JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia ( AP3I) menolak rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan relaksasi atau pelonggaran aturan terkait larangan ekspor mineral mentah. Meski larangan ekspor mineral mentah itu memberatkan pengusaha dan harga komoditas tambang di pasar global sedang anjlok.  

Sebab pelonggaran aturan itu justru akan memperlemah semangat para pengusaha untuk membangun smelter. Wakil Ketua Umum  AP3I, Jonatan Handojo mengatakan, pembangunan smelter dalam kondisi sekarang ini diakui memang memberatkan pihak pengusaha tambang.

Jonatan menambahkan, dengan pemasukan yang minim, kemudian ditambah kewajiban membangun smelter menjadikan para pengusaha tambang terbebani.

Namun menurut Jonatan, sebagai pelaku usaha smelter di Indonesia,  ia mengaku justru menjadi orang yang paling pusing dengan nasib smelter.  Ia juga mengaku tak mengetahui dengan jelas asal usul adanya ide relaksasi aturan larangan ekpor mineral dalam rapat dengar pendapat antara DPR dan ESDM.

Namun ia menilai relaksasi itu dinilai belum diperlukan. Sebab untuk mengatasi kondisi saat ini dimana harga komoditas mineral lesu masih ada cara lain. pemerintah bisa mengatasi dengan cara lain, diantara pemberian insentif seperti pemberian keringanan pembayaran pajak. Dari pada harus membuka kran ekspor mineral mentah.

"Kalau pemerintah mau kasih insentif sebetulnya mudah, misalnya tidak dipungut pajak," ‎ kata Jonathan.

Jonathan justru menyayangkan kekhawatiran pemerintah atas penurunan harga komoditas yang kemudian berencana membuka kran eskpor mineral mentah. Dimana aturan tersebut akan dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan dan Batubara.

"Tidak akan ada tenaga kerja yang menganggur hanya karena tidak bisa ekspor mineral mentah. Ini jangan jadi alasan untuk buka ekspor mineral mentah,‎" tandasnya

Ia berkeyakinan, jika pemerintah konsisten menerapkan larangan ekspor mineral mentah, pembangunan smelter bakal mengalami kemajuan. Bahkan Jonatan memperkirakan bakal  ada 7 juta ton bijih nikel yang terserap pada 2017.

"Ini bukti smelter sudah ada hasilnya," tambahnya.

Di sisi lain usaha untuk membangun smelter juga telah menghabiskan banyak biaya. Menurut Jonatan dari 24 smelter yang telah dibangun sejak 2012-2015 sudah menelan investasi  sebesar US$ 12 miliar.  Sebagian besar oleh investor asing.

"Dari seluruh perusahaan smelter kami tidak ada yang menerima tax holiday, padahal kami merupakan industri baja, kami ingin sampaikan ke pemerintah," ungkapnya.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dari Fraksi Golkar, Satya W Yudha mengatakan hilirisasi harus ditegakkan. Revisi UU Minerba juga harus diarahkan untuk memperkuat hilirisasi minerba.

"Kalau saat ini PP dan Permen-nya tidak sejalan dengan UU Minerba, sehingga relaksasi yang mestinya tidak ada dalam UU Minerba sekarang," kata Satya kepada gresnews.com, Rabu (16/3) malam.

KEMENPERIN TOLAK RELAKSASI - Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga menyatakan menolak usulan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang akan memasukan poin pelonggaran (relaksasi) ekspor mineral mentah dalam revisi Undang-Undang No.4 Tahun 2009. Sebab usulan tersebut justru akan merugikan pelaku usaha tambang dan smelter yang sudah mulai membangun smelter.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Ditjen Ilmate) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, rencana membuka ekspor mineral mentah akan membebankan pelaku usaha tambang yang sedang membangun smelter.

Putu mengungkapkan saat ini terdapat sekitar 27 smelter yang sedang dibangun di Indonesia. Bahkan separuhnya sudah beroperasi dan sisanya masih proses pembangunan. Maka dikhawatirkan adanya relaksasi tersebut, justru akan membuat pabrik-pabrik itu merugi.

"Jadi yang mempunyai izin akan berpikir, kalau begitu masih bisa ekspor, kita tidak harus jual kepada yang bangun smelter, itu bahayanya. Jadi kasihan mereka yang telah investasi sangat besar, mereka tidak mendapatkan kepastian bahan baku" kata Putu ditemui di Warung Komando, Jakarta, Jumat (26/2) lalu.

Gusti menyebutkan baginya tak masalah bila UU No.4 Tahun 2009 direvisi terkait persoalan kontrak atau apa pun yang memang mesti disesuaikan. Namun yang dikhawatirkan apabila revisi tersebut benar mengakomodir izin ekspor mineral mentah (relaksasi ).

"Kami (Kemenperin) tidak mau ada relaksasi tersebut, jadi mohon ditinjau ulang," tegasnya. Ia meminta soal relaksasi ini tak dikaitkan dengan revisi  UU Minerba sebelum smelter-smelter  itu beroperasi. Gusti menyarankan agar ide relaksasi ditinjau kembali perlu tidaknya.

BACA JUGA: