JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam berencana menggugat Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung. Mereka menilai, kedua Permen tersebut merupakan bentuk baru kolonialisme yang dijalankan pemerintah Republik Indonesia terhadap sumber daya alamnya sendiri.

"Kedua Peraturan Menteri tersebut membuka peluang untuk melanggengkan praktik jual beli tanah, dalam hal ini praktik ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri, oleh perusahaan asing. Itu sangat bertentangan dengan konstitusi," kata Ahmad Redi, Koordinator Koalisi Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam, Rabu (18/1).

Melengkapi pernyataan Redi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bakhtiar mengatakan terbitnya kedua Permen ESDM tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kerap menghasilkan produk hukum yng bermasalah. Bisman menyebut, lewat kedua Permen tersebut pemerintah tengah mempertontonkan suatu akrobat hukum ke hadapan publik.

Sayangnya, menurut Bisman, akrobat yang ditontonkan adalah akrobat yang buruk dan mengecewakan. Bukan akrobat menarik yang layak diberi tepuk tangan. Permen ESDM Nomor 5 dan Nomor 6 Tahun 2017 merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan,

"Di dalam Undang-Undang Minerba, jelas bahwa ada kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri. Bahwa hari ini amanat UU itu tidak dapat dilaksanakan, alasannya karena smelter belum banyak dibangun. Namun tetap saja dikeluarkannya PP Nomor 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM No 5 dan Permen No 6 Tahun 2017 bukanlah langkah yang tepat," kata Bisman kepada gresnews.com, Rabu (18/1).

Bisman melanjutkan, pemerintah bisa saja berdalih bahwa diberikannya kelonggaran ekspor konsentrat mentah adalah demi pertumbuhan sosial ekonomi.  Namun ditinjau dari ketentuan yang ada, yakni Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, Bisman menilai mengizinkan perusahaan melakukan ekspor konsentrat mentah adalah langkah keliru. Menurutnya, dengan cara demikian justru pemerintah malah terkesan mengoreksi isi UU Minerba lewat peraturan di bawahnya.

"Tidak bisa isi UU itu direduksi oleh PP, atau direduksi oleh Permen. Inilah yang kami katakan akrobat dalam aturan perundang-undangan," lanjut Bisman. Bisman juga menyebut bahwa tindakan akrobat hukum semacam demikian bukan pertama kali dilakukan pemerintah. Sejak UU Minerba diundangkan pada 2009, baik rezim Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo, sudah terbiasa melakukan akrobat hukum.  Hal itu bisa dilacak sejak terbitnya Permen ESDM No 20 tahun 2013, Permen ESDM No 1 Tahun 2014, Permen ESDM No 5 tahun 2016, hingga terbitnya Permen ESDM No 1 Tahun 2017.

"Apakah kita masih akan melanjutkan tradisi buruk ini? Kami berharap kepemimpinan Pak Jokowi tidak lagi melanjutkan kebiasaan bermain akrobat hukum seperti ini,"papar Bisman.

Bisman menerangkan, masing-masing Permen tersebut sengaja dibuat demi mengakali praktik ekspor mineral mentah yang sedianya bertentangan dengan konstitusi bisa terus dilakukan dengan landasan hukum yang seolah tepat. Hal demikian juga berlaku dalam konteks pembangunan smelter.

Menurut Bisman, dengan adanya kedua Permen ESDM di atas, seluruh pemegang Kontak Karya yang sudah berproduksi berpotensi melanggar kembali ketentuan Pasal 170 UU Minerba. Pasal 170 UU Minerba mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan.

"Kewajiban membangun smelter untuk pemurnian itu kan batasnya tahun 2014, 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan pada 2009. Namun hingga sekarang pembangunan smelter ini tidak tercapai. Mestinya, kalau mereka serius berkomitmen terhadap pembangunan smelter, maka komitmen itu sudah harus tercapai," kata Bisman.

Bisman melanjutkan, di tahun 2014, saat waktu yang ditentukan Pasal 170 UU Minerba untuk membangun smelter sudah hampir menemui senjakalanya, para pemegang Kontrak Karya malah malah diberi perpanjangan waktu selama 3 tahun hingga 2017 lewat PP Nomor 1 tahun 2014. Dan sekarang, lewat PP Nomor 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2016, perpanjangan waktu itu hendak diberikan lagi selama 5 tahun, artinya hingga tahun 2022.

Terkait hal itu, Bisman melihat Pemerintah bersikap tidak tegas, dan aturan yang ada malah menimbulkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan amanat UU Minerba. "Akrobat hukum semacam ini mesti segera diakhiri," pungkas Bisman.
SIKAP PEMERINTAH - Sementara itu, pihak Kementerian ESDM menyatakan komitmen mereka atas kebijakan yang dikeluarkan di awal tahun ini. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengaku dirinya siap menghadapi ancaman gugatan yang dinyatakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam. Arcandra juga menyatakan siap mempertahankan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Selain itu juga Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

"Kami akan pelajari (gugatannya--red), yang jelas ada satu PP dan dua permen. Kemudian ada dua Permen lagi yang akan kami keluarkan sebagai turunan dari PP Nomor 1 Tahun 2017. Secepatnya akan kami keluarkan. Apa pun yang kami keluarkan sudah berdasarkan review yang sangat dalam," kata Arcandra, Rabu, (18/1).

Menurut Arcandra, para penggugat yang merasa tidak setuju dengan aturan yang dikeluarkan Menteri ESDM bisa menyampaikan aspirasinya lewat jalur hukum yang sesuai dengan ketentuan di negara demokrasi. Bagi Arcandra, gugatan yang diajukan Koalisi Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam akan dijadikan momentum untuk kembali mensosiasolasikan kedua Permen tersebut. "Kami dalam hal ini pemerintah juga siap untuk menjelaskan maksud PP dan permen yang diterbitkan," katanya.  

Arcandra yakin bahwa tudingan pihaknya telah melanggar konstitusi adalah tudingan yang tidak tepat. Menurutnya, semua aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM adalah aturan yang memenuhi ketentuan perundang-undangan Indonesia. "Saya rasa di PP dan permen itu yang pemerintah keluarkan sudah sesuai. Artinya, siapa pun harus tunduk tanpa pengecualian," ujarnya.

Sebelumnya, pada Selasa (17/1) Arcandra juga menyatakan bahwa pemerintah tidak sembarangan memberikan izin bagi perusahaan tambang untuk melakukan ekspor konsentrat mentah. Menurutnya, perusahaan yang akan menjalankan praktik demikian mestilah memiliki komitmen untuk merealisasikan smelter dalam kurun waktu 5 tahun. "Hal ini berlaku bagi perusahaan pertambangan yang memang ingin melakukan ekspor konsentrat. Jadi kalau mau ekspor ya bangun smelternya," ucap Arcandra.

Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, Arcandra menyebut bahwa kali ini pemerintah memiliki perhitungan yang jelas dalam pembangunan smelter. Menurutnya, perusahaan pertambangan yang melakukan ekspor konsentrat mentah haruslah memperlihatkan progres pembangunan smelter sebesar 20% setiap tahunnya. Dengan cara itu, saat batas waktu 5 tahun dinyatakan habis, smelter sudah terbangun sepenuhnya.

"Artinya kita akan periksa ini per enam bulan. Bila enam bulan pertama progres tidak 10%, maka izin ekspor dicabut," tegas Arcandra. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: