JAKARTA, GRESNEWS.COM - Defisit anggaran negara diprediksi akan semakin melebar tahun ini, menyusul tidak optimalnya perolehan pendapatan dari sektor pajak. Sebab realisasi pendapatan pajak pada dua bulan pertama 2016 merosot, dibanding pendapatan pajak bulan yang sama pada dua tahun terakhir.

Peneliti Center Of Reform on Economic (CORE) Adhamaski Pangeran menilai kondisi ekonomi yang belum kondusif sepenuhnya menjadi salah satu faktor realisasi pajak dua bulan pertama tahun 2016 menurun. Di sisi lain, penurunan harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari non-pajak.

Menurutnya, sensitivitas penurunan harga minyak dunia dapat berpengaruh terhadap pendapatan negara hingga sebesar Rp3,5 triliun sampai Rp3,9 triliun. Sementara defisit terhadap belanja negara sebesar Rp2,5 triliun sampai Rp3,6 triliun. Bila diasumsikan harga minyak dunia berada pada level US$38 maka defisit fiskal diperkirakan akan membengkak menjadi Rp276,8 triliun sampai Rp285,2 triliun dari semula sebesar Rp273,2 triliun.

Rencana pemerintah memotong anggaran belanja negara bukanlah jalan terbaik. Hal itu melihat pengalaman negara-negara seperti Eropa. Setelah krisis finansial tahun 2008, negara-negara Eropa berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter cyclical, namun hanya sampai pada pertengahan tahun 2010, negara-negara Eropa sudah mengubah haluan menjadi kebijakan fiskal ketat.

"Pengetatan fiskal tersebut justru membuat permintaan swasta menjadi jauh lebih rendah daripada masa sebelum krisis terjadi," kata Adhamaski, Jakarta, Rabu (29/3).

Dia menjelaskan jika mengacu kepada laporan World Bank dan IMF bahwa akan terjadinya pelebaran defisit pada anggaran pemerintah Indonesia. World Bank memprediksi defisit anggaran pada tahun 2016 akan mencapai 2,8 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Untuk itu, World Bank menyarankan Pemerintah Indonesia menjaga defisit di bawah 3% dari PDB dan mengurangi belanja pemerintah yang tidak prioritas, misalnya, belanja pemerintah yang tidak berhubungan dengan belanja infrastruktur.

Sementara, IMF juga memprediksi defisit anggaran akan mencapai 2,8 persen dari PDB (baseline). Namun demikian, IMF menyampaikan dalam laporannya bahwa bila Indonesia mampu melakukan reformasi maka defisit anggaran dapat hanya mencapai 2,5% dari PDB. Reformasi yang dimaksud oleh IMF adalah meningkatkan pendapatan negara dari cukai, meminimalkan pengeluaran yang bukan prioritas, juga mengurangi risiko sumber penerimaan dari pasar finansial.

Menurutnya, ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai defisit anggaran dalam kondisi saat ini. Pertama, penerbitan obligasi. Sejak awal tahun hingga pertengahan Maret, kepemilikan obligasi oleh penduduk tumbuh 11 persen, sedangkan asing hanya tumbuh 7 persen. Secara keseluruhan, porsi kepemilikan asing masih cukup besar, yakni 39 persen dari total obligasi Pemerintah. Namun demikian, 85 persen dari obligasi yang dimiliki asing bertenor di atas 5 tahun. Sehingga volatilitas jangka pendek masih cukup terkendali. Arus modal (netto) yang masuk dari awal tahun 2016 sampai 7 Maret 2016 juga sudah sebesar Rp34,58 triliun, lebih besar dibanding tahun 2012 yaitu sebesar Rp1,85 triliun, di tahun 2013 sebesar Rp10,24 triliun, tahun 2014 sebesar Rp37,08 triliun dan mendekati capaian di tahun 2015 sebesar Rp42,73 triliun. Momentum masuknya kembali aliran modal ke dalam negeri perlu dimanfaatkan untuk memperbaiki pasar obligasi Indonesia.

Dia menilai selama ini bila dibandingkan dengan pasar obligasi di Kawasan Asia. Pasar obligasi di Indonesia masih sangat tertinggal. Rasio obligasi terhadap PDB Indonesia pada tahun 2015 hanya sebesar 15 persen. Bandingkan dengan Vietnam yang mencapai 20 persen, Filipina 35 persen, China 59 persen, Thailand 73 persen, Singapura 77 persen dan bahkan Myanmar 96 persen.

Namun meskipun pasar obligasi di Indonesia masih kalah dibandingkan pasar obligasi di Kawasan Asia. Imbal hasil obligasi Indonesia masih paling tinggi di kawasan. Bahkan performanya selama satu tahun terakhir, menjadi performa terbaik di kawasan Asia. Namun, menurutnya, letak permasalahannya, tingginya imbal hasil juga disebabkan oleh proporsi obligasi bertenor jangka panjang yang menguasai 45 persen pasar obligasi Indonesia dan kurang banyaknya pasokan obligasi yang di tawarkan.

Menurut dia, dengan demikian peluang pengembangan pasar obligasi ada pada penerbitan obligasi bertenor pendek. Rasio obligasi pemerintah bertenor kurang dari satu tahun terhadap obligasi pemerintah keseluruhan baru sebesar 4 persen. Sementara obligasi bertenor satu sampai tiga tahun baru sebesar 14,3 persen dari total obligasi Indonesia. Padahal proporsi obligasi bertenor 1–3 tahun negara-negara lain di kawasan Asia sudah sekitar 20% dari total obligasi yang diterbitkan. Hal ini mengindikasikan bahwa ruang untuk penerbitan obligasi bertenor jangka pendek di Indonesia masih besar.

"Harapannya dengan penerbitan obligasi jangka pendek yang lebih banyak, imbal hasil dapat terkerek turun dan pembiayaan jangka pendek dan pasar obligasi di Indonesia menjadi lebih berkembang," kata Adhamaski.

Kedua, menurutnya, pemerintah harus melakukan reformasi belanja, baik dari sisi efektivitas maupun efisiensi. Dari sisi efektivitas, penghematan atau pemotongan belanja jangan sampai mencederai tujuan pembangunan. Sebagai contoh, PMK Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara Lembaga, justru
secara langsung menghapus aspek pemberdayaan masyarakat dalam membantu masyarakat rentan.

Dia menilai kebijakan ini seakan menyederhanakan masalah pengentasan kemiskinan dan menolong masyarakat miskin. Padahal aspek kemiskinan sangat luas dan kompleks. Dari sisi efisiensi, kebijakan penghematan anggaran jangan sampai disusun "setengah-setengah". Sebagai contoh, Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara pada awalnya dimaksudkan untuk mendorong penghematan belanja Pemerintah dengan menyajikan menu makanan tradisional yang sehat atau buah-buahan produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan pertemuan/rapat. Sayangnya, karena tidak tertera dalam bentuk kebijakan penganggaran, satuan biaya konsumsi rapat justru naik rata-rata 9,6 persen dari tahun 2014 ke 2016.

Ketiga, setelah upaya memaksimalkan penerimaan perpajakan dan efisiensi belanja dilakukan, langkah terakhir adalah membuka kemungkinan pelebaran defisit anggaran. Opsi pelebaran defisit anggaran masih bisa dioptimalkan dalam APBNP 2016. Alasannya, selain ketahanan fiskal masih berada pada zona aman, momentum membaiknya pengeluaran pemerintah sebagai sumber pertumbuhan tahun 2016 masih harus terus dijaga dan dimanfaatkan.

Tentunya pelebaran defisit ini tetap harus dilakukan secara hati-hati agar negara tetap memiliki penyangga fiskal yang kuat. Baik rasio utang terhadap PDB maupun rasio defisit APBN terhadap PDB tetap perlu dijaga agar tetap pada batas yang aman.

BEBAN UTANG - Menurutnya jika berpatokan pada Maastricht Treaty, yang menjadi prasyarat keanggotaan Uni Eropa, maka rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi 60 persen, dan rasio defisit terhadap PDB tidak boleh melebihi 3 persen. Akan tetapi, kedua indikator tersebut saja belum cukup. Indikator rasio utang terhadap PDB tidak melihat tingkat bunga pada utang tersebut. Bila tingkat bunga nominal pada utang pemerintah tidak lebih besar dibanding pertumbuhan nominal PDB, maka surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang pemerintah terhadap PDB akan turun.

Padahal belum tentu beban utang Pemerintah juga turun. Artinya, kedua indikator di atas belum melihat usaha fiskal untuk mengurangi beban utang negara yang dilakukan setiap tahun.

Selain itu, yang juga perlu diperhatikan ialah indikator ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek (primary gap), yang memperhitungkan berapa suku bunga riil, pertumbuhan ekonomi riil, jumlah utang baru, juga keseimbangan primer pada anggaran fiskal. Dia memperhitungkan ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek masih berada pada zona aman. Artinya, masih terdapat ruang fiskal untuk meningkatkan belanja tanpa memperburuk ketahanan fiskal. Pelebaran defisit anggaran tentunya harus dikelola dan diarahkan untuk mendorong aktivitas ekonomi.

"Karena saat ini defisit anggaran masih diberlakukan untuk membangun infrastruktur, maka yang harus digenjot oleh Pemerintah adalah potensi peningkatan pendapatan pajak di masa depan, ketika infrastruktur yang dibangun telah beroperasi," kata Adhamaski.

EMPAT JURUS EKONOMI - Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan terdapat empat jurus agar perekonomian kembali membaik dan keluar dari krisis ekonomi. Pertama, pemulihan daya beli masyarakat yang saat ini mengalami penurunan. Oleh sebab itu, harus ada upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok dengan memperkuat lembaga buffer stock, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap praktik-praktik persaingan yang tidak sehat.

"Mempercepat dan mengefisienkan jalur distribusi kebutuhan pokok dari produsen ke konsumen dengan memotong rantai distribusi, dapat dioptimalkan dengan pemberdayaan gudang-gudang Bulog dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah," ujar Enny.

Kedua, mengefektivitaskan stimulus fiskal dengan meningkatkan peran fiskal, serta fokus belanja pemerintah harus memberikan dampak langsung pada peningkatan daya beli dan penciptaan lapangan kerja. Selanjutnya, fokus pembangunan infrastruktur diharapkan berdampak pada peningkatan produktivitas jangka pendek, utamanya pembangunan perdesaan seperti pembangunan irigasi, waduk/setu, konektivitas desa kota. Lalu, mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur menggunakan sumber pembiayaan dalam negeri sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal dan bahan baku lokal.

Ketiga, menstabilisasi sektor moneter, dengan mengkoordinasikan otoritas moneter sehingga pemerintah dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, antara lain dengan mengoptimalkan masuknya Devisa Hasil Ekspor (DHE). Optimatisasi stimulus fiskal pemerintah juga harus diikuti pelonggaran pengetatan likuiditas.

Sedangkan jurus yang keempat, mendorong bergeraknya sektor riil, dengan mempercepat penyediaan infrastruktur dasar, terutama penyediaan listrik dan sarana transportasi. Meningkatkan iklim investasi melalui birokratisasi perizinan dengan memberikan kemudahan dan percepatan pelayanan perizinan investasi serta mengharmonisasi regulasi yang tumpang tindih baik antar pusat dan daerah.

Menurutnya pemerintah harus menahan perlambatan kinerja sektor-sektor penyerap tenaga kerja (tradable) seperti sektor industri pengolahan. Kemudian, pemerintah harus bergerak cepat dengan memberikan stimulus fiskal agar tidak terjadi gelombang PHK besar-besaran.

"Pemerintah harus memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melakukan PHK yang mengabaikan kewajiban memenuhi hak-hak pekerja," kata Enny.

BACA JUGA: