasannya, karena ketentuan tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai atau besaran ganti rugi saat ini, termasuk lemahnya akses korban salah tangkap untuk mengikuti prosedur yang disediakan.ICJR mendorong adanya revisi PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, selain untuk menjamin terjaganya perlindungan terhadap warga negara juga sebagai tanggung jawab negara atas kelalaian aparat penegak hukumnya.

Direktur Ekeskutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan nilai ganti rugi yang diberikan harus lebih memadai. "Selain itu akses korban salah tangkap dan penahanan sewenang-wenang harus dipermudah," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (15/11).

Supriyadi memaparkan, berdasarkan penelitian ICJR pada 2014, ditemukan bahwa masalah kerugian yang dialami oleh orang yang salah tangkap atau mengalami penahanan yang sewenang-wenang selama penyidikan dan penuntutan sangatlah besar. "Kerugian ini tidak hanya mencakup hilangnya kemerdekaan, namun juga kerugian finansial yang juga turut diemban oleh keluarga dari orang yang ditahan," ujarnya.

Menurut ICJR, berdasarkan hasil penelitian, sebuah tindakan penahanan akan menimbulkan beban biaya langsung pada tahanan dan keluarga. "Rata-rata keluarga dari korban salah tangkap/penahanan sewenang-wenang, akan kehilangan pencari nafkah utama yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian," tegas Supriyadi.

Ditambah lagi keluarga perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyokong hidup tahanan dengan kisaran Rp600.000-hingga Rp5.500.000 per bulannya. Nilai tersebut, dengan hitungan Upah Minimum Regional berkisar antara Rp2.000.000 sampai dengan Rp2.500.000 cukup besar dan menjadi beban bagi banyak keluarga di Indonesia.

"Biaya finansial tersebut tentu saja bertambah besar sampai dengan keluarnya vonis hakim. Belum lagi buruknya mekanisme kontrol dan uji penahanan yang dimiliki aparat penegak hukum membuka peluang salah tangkap atau salah peradilan atau proses peradilan yang dipaksakan terbuka lebar," urai Supriyadi.

Oleh karena itu, kata dia, ganti rugi sebesar Rp5 ribu dan maksimal Rp1 juta yang diatur dalam PP 27 tahun 1983 tentu saja jauh dari kerugian yang sudah diderita. Bahkan kerugian tersebut belum mencakup kerugian immateril seperti nama baik dan lain sebagainya.

ICJR menekankan beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam merevisi beleid tersebut. Pertama, besaran ganti rugi harus naik berkali lipat serta tidak dibatasi nilainya dan harus dihitung dengan nilai lamanya dalam tahanan.

"Kerugian yang dapat dihitung bisa meliputi hilangnya pekerjaan atau mata pencaharian, besarnya ongkos dari keluarga untuk membantu menyokong hidup korban selama di tahanan dan hal-hal materil lain yang timbul dikarenakan salah tangkap/peradilan atau proses hukum yang dipaksakan," kata Supriyadi.

Kedua, proses, mekanisme dan prosedur dalam mengajukan ganti rugi harus dipermudah bagi pencari keadilan. Hal ini mencakup pengaturan rentang waktu pengajuan ganti sampai dengan pencairan ganti rugi harus diatur secara jelas, dengan titik tekan bahwa pencarian ganti rugi tidak boleh memakan waktu yang panjang karena berhubungan dengan kelangsungan hidup korban salah tangkap/peradilan.

Ketiga, perbaikan koordinasi instansi. Dalam beberapa kasus, ganti rugi tidak dapat diberikan karena Polisi berargumen tidak memiliki anggaran, sedangkan Kementerian Keuangan sendiri tidak jelas posisinya dalam hal ini.

ICJR menekankan bahwa persoalan koordinasi antar lembaga untuk alokasi pendanaan adalah kewajiban negara dan harus diatur dalam PP tersebut, sehingga tidak dapat dijadikan dasar penundaan atau penolakan pembayaran ganti rugi. "Sederhananya, proses ganti rugi harus dipermudah," kata Supriyadi.

Terkait revisi ini, Kemenkum HAM sendiri akan bekerja maraton dalam menyelesaikan revisi PP tersebut. "Tahapan setelah turunnya izin prakarsa ini adalah secepatnya Kementerian hukum dan HAM akan mengadakan rapat Panitia Antar Kementerian (PAK) meliputi Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung," kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan (PP), Prof Dr Widodo Ekatjahjana.

Jika pembahasan di PAK selesai maka hasil PAK akan diserahkan kepada Presiden RI untuk disahkan. Widodo mengatakan, selain masalah nominal, mekanisme pembayaran juga menjadi perhatian serius. Sebab dengan aturan lama itu, jika korban salah tangkap/peradilan sesat mendapat ganti rugi, maka dia harus menunggu satu tahun APBN lewat kas bendahara negara yang akan disalurkan lewat pengadilan. Padahal, kebutuhan perut dan biaya hidup tidak bisa menunggu satu tahun.

"Diharapkan dengan kesadaran bersama untuk memberikan perlindungan HAM bagi masyarakat sebagaimana amanat UUD 1945, maka tanggal 10 Desember saat Peringatan Hari HAM Internasional, perubahan PP 27/1983 ini dapat diundangkan," janji Widodo.

EFEK JERA BAGI APARAT - Politisi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan, ganti rugi Rp1 juta tidak menghargai HAM dan memberikan preseden buruk terhadap proses penegakan hukum. Selain itu, ganti rugi yang kecil juga tak memberikan efek jera bagi aparat.

"Kalau jumlah sanksinya hanya kecil maka pelanggaran atas sanksi tidak menimbulkan efek jera kepada aparat yang melakukan, bahkan menjadi preseden diulangi kesalahan yang sama oleh aparat penegak hukum di tempat lain dengan waktu yang berbeda," kata Misbakhun beberapa waktu lalu.

Untuk itu ganti rugi yang diberikan oleh negara atas kesalahan aparat penegak hukum yang salah atau pun melakukan kelalaian menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum maka prinsip pemberian ganti ruginya juga harus sejalan dengan hak asasi manusia (HAM).

Ganti rugi harus memperhatikan aspek material dan moril yang telah dialami oleh setiap warga negara yang telah menjadi korban kesalahan aparat penegak hukum baik itu karena unsur kelalaian maupun unsur kesalahan penegakan hukum aparat.

Menurut Misbakhun, Pasal 9 Ayat (1) PP Nomor 27 tahun 1983 sudah tidak sejalan lagi dengan prinsip penegakan hukum Indonesia saat ini, di mana demokrasi sudah menjadi prinsip bernegara dan hak asasi manusia dihormati sebagai bagian dari membangun prinsip demokrasi modern yang konstitusional.

"Untuk itu PP tersebut harus diubah tidak hanya karena sudah dimakan oleh jaman dalam hal-hal yang prinsip tadi tetapi juga harus diubah isinya untuk membangun sebuah upaya penegakan hukum yang memberikan penghargaan pada hak asasi manusia," tegas Misbakhun.

Menurut anggota Komisi III DPR itu, saat ini prinsip sebagai negara demokrasi dikembangkan dan dianut oleh bangsa Indonesia. Sebagai negara demokrasi, prinsip penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam penegakan hukum menjadi adalah hal yang utama disamping prinsip kebebasan dalam berpendapat.

"Oleh karena itu, saat ini sudah tidak boleh lagi ada aturan yang melanggar prinsip-prinsip penegakan hak asasi tersebut. Karena itu apabila ada kesalahan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan hukum negara maka prosesnya harus berlandaskan pada prinsip-prinsip penegakan hukum yang ada di negara demokrasi dimana penghargaan terhadap hak asasi manusia harus di kedepankan," papar Misbakhun.

Apabila ada kesalahan aparat penegak hukum dalam menjalan peran sesuai fungsi dan tugas maka negara harus ikut bertanggungjawab dengan atas kesalahan tersebut karena aparat sedang menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum untuk menegakkan hukum negara. Di samping juga membangun kultur penegakan hukum oleh aparat yang juga memberikan penghargaan pada prinsip dan prosedur yang ada di KUHAP.

"Isi perubahan atas pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 adalah hal yang prinsip dan mendasar disesuaikan dengan ganti rugi material dan moril yang jumlahnya disesuaikan dengan prinsip ganti rugi yang setara dengan profesi orang yang menjadi korban salah tangkap aparat tersebut dan disesuaikan dengan dampak dan akibat kerugian moral dan imaterial yang disebabkan oleh salah tangkap aparat tersebut," beber Misbakhun.

Atas revisi PP 27/1983 itu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengaku akan mematuhi apapun yang nantinya menjadi putusan pengadilan berdasarkan beleid yang baru. "Ya selama itu diputuskan oleh pengadilan kan mesti diikuti," kata Badrodin di Mabes Polri Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/11).

Soal PP terkait ganti rugi terhadap korban salah tangkap, Kapolri mengaku tak tahu ada peraturan seperti itu. "Saya belum tahu ada PP itu. Memang perlu juga diatur yang seperti itu, karena selama ini nggak ada mekanismenya bagaimana," ujar Badrodin.

Hal senada disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo. Jaksa Agung mengaku belum mendengar mengenai hal tersebut. "Saya belum dengar hal itu," singkat Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (13/11).

Pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan Prasetyo sebelumnya yang menyebut revisi aturan itu memang seharusnya dilakukan mengingat sudah berusia 32 tahun lebih. "Memang revisi perlu mengikuti perkembangan zaman, kan itu sudah bertahun-tahun. Kalau ada hal-hal yang perlu diperbaharui nanti dilihat seperti apa, dan bisa saja diajukan seperti judicial review, tapi memang kan bukan ranah kejaksaan," kata Prasetyo Minggu (29/3) lalu. (dtc)

BACA JUGA: