JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tiga organisasi lingkungan nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Greenpeace Indonesia mengingatkan pemerintahan Jokowi-JK untuk segera meninggalkan ketergantungan pada energi kotor batubara. Jokowi-JK juga diminta tak menjadikan batubara sebagai sumber pendapatan ekonomi negara.

Koordinator Jatam Hendrik Siregar mengatakan, kebijakan energi pemerintah saat ini bertolak belakang dengan kecenderungan global saat ini, dimana banyak negara di dunia sudah mulai mengurangi dan meninggalkan ketergantungan terhadap batubara baik sebagai sumber energi maupun sumber pendapatan ekonomi. Alih-alih beranjak ke energi bersih, kata Hendrik, pemerintahan Jokowi–JK malah menempatkan sektor pertambangan batubara sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi nasional.

Bahkan, Jokowi-JK dan berencana membangun pembangkit listrik 35.000 Megawatt yang lebih dari 60% diantaranya akan menggunakan energi kotor batubara. Batubara merupakan bahan bakar fosil terkotor di dunia, secara global batubara bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Daya rusak dan jejak kehancuran yang disebabkan oleh batubara terjadi sejak dari penambangan, pengangkutannya, sampai ke pembakaran batubara di pembangkit listrik. Pilihan pada batubara pada situasi saat ini, kata Hendrik, bukan semata-mata untuk kepentingan energi nasional.

"Kuasa politik bersinergi dengan modal merendahkan derajat keselamatan rakyat kini dan akan datang. Ruang-ruang produktivitas rakyat hanya dihargai pada statistik makro yang tak sebanding dengan penghancuran yang diwariskan," kata Hendrik dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Jumat (10/4).

Kalangan industri batubara dan pemerintah yang kerap menggadang gadang batubara sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan sumber pendapatan ekonomi Indonesia, ternyata juga tidak lebih dari propaganda dan omong kosong. "Jejak Kehancuran eksploitasi batubara jauh lebih besar ketimbang manfaat yang diberikannya, baik terhadap masyarakat, lingkungan, maupun negara ini," tegas Hendrik.

Kepada masyarakat di sekitar kawasan pertambangan batubara, umumnya transmigran dan penduduk lokal selama ini sering dijanjikan pekerjaan agar mau melepaskan ruang hidup mereka yang lestari dijadikan kawasan pertambangan batubara. Namun kini lebih dari satu juta orang di PHK setelah harga batubara jatuh dalam 3 tahun terakhir. Dan yang tersisa lubang-lubang tambang yang tak mendukung perekonomian setempat.

Sementara itu, anggota Unit Kajian WALHI Pius Ginting mengatakan, momentum jatuhnya harga batubara seharusnya mendorong pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan membatasi produksi batubara dengan sistem kuota yang jauh lebih kecil dari yang ada selama ini. Pembatasan itu mestinya berdasarkan kriteria pemulihan lingkungan dan sosial, bukan kuota berdasarkan keadaan pasar yang fluktuatif dan tak kenal batas.

"PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara-red) yang telah mencemari lingkungan dan hutan berdasarkan ketentuan perundang-undangan seperti KPC di Sangatta dan dikeluhkan masyarakat seperti Adaro di Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan harus mengurangi kuota produksinya secara drastis," kata Pius.

Pemerintah Jokowi-JK berencana membangun 35.000 Megawatt Pembangkit Listrik baru sampai tahun 2019, lebih dari 60% nya akan menggunakan energi kotor batubara. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK, bahkan telah mempermudah segala hal terkait perizinan dan pembebasan lahan untuk memuluskan proyek ambisius ini. Bulan lalu, Presiden Jokowi mengunjungi China dan Jepang, untuk mengundang investor dari kedua negara itu untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan pembangkit listrik baru.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto mengatakan, visi Jokowi-JK untuk mencapai kedaulatan energi mustahil tercapai, jika mereka masih menempatkan energi kotor batubara sebagai sumber energi nasional, batubara merupakan sumber energi kotor yang tak terbarukan. Alih-alih mencapai kedaulatan energi, yang akan terjadi justru kehancuran lingkungan masif yang disebabkan oleh eksploitasi batubara yang juga masif di negeri ini.

Jokowi dan JK, kata Arif, seharusnya memimpin revolusi energi di Indonesia dengan beralih dari energi kotor batubara ke sumber-sumber energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan. "Dan itu harus diawali dengan perubahan paradigma kebijakan energi nasional," tegasnya. 

BACA JUGA: