JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gong pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana akhirnya ditalu juga. Dalam Rapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Senin (26/10) kemarin, Komisi III secara resmi menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) kepada Menteri Hukum dan HAM.

Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, jumlah DIM yang telah diinventarisasi berjumlah 2394 masalah dan ada 88 hal baru yang masuk dalam daftar inventarisasi masalah di RKUHP. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun memberikan apresiasinya kepada DPR.

"Kami dari pemerintah setuju dengan RKUHP, kami apresisasi karena RKUHP bisa jadi sejarah buat negara," kata Yasonna.

Kemudian pada rapat lanjutan yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman, pemerintah dan DPR juga berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting. Diantaranya adalah soal pembahasan DIM yang akan dimulai Oktober 2015 hingga tahun depan.

Pemerintah dan DPR sepakat agar KUHP baru ini selesai pada Desember 2016, sehingga pembahasan akan dimulai tanggal 29 Oktober 2015 hingga bulan September 2016. Selain itu, dalam rangka pembahasan RKUHP ini juga akan dilakukan kunjungan ke daerah misalnya Aceh yang menggunakan Qanun, juga ke Bali yang masih kuat hukum adatnya. Qanun atau hukum-hukum adat ini nantinya akan ditinjau untuk dilakukan sinkronisasi dengan RKUHP.

Kerja cepat DPR-pemerintah dalam menyusun dan membahas RKUHP ini mendapat apresiasi dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Khususnya semangat Komisi III terkait target pembahasan R KUHP yakni di mulai tanggal 29 Oktober 2015 hingga bulan September 2016, termasuk memperketat kehadiran anggota panja dalam pembahasan R KUHP.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Supriyadi W. Eddyono mengatakan, dari sisi proses legislasi, ketersediaan waktu dan pembahasan yang fokus, efektif, serta partisipatif menjadi prasyarat bagi penilaian terhadap tinggi atau rendahnya kualitas dan legitimasi KUHP yang akan dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR.

"Aliansi secara khusus menyoroti masalah akses publik atas hasil-hasil pembahasan terutama partisipasi publik atas rapat-rapat pembahasan Panja R KUHP," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (27/10).

Untuk itu, kata dia, pelibatan publik secara luas dalam pembahasan merupakan suatu keharusan. "Pelibatan publik dari awal seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat," tegasnya.

Supriyadi mengatakan, Panja Komisi III harus secara konsisten menginformasikan secara terbuka dan tepat waktu hasil rapat-rapat Panja R KUHP. Termasuk secara cepat dan akurat hasil–hasil kesepakatan rapat Panja dan pemerintah.

Hal terakhir ini yang menurut Aliansi sangat penting. Aliansi secara berulangkali terus mendorong agar seluruh rapat-rapat pembahasan R KUHP terbuka untuk umum dan dapat di liput media, jurnalis dan masyarakat secara konsisten.

"Panja R KUHP juga di harapkan untuk mengurangi rapat pembahasan di waktu malam hari, karena potensi akses publik akan terbatas pada waktu tersebut," ujarnya.

Supriyadi menegaskan, Aliansi menolak pembahasan yang terburu-buru dan mengabaikan kualitas substansi yang akan dihasilkan. "Dengan mempertimbangkan bobot dan materi muatan perubahan KUHP tersebut, Aliansi mendorong pembahasan RKUHP yang berkualitas dengan waktu yang cukup untuk melakukan pembahasan yang efektif dan partisipatif," katanya.

ISU SINKRONISASI - Persoalan lain yang menarik dalam pembahasan RKUHP ini adalah soal sinkronisasi qanun-qanus syariah seperti yang berlaku di Aceh dan pemidanaan adat di daerah lainnya dengan RKUHP. Supriyadi mengatakan, dalam proses ini, prinsip "lex superior derogat legi inferiori" harus digunakan. "Artinya, seluruh Peraturan Daerah (Perda) harus tunduk pada KUHP," ujarnya.

Isu ini, kata dia, belum banyak dibahas, namun Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong DPR untuk mulai memberikan perhatian atas isu ini. Setiap daerah otonom memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis.

Dalam konteks otonomi, kewenangan Pemda ini ditunjukkan dari adanya pemberian kewenangan bagi mereka untuk membuat Perda masing-masing untuk kepentingan masyarakat. Secara normatif, UU Pemda mengatur Perda sebagai peraturan yang berlaku untuk satu daerah otonom tertentu yang dirancang baik oleh Gubernur ataupun oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian disetujui oleh kedua belah pihak tersebut.

UU Pemda juga menegaskan bahwa pembuatan Perda juga dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, seperti tertuang dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 dan Pasal 143 Ayat (2) UU Pemda. Kedua pasal itu menyatakan Perda dapat memuat ancaman pidana, seperti pidana kurungan dan denda.

Kemampuan Perda dalam memberikan sanksi ini tentunya tidak terlepas pada ketentuan dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang mengizinkan Perda untuk mengatur ketentuan pidana di dalamnya.

"Namun pada perkembangannya, keberadaan Perda yang memuat kebijakan kriminalisasi ini juga menimbulkan Perda yang bermasalah," kata Supriyadi.

Setidaknya, ada empat macam kebijakan kriminalisasi yang tidak sinkron dengan kebijakan hukum pidana nasional Indonesia. Pertama, kebijakan kriminalisasi dari pendelegasian undang-undang, seperti Perda tentang retribusi dan pajak. Kedua, kebijakan kriminalisasi yang sudah diatur dalam hukum pidana kodifikasi, seperti Perda tentang miras dan pelacuran.

Ketiga, kebijakan kriminalisasi berbasiskan hukum Islam, seperti Qanun Jinayat Aceh No. 6 Tahun 2014. Keempat, kebijakan kriminalisasi yang berasal dari hukum adat.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP melihat bahwa banyaknya Perda yang bermasalah terkait pidana karena tidak adanya pedoman yang pasti dalam pelaksanaan KUHP tentang keberlakukan pidana di daerah. Selain itu ada juga unsur kelemahan UU Pemda, disamping pengawasan preventif yang lemah yang dilakukan pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri.

Untuk menjaga sinkronisasi antara Perda dan kebijakan pidana nasional, maka pemberlakuan prinsip "lex superior derogat legi inferiori" sudah menjadi syarat mendasar. Prinsip ini mengakibatkan hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya.

"Atau dengan kata lain hukum yang lebih rendah tingkatannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada di atasnya," kata Supriyadi.

Meski demikian, menurutnya, penggunaan prinsip ini juga tetap harus mempertimbangkan aspek kesetaran dengan kekhususan Perda berdasarkan prinsip "lex specialis derogat legi generali".

Terkait dengan RKUHP, untuk mengatasi dilema adanya perbedaan penerapan ketentuan pidana dalam Perda dengan RKUHP, maka RKUHP telah mengatasinya dengan ketentuan Pasal 776 huruf (a) RKUHP. Pasal itu mengatur: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini atau Peraturan Daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana".

Melalui ketentuan ini, dapat dipahami bahwa aspek materiil hukum pidana atau tindak pidana yang tercantum dalam Perda kedudukannya diakui pula dalam RKUHP. Namun Aliansi Nasional Reformasi KUHP menegaskan bahwa Perda tidak boleh bertentangan dengan KUHP oleh karena itu Perda harus diberikan batas dan syarat-syarat tertentu.

"Jika tidak maka tatanan pengaturan tindak pidana dalam Perda berpotensi akan bertentangan dengan RKUHP," ujarnya.

Lubang ini, kata Supriyadi, belum ditelaah oleh para perumus RKUHP terkait dengan implikasi rekodifikasi RKUHP terhadap Perda. Jika kembali merujuk pada Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang memberikan otoritas bagi Perda untuk memuat ketentuan pidana tanpa batas, Perda dapat mengatur tindak pidana yang bersifat umum/independen maupun tindak pidana yang bersifat administratif.

Oleh karena itu Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong agar RKUHP memberikan batasan secara jelas dalam Pasal 776. Pertama, Perda atau Qanun harus dibatasi masih membuat ketentuan pidana yang bersifat generic crime, dan dilarang untuk membuat tindak pidana yang telah di atur dalam KUHP (menduplikasi KUHP).

Kedua, harus diperjelas batas-batas pengaturan pidana dalam konteks generic crime yang sifatnya lokal diatur dalam Perda. Ketiga, Perda hanya dimungkinkan untuk memuat ketentuan yang bersifat tindak pidana adminsitratif administrative crime terbatas yang tidak boleh melanggar ketentuan UU.

LIBATKAN PENEGAK HUKUM - Terkait pembahasan ini, selain melibatkan publik dan para pakar, Komisi III juga diminta melibatkan penegak hukum dalam pembahasan RKUHP.

"Sebaiknya Kemenkum HAM tidak hanya datang dalam posisi inisiator dominan. Bukan kementerian yang laksanakan UU, tapi kepolisian, kejaksaan, KPK," kata pakar hukum UI Ferdinand Andi Lolo beberapa waktu lalu.

Menurut Ferdinand, lembaga-lembaga penegak hukum itu harus lebih sering diminta masukan. Pada akhirnya, yang menjalankan UU KUHP nantinya bukan Kementerian Hukum dan HAM.

"Mereka perlu lebih didengar. Lebih bijaksana kalau Kemenkum HAM jadi fasilitator. Tidak ada gap dengan pelaksanaan di lapangan," ucap pria yang merupakan anggota Komisi Kejaksaan ini.

Saran Ferdinand ini ditanggapi oleh anggota F-PD Erma S Ranik. Erma mengakui bahwa selama ini Komisi III memang lebih banyak berinteraksi dengan kementerian.

"Bisakah diberi masukan bagaimana cegah dominasi? Ini masukan menarik, karena yang face to face dengan kita ya Kemenkum HAM," ujar Erma.

Menurut Ferdinand, langkahnya adalah dengan mereposisi peran Kemenkum HAM dalam pembahasan RUU KUHP. Komisi III juga diminta mendengar masukan dari lembaga penegakan hukum.

"Ini bisa dicegah kalau Kemenkum HAM mereposisi standingnya sekarang," jawab Ferdinand.

TERKAIT ATURAN PIDANA KORUPSI - Pelibatan penegak hukum ini memang penting mengingat ada rencana Komisi III dan pemerintah juga akan memasukkan pidana korupsi dan pidana pencucian uang ke dalam KUHP. Hal ini dinilai akan melemahkan pemberantasan korupsi, khususnya peran Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ferdinand Andi Lolo menyoroti masuknya tindak pidana korupsi di rancangan RUU KUHP. Menurutnya, korupsi sebagai kejahatan luar biasa seharusnya tidak dimasukkan ke RUU KUHP yang bersifat umum.

"Kalau extraordinary crime dimasukkan ke yang bersifat umum, akan ada kekhawatiran apakah KUHP nanti bisa mengikuti dinamika extraordinary crime yang begitu tinggi?" kata Ferdinand.

"Kalau KUHP mengatur tindak pidana korupsi dan modus operandi terus berkembang, maka yang perlu dipertimbangkan akan terjadi ketidakadilan sosial," sambung pria yang juga merupakan anggota Komisi Kejaksaan ini.

Bila delik korupsi tetap masuk ke KUHP, Ferdinand mengingatkan bahwa perlu ada harmonisasi antara KUHP dengan UU lain yang bersifat khusus. Perlu juga ada harmonisasi dengan hukum acara lainnya.

"Kalau tetap akan dimasukkan ke RUU KUHP, poin yang akan saya sampaikan adalah agar hanya atur hal-hal umum. Detilnya di UU khusus," papar Ferdinand.

Pendapat senada juga disampaikan pakar pidana pencucian uang, Yenti Garnasih. Dia menilai tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) seharusnya tidak masuk ke RUU KUHP.

Jika ikut masuk, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih. "Apa tepat korupsi dan TPPU masuk ke KUHP? Hati-hati memasukkan UU di luar KUHP untuk masuk, karena banyak aturan yang berbeda," kata Yenti saat memberi masukan ke Komisi III dalam RDPU di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/9) lalu.

Terkait masalah ini, Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji memaparkan alasan mengapa delik korupsi harus dikeluarkan dari RUU KUHP.

Dalam RDP Komisi III dengan BNN, KPK, dan PPATK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/9) lalu, beberapa anggota menyinggung tentang delik korupsi di RUU KUHP. Indriyanto yang merupakan tim perumus rancangan revisi UU itu pun menjelaskan, selama ini korupsi masuk dalam tindak pidana khusus.

"Kalau RUU KUHP menerima integrasi, maka pemahaman delik tindak pidana korupsi di UU KUHP jadi tindak pidana umum. Kalau disahkan, kewenangan KPK untuk lakukan pemeriksaan akan hilang," ucap Indriyanto.

KPK, kata dia, sudah berdiskusi dengan Kemenkum HAM. Indriyanto menyampaikan, KPK akan kehilangan kewenangan penindakannya bila delik korupsi masuk ke UU KUHP.

"Memang banyak cara melemahkan lembaga ini. Revisi UU KPK, revisi UU hukum acara. Saya sarankan, secara paralel harmonisasi KUHP dan KUHAP paralel agar tidak tumpang tindih," ujarnya.

Indriyanto mempertanyakan pemerintah yang menyusun rancangan revisi UU KUHP dan di saat bersamaan menyusun revisi UU KPK. Ini bukti tumpang tindih yang dia maksud.

"Delik tindak pidana korupsi ditarik ke KUHP, tapi juga rencanakan UU tipikor baru. Yang terjadi tumpang tindih," pungkas Indriyanto. (dtc)

BACA JUGA: