JAKARTA, GRESNEWS.COM - Adanya pendapat berbeda atau dissenting opinion antar hakim dalam memutus suatu perkara mungkin menjadi hal yang biasa. Sebab para hakim menggunakan hati nurani dan mempunyai pandangan masing-masing yang disimpulkan dari keterangan saksi, dan juga barang bukti yang dipaparkan dalam persidangan.

Namun dalam kasus putusan perkara korupsi yang dilakukan bos Sentul City Kwee Cahyadi Kumala atau Swie Teng, pertimbangan hakim yang memberikan dissenting opinion dirasa aneh. Sebab dalam pertimbanganya, hakim yang memberikan dissenting opinion putusan Swie Teng, cenderung membela kepentingan Swie Teng. Misalnya menganggap wajar pemberian Rp5 miliar kepada Rachmat Yasin.

Hakim anggota Alexander Marwata dan Aswijon tidak sependapat dengan hakim anggota lainnya bahwa Swie Teng terbukti bersalah menghalangi proses penyidikan dan memberi suap kepada Bupati Bogor, Rachmat Yasin. Keduanya meminta dakwaan Jaksa dibatalkan dan bos properti itu lepas dari jeratan hukum.

Sayangnya, pertimbangan yang menjadi dasar putusan terkesan kontroversial. Terkait Pasal 21 tentang menghalangi proses penyidikan, Hakim Alexander menganggap wajar Swie Teng mengarahkan para anak buah untuk menutupi keterlibatannya.

"Kekhawatiran terdakwa takut dilibatkan, karena merasa memberikan uang. Hal ini dianggap wajar karena terdakwa merasa bersalah dan takut dijadikan tersangka," kata Alexander di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (8/6).

Swie Teng juga menyuruh para anak buahnya memindahkan dokumen dari Menara Sudirman ke beberapa lokasi lain seperti Pulogadung, Golden Boutique Hotel, dan juga Sentul City. Hal itu dilakukan agar pada saat penggeledahan, penyidik KPK kesulitan mendapatkan bukti-bukti mengenai keterlibatannya.

Salah satu penyidik KPK Wahyu Susilo ketika menjadi saksi menyebut apa yang dilakukan Swie Teng membuat proses penyidikan Yohan Yap menjadi lebih lama. Yohan adalah perantara suap Swie Teng terhadap Rachmat Yasin.

Namun, Alexander justru menyalahkan Jaksa KPK dalam membuat surat dakwaan dan juga tuntutan. Menurutnya, pada saat itu satgas KPK telah meringkus Yohan pada saat operasi tangkap tangan dan kemudian menangkap Kadis Pertanian Provinsi Bogor M Zairin. Seharusnya dari dua penangkapan itu penyidik sudah mempunyai bukti yang cukup.

"Jaksa tidak menguraikan berapa lama rentang waktu penyidikan, sehingga itu bersifat subyektif dan sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan," pungkas Alexander.

Hakim yang duduk di kursi paling kiri ini juga menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak membatasi lamanya proses penyidikan. Oleh karena itu, anggapan jaksa bahwa Swie Teng menghalangi proses penyidikan sangat tidak tepat.

"Jika dakwaan penuntut umum diterima, hakim anggota tiga dan empat khawatir penyidik yang bekerja tidak profesional dan akan mencari berbagai alasan ada pihak-pihak tertentu yang menghalangi proses penyidikan. Padahal masalahnya ada pada penyidiknya yang bekerja tidak profesional," ucap Alexander.

Alexander juga meminta agar Swie Teng dibebaskan dalam dakwaan kedua perihal Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal ini, Jaksa beranggapan Swie Teng memberi suap kepada mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin.

Hakim anggota empat ini menyebut pemberian suap Rp5 miliar yang diberikan melalui Yohan Yap kepada Rachmat Yasin bukan untuk mempengaruhi keluarnya surat rekomendasi alih fungsi lahan hutan di Bogor. Terlebih lagi, rekomendasi tersebut sebenarnya telah disetujui pada 1997 dan baru diajukan kembali pada 2012 lalu.

"Terdakwa tidak pernah mempengaruhi Bupati Bogor untuk menerbitkan surat rekomendasi. Pada Agustus 2013, Rachmat Yasin telah menandatangani surat rekomendasi, tapi ditolak oleh kemenhut. Hal ini membuktikan bahwa tanpa pemberian uang surat rekomendasi telah ditandatangani," cetus Alexander.

Keanehan lainnya juga terlihat dari pertimbangan meringankan yang dibacakan hakim anggota lainnya Ugo. Ia menyebut salah satu pertimbangan Swie Teng dihukum lebih rendah 5 tahun dari tuntutan jaksa 6,5 tahun karena diperiksa dalam keadaan sakit.

Tak hanya itu, Hakim Ugo juga menyebut sikap Swie Teng seolah-olah ia mengakui segala perbuatannya serta tidak akan mengulangi. Padahal dalam beberapa persidangan, Swie Teng tidak pernah secara nyata menyebutkan hal itu.

"Pertimbangan meringankan, terdakwa diperiksa dalam keadaan sakit-sakitan, terdakwa menunjukkan sikap mengakui dan menyesali perbuatannya," cetus Hakim Ugo.

Meskipun begitu, Majelis Hakim tetap menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan. Ketua Majelis Hakim Muchamad Muchlis mengatakan putusan ini diambil secara voting atau suara terbanyak dan Swie Teng dianggap bersalah melakukan korupsi.

BACA JUGA: