JAKARTA, GRESNEWS. COM - Rencana proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang telah empat tahun mangkrak. Pembangunan proyek yang masuk dalam program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia ( MP3EI) itu tak kunjung bisa diwujudkan, lantaran terganjal upaya pembebasan lahan. Setidaknya masih ada 10 persen lahan yang dibutuhkan belum bisa dibebaskan karena pemiliknya menolak rencana pembangunan tersebut.  

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brojonegoro mengakui pemerintah belum bisa merealisasikan proyek PLTU dengan kapasitas 2x1000 MW di Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, itu karena kebutuhan akan lahan belum seluruhnya terpenuhi. Ada sejumlah lahan yang posisinya di tengah belum bisa dibebaskan.  

"Meski sedikit, itu di tengah, maka tidak bisa dipagari, padahal lahan itu diperlukan untuk pembangkitnya," kata Bambang

Namun, sejauh ini, Bambang menambahkan, telah ada janji dari Bupati Batang untuk menyelesaikan persoalan tersebut hingga awal tahun ini. "Ya, mudah-mudahan sesuai janji bupati bisa terlaksana awal tahun ini," ungkapnya.

Molornya rencana pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah ini, justru menjadi alasan bagi Organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia untuk mendesak pemerintah menghentikan proyek PLTU tersebut.

"Sampai saat ini para pemilik lahan masih menolak untuk menjual lahan mereka, terdapat 10 persen dari 226 hektare yang dibutuhkan proyek masih terkendala proses pembebasan lahan," kata Ketua Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/2).

Menurut Hindun, PLTU Batang telah empat kali gagal memenuhi tenggat waktu pembangunannya. Sebelumnya proyek tersebut ditargetkan akan kelar pada 6 Oktober 2012, namun molor hingga diundur targetnya menjadi 6 Oktober 2013. Namun target itu pun gagal hingga target direvisi kembali hingga 6 Oktober 2014. Tapi lagi-lagi target meleset hingga target ditetapkan kembali pada 6 Oktober 2015. Namun hingga tahun berlalu kembali target pembangunan tak bisa dipenuhi. Molornya target pembangunan itu, menurut Hindun, karena masih banyak warga lokal yang menolak proyek tersebut.

Dengan banyaknya warga lokal yang menolak, menurut Hindun, sebaiknya pemerintah mengurungkan rencana untuk membangun PLTU di Batang.

Menurut dia, sebagai pemegang saham terbesar, PT Adaro Energy dan PT Bhimasena Power Indonesia sudah empat kali gagal dalam memenuhi tenggat waktu pencairan dana, sebab proses pembebasan lahan yang belum kelar.

Bukan hanya masalah lahan, Hindun menyebutkan, area yang diusulkan dalam pembangunan PLTU Batang merupakan wilayah pertanian yang produktif dan wilayah yang kaya akan ikan.

"Saat ini warga Batang cemas apabila PLTU batu bara dibangun akan mengancam mata pencaharian dan kehidupan mereka," jelasnya.

LAHAN DIBEBASKAN - Berdasarkan penelusuran gresnews.com, kekurangan lahan itu mencapai 125.146 meter persegi. Lahan itu berada di Desa Karanggeneng dan Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman, Batang. Untuk pemenuhan lahan tersebut Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 30 Juni 2015 telah mengeluarkan persetujuan Penetapan Lokasi Melalui SK Gubernur Jateng No 390/35 Tahun 2015.  

Surat keputusan ini mendasari BPN Batang membebaskan lahan melalui penerapan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.  Dimana pemerintah bisa secara sepihak membebaskan lahan karena alasan kepentingan umum tersebut meski pihak pemilik menyatakan tidak setuju menjual. Kompensasi atau pembayaran atas lahan tersebut akan dititipkan pengembang pada pengadilan setempat.

Terbitnya surat keputusan ini pun direspons oleh puluhan perwakilan warga yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, pada Agustus tahun lalu. 

Mereka yang didampingi sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, Elsam, Walhi, Pil-Net, IHCS dan  LPH-YAPHI menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 soal persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah sisa lahan seluas 125.146 meter persegi, sebab penerbitan SK tersebut memaksa warga menjual lahannya.  

TARGET MOLOR -  Pembangunan PLTU Batang hingga kini terus mengalami kendala terkait pembebasan lahan, padahal target pengoperasian pembangkit listrik ini pada 2018.

Selain itu, proyek yang diperkirakan akan menelan investasi senilai Rp35 triliun ini memakai teknologi pulverized coal supercritical yang dikenal ramah lingkungan. PLTU Batang merupakan satu dari proyek KPS dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia ( MP3EI).

Dalam proyek yang menggunakan skema  Public Private Partnership (PPP) ini pemerintah pusat menggandeng dua pihak swasta asing dari Jepang yakni J-Power dengan investasi 34 persen, Itochu 30 persen dan Adaro Energy sebagai investor lokal dengan investasi 34 persen serta pelaksana tender Bhimasena Power Indonesia  (BPI).

Proyek ini juga diklaim sebagai proyek PPP pertama Indonesia yang berhasil dilelang. Selain itu PLTU Batang juga dianggap sebagai proyek PLN yang sangat bersejarah karena merupakan proyek PLTU terbesar yang pernah ada di Indonesia, dimana ukuran satu unit mencapai 1.000 MW. Selama ini yang terbesar adalah 660 MW, seperti yang ada di Tanjung Jati dan Paiton.

Di sisi teknologi, proyek ini juga terbilang bersejarah karena ini proyek pertama di Indonesia yang menggunakan ultra super critical. Meski di Jepang dan Cina teknologi ini sudah agak lama diterapkan. Teknologi ini dinilai sangat efisien serta ramah lingkungan, namun di Indonesia teknologi ini baru pertama kalinya dibangun. Harga jual listrik yang dihasilkan juga diklaim sangat murah hanya 5,79 cent dollar AS.

BACA JUGA: