JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, yang rencananya segera direalisasikan dianggap akan membawa ancaman serius terhadap sektor pangan. Pasalnya, PLTU tersebut akan dibangun di atas lahan pertanian seluas 226 hektare. Pembangunan PLTU Batang pun dikecam sejumlah organisasi lingkungan hidup.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Arif Fiyanto mengatakan, pembangunan PLTU Batang merupakan kebijakan kontradiktif dan tidak sejalan dengan janji kampanye Jokowi-JK yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan.

"Jika PLTU batubara di Batang tetap dibangun, maka sudah pasti visi kedaulatan pangan Jokowi-JK mustahil tercapai," kata Arif di Jakarta, Jumat (10/4).

Menurut Arif, pembangunan PLTU Batang akan mengancam pasokan stok pangan nasional mengingat lahan yang hendak diekploitasi tersebut dapat menghasilkan 8 ton hasil panen per tahun.

Ironisnya, pembangunan PLTU tersebut dikabarkan akan menggunakan bahan batubara. Arif menegaskan, mengingat batubara sebagai produk yang memiliki kandungan energi kotor dan tak ramah lingkungan, dipastikan proyek tersebut akan turut mengancam lahan-lahan pertanian daerah lainnya di Jawa Tengah.

Selain itu, Arif mengklaim, sebelumnya Pemda Batang dan Pemprov Jawa Tengah telah melakukan pembohongan publik ketika mereka mengatakan lahan pertanian tempat PLTU Batang dibangun adalah lahan tandus, tidak produktif dan gersang.

"Pemda Batang dan Pemprov Jateng telah melakukan pembohongan publik karena apa yang mereka sebutkan tidak sesuai kenyataan. Lahan pertanian di Batang sebenarnya cukup produktif melalui sistem irigasi teknis dan bisa menghasilkan panen tiga kali setahun. Bahkan, satu hektare lahan ini dapat menghasilkan 8 ton beras per tahun," tutur Arif.

Arif menambahkan, Pulau Jawa merupakan lumbung pangan nasional yang subur sehingga wajib dibebaskan dari kegiatan perluasan tambang dan eksploitasi lingkungan. Menurut Arif, pembebasan eksploitasi merupakan syarat utama untuk mewujudkan visi kedaulatan pangan.

Sebelumnya, pada tahun 2013, masyarakat di sekitar wilayah PLTU Batang terus gencar melakukan aksi penolakan. Masyarakat setempat mengklaim, terdapat 50 persen lahan masih menjadi hak mereka. Secara spesifik, area pembangunan PLTU bersentuhan langsung dengan tiga permukiman penduduk yaitu desa Karanggeneng, Ponowareng, dan Ujungnegoro.

Desa Karanggeneng dan Ponowareng sebagai lokasi inti pembangunan PLTU hingga kini masih dipertahankan warga atau penduduk setempat.

Aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Ridwan Bakar mendesak pemerintah membatalkan pembangunan PLTU Batang karena akan ada banyak kerugian yang nantinya dialami masyarakat seperti pelanggaran HAM, perampasan lahan dan kriminalisasi.

"Pembangunan PLTU Batang berpotensi memiskinkan warga di sekitar lokasi pembangunan," tegas Ridwan.

BACA JUGA: