JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah akan segera dibangun pada April 2015. Sebab masalah sengketa lahan yang sempat menjadi hambatan proyek tersebut,  telah diselesaikan 100 persen oleh pemerintah.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursidan Baldan menjelaskan terkait mekanisme penyelesaian lahan itu, pemerintah selama ini menempuh mekanisme negosiasi dan diplomasi dengan warga. Dalam tahap diplomasi dan negosiasi tersebut, pemerintah dan warga mencari jalan keluar yang tidak merugikan. Artinya apa yang diinginkan oleh masyarakat, dapat dipenuhi oleh pemerintah.

Menurutnya setelah melalui diplomasi dan negosiasi, dirinya bisa menandatangani beberapa sertifikat terkait pembebasan lahan. Dia mengaku telah menandatangani 25 sertifikat pembebasan lahan untuk proyek pembangunan PLTU Batang tersebut. Menurutnya dengan keberhasilan pembebasan lahan, proses pemancangan tiang pertama (ground breaking) PLTU Batang akan dilakukan di bulan April 2015.

"Lahan di Batang sudah selesai. Jadi apa yang masyarakat inginkan bisa kita penuhi. Jadi kita dengar apa yang diinginkan oleh mereka (masyarakat)," kata Ferry, Jakarta, Rabu (4/3).

Sementara itu pengamat pembangunan nasional Syahrial Loetan beberapa waktu lalu mengatakan tertundanya proyek PLTU Batang di Jawa Tengah, diperkirakan merugikan negara hingga mencapai Rp 9 triliun per tahun. Jika memperhitungkan dampak kerugiannya terhadap tenaga kerja yang tidak terserap. Padahal PLTU Batang direncanakan akan beroperasi pada akhir tahun 2016 yang akan memasok cadangan listrik Jawa dan Bali sebesar 30%.

Ia menjelaskan pembangunan PLTU Batang 2x1.000 megawatt (MW) disepakati dengan menggunakan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau skema Public Private Partnership (PPP). Itu sebab, pembangunannya merupakan proyek percontohan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS/PPP yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 67/2010.

Menurutnya penandatanganan konsesi telah dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2011 dan direncanakan dapat melakukan financial closing pada Oktober 2012. Namun, hingga kini perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) antara PT  PLN (Persero) dengan pihak pengembang listrik swasta PT Bhimasena Power Indonesia, telah diperpanjang 2 kali.

“Upaya perpanjangan PPA yang kedua itu dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perpres 66/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,” kata Syahrial.

Syahrial mengatakan terkait perpanjangan kedua yang sudah memperhitungkan perubahan commercial operasional date (COD) proyek-proyek pembangkit termasuk Central Java Power Plant (CJPP), mengakibatkan terjadinya perubahan fuel mix  di sistem kelistrikan Jawa Bali. Karena itu, sedikitnya dampak kerugian negara mencapai Rp 9 triliun, yang terdiri dari 3 faktor berikut.

Pertama, dari kontribusi batubara yang ditargetkan sebanyak 70% pada tahun 2017, berkurang menjadi 67%. Penurunan kontribusi batubara tersebut diambil alih oleh bahan bakar gas, sehingga terjadi peningkatan pemakaian bahan bakar gas dari 11% menjadi 17%. Hal ini meningkatkan biaya pembangkitan yang lebih tinggi. Artinya, jika dibandingkan biaya pembelian tenaga listrik selama 1 tahun dari CJPP dengan biaya pokok penyediaan tenaga listrik sistem Jawa Bali di tahun 2013, maka anggarannya lebih rendah Rp 4,5 triliun jika menggunakan listrik dari CJPP.

Kedua, potensi kerugian juga terjadi akibat penundaan pelaksanaan proyek PLTU Batang karena adanya eskalasi harga pada bahan konstruksi dan harga tanah. Eskalasi harga diperkirakan mencapai 10%, sehingga secara total bisa mencapai angka Rp 4,5 triliun.

Ketiga, kerugian juga terjadi sebagai dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000 orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai. Tenggat waktu pembangunannya diperkirakan selama 4 tahun. Artinya, terlalu banyak kerugian negara yang bakal terjadi dengan penundaan pembangunan proyek PLTU Batang itu.

BACA JUGA: