JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penerapan program hilirisasi industri pertambangan pada 2017 oleh pemerintah terancam molor. Pasalnya hingga awal kuartal II tahun 2016 jumlah fasilitas permunian biji mineral mentah (ore) yang dibangun di Indonesia tidak lebih dari 30 persen dari semua proyek yang tercatat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM). Masih ada keengganan dari para pemilik kontrak pertambangan untuk melaksanakan kewajiban membangun smelter sehingga program hilirisasi tambang ini seperti terkatung-katung.

"Ya, masih sangat kecil sekitar 20 sampai 30 persen, dari jumlah yang diajukan," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, Bambang Gatot, dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/4/) malam.

Tercatat oleh Kementerian ESDM, terdapat tidak kurang dari 71 smelter yang seharusnya akan dibangun di Indonesia. Namun Bambang menilai, banyaknya jumlah smelter yang dibangun tidak lepas dari program hilirisasi yang diusung pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah  komoditas mineral nasional.

Dia menjelaskan, dari jumlah proyek yang tercatat ternyata baru 25 smelter yang kemajuannya lebih dari 81 persen. Namun 56 lainnya masih belum menunjukkan perkembangan yang berarti termasuk proyek smelter tembaga yang dibangun PT Freeport Indonesia ( PTFI). "Mungkin terlambat," ujarnya.

Seperti diketahui, Kementerian ESDM menargetkan akan terdapat sedikit tujuh smelter yang selesai 2016. Pertama, smelter milik PT Megah Surya Pertiwi di Hamahera Selatan, Maluku Utara, dengan produksi Feronikel mencapai 186 ribu ton per tahun. Smelter ini diproyeksikan rampung pada kuartal ketiga 2016.

Kedua, smelter milik PT Karyatama Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dengan Produksi Nikel Pig Iron sebesar 50 ribu ton per tahun, smelter tersebut diproyeksi selesai pada akhir 2016. Ketiga adalah PT First Pasific Mining di Halmahera Tengah, Maluku Utara dengan produksi Feronikel 30 ribu ton per tahun, smelter tersebut ditargetkan rampung kuartal pertama 2016.

Keempat, PT Well Harvest Mining di Ketapang Kalimantan Barat dengan produksi Smelter Grade Alumnia (SGA) mencapai 2 hingga 4 juta ton per tahun, smelter ditargetkan selesai akhir tahun 2016. Kelima, PT Lumbung Mineral Sentosa di Bogor, Jawa Barat dengan produksi Bulion Lead 24 ribu ton per tahun, rencananya smelter akan selesai pada Juni 2016.

Keenam adalah PT Kapuas Prima Coal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dengan produksi Bulion Lead sebesar 18 ribu ton per tahun. Smelter tersebut diproyeksi rampung Maret 2016. Tujuh PT BCMG Tani Berkah di Bogor, Jawa Barat dengan produksi Bulion Lead sebesar 15 ribu ton per tahun. Smelter tersebut ditargetkan selesai Desember 2016.

Sayangnya, progres pembangunan smelter yang seharusnya dibangun tahun ini tersebut berjalan sangat lamban. Alhasil diperkirakan, target-target itu tidak akan terpenuhi di tahun ini.

Direktur Eksekutif Indonesia Resourches Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, molornya pembangunan smelter terjadi sebagai dampak dari anjloknya harga mineral di pasaran dunia. Kemudian, pemerintah juga tidak tegas terhadap para pengusaha tambang dalam memberikan sanksi ketika kemajuan pembangunan yang dicapai sangat lambat.

"Kurang tegas pemerintah untuk memberikan sanksi bagi perusahaan tambang yang belum bangun smelter, sehingga pembangunan hingga kini tidak ujung selesai. Memang bakal molor karena pembangunan tersendat akibat harga mineral turun, di samping aturan yang tidak tegas dan tanpa sanksi yang diberikan oleh pemerintah," kata Marwan kepada gresnews.com, Senin (4/4) malam.

PENGUSAHA MENGELUH - Kondisi yang dihadapi dunia pertambangan ini memang membuat pemerintah pusing tujuh keliling. Di satu sisi pengusaha pertambangan kesulitan membangun smelter karena harga barang tambang jatuh. Hal ini mendorong pemerintah mengajukan rencana untuk membuka kembali keran ekspor bahan mentah. Namun rencana ini kemudian ditentang para pengusaha smelter.

Kondisi harga barang tambang memang tengah menghadapi anomali sepanjang tahun 2015. SVP Corporate Secretary PT ANTAM (Persero) Tbk Tri Hartono mengatakan, setelah aliran keran ekspor bahan mentah nikel Indonesia distop oleh pemerintah seharusnya harga nikel naik, tetapi kenyataannya harga tetap turun. Karena itulah banyak pengusaha enggan membangun fasilitas smelter.

Meski begitu, menurut Tri, ANTAM tetap mendukung dan mewujudkan hilirisasi melalui penyelesaian Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Halmahera Timur (P3FP) dan Proyek Perluasan Pabrik Feronikel Pomalaa (P3FH). "Saat ini perseroan tengah melaksanakan proses konstruksinya. Untuk pabrik feronikel di Pomalaa Sulawesi Tenggara sudah hampir rampung, sedangan pabrik feronikel di Halmahera Timur sedang proses tender kontraktor," katanya.

P3FH sudah dimulai sejak 2011 lalu. Saat itu kapasitas produksinya sudah mencapai 40.000 TNi (ton nikel) per tahun. Namun sayang, tahun 2014 lalu, proyek senilai kurang lebih US$1.6 miliar harus terhenti. "Proyek ini akhirnya di-suspend bulan Januari 2014 karena kendala keuangan perseroan akibat rendahnya harga komoditas serta adanya larangan ekspor yang berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan," ujar Tri.

Namun ia menyampaikan ANTAM tetap optimistis bahwa pembangunan smelter P3FH akan segera selesai setelah perusahaan memperoleh dana Rp3,5 triliun. "ANTAM mengharapkan proyek P3FH akan selesai pada 2018. Tentu saja membangun pabrik yang tadinya berkapasitas 40.000 TNi menjadi 15.000 TNi harus merubah disain konstruksi. Kami telah menandatangani kesepahaman bersama dengan PT Bukit Asam perihal pasokan tenaga listrik ke P3FH. Overall sedang kita review ulang sekaligus tender kembali kontraktor EPC-nya, sabar saja," tambahnya.

Sementara untuk P3FP, proyek hilirisasi ANTAM di Sulawesi, akan ditambah kapasitas produksinya. Dari yang tadinya 18.000 – 20.000 TNi per tahun, akan diperluas menjadi 27.000 – 30.000 TNi per tahun. "Proyek senilai US$600 juta ini melewati 8 paket konstruksi diantaranya fasilitas Jetty atau pelabuhan, belt conveyor, refining plant-3, ladle furnace, line-4 ore preparation & calcining, electric smelting furnace-4, oxygen plant-5 dan coal power plant" ujar Tri.

Ia mengatakan juga saat ini progres EPC sudah mencapai 99,08%. "Kami ingin membuktikan komitmen pembangunan pabrik feronikel ANTAM akan selesai sesuai target," ujar Tri.

Sementara itu, terkait rencana pemerintah membuka kembali keran ekspor tambang mentah, justru dikeluhkan pengusaha smelter. "Sebagai pelaku usaha smelter di Indonesia. Kami ini akan menjadi orang yang paling pusing terkait nasib smelter," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handoyo, dalam diskusi Indonesia Mining Outlook 2016 dengan tema Menangkap Peluang Bisnis Mineral dan Batu Bara 2015 di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta, Rabu (16/3).

"Dari 24 smelter yang sudah dibangun sejak 2012-2015 itu sudah memakan investasi sebesar US$ 12 miliar. Sebagian besar adalah investor asing. Sudah ada 15.000 tenaga kerja, belum termasuk kontraktor," katanya.

Kebingungan pengusaha smelter itu bukan tanpa alasan. Sebab ada investasi senilai US$12 miliar yang dipertaruhkan. "Kami sedang galau maka kami mencari pegangan berupa Amanah UU dan Peraturan tentang Hilirisasi Mineral yaitu UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) , UU No 4/2009, UU No 3/2015, PP 23/2010, Permen WSDM 01/2014, dan Permen ESDM 8/2015. Tidak jelas sebetulnya dari mana asal mulanya sehingga dilakukan rapat dengar dengan DPR dan ESDM 8 Maret yang lalu dibahas relaksasi mineral," ujarnya.

Ia mengatakan, terkait wacana relaksasi ekspor mineral mentah yang marak dibicarakan beberapa waktu ini, AP3I sedang bersikap dan mengusulkan beberapa pengajuan. "Perlu diketahui dari seluruh perusahaan smelter kami tidak ada yang menerima tax holiday padahal kami adalah industri baja. Jadi ini bukti nyata yang membuat kami perlu bicara ke pemerintah," ujarnya.

Kemudian terkait perlunya implementasi dari pemerinfah dalam menjamin ketersediaan bahan baku industri baik dari segi kualitas, kuantitas, nilai ekonomi, sehingga hilirisasi industri logam dasar dapat berjalan di dalam negeri. "Kesulitan suplai seperti yang dialami perusahaan baja kami di Kalimantan jadi tidak bisa berproduksi karena kekurangan bahan baku," ujarnya.

"Kami hanya minta tolong, pertama melalui UU, dan kedua kepada pemangku pemerintah di Indonesia. Mari kita lihat apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh Presiden Jokowi. Seperti yang kita tahu Jokowi menyetop mengekspor bahan mentah khusus untuk nikel," katanya.

REVISI UU PERTAMBANGAN - Terkait polemik ini, pemerintah kemudian juga mewacanakan untuk merevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Salah satu alasannya, karena banyak sekali perusahaan tambang yang tak bisa menyelesaikan pembangunan smelter sebelum 2017.

Bila UU Minerba tak direvisi, perusahaan-perusahaan yang belum memiliki smelter pada 2017 dipastikan kolaps, karena tak bisa melakukan ekspor lagi, operasinya pasti terganggu, para pekerjanya pun terpaksa di-PHK.

"Saya ingin menangapi berita yang beredar. Sekarang saya sekarang sedang menyiapkan revisi UU Minerba. Kenapa diubah? Ada beberapa hal yang harus dievaluasi yang kita lihat belum berhasil. Seperti smelter, kita juga evaluasi, pemohon (pembuat smelter) masih jauh dari progress," ujar Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (26/2) lalu.

Hanya saja, kata Gatot, bakal kolapsnya perusahaan tambang yang belum memliki smelter bukan satu-satunya alasan di balik keinginan Kementerian ESDM merombak UU Minerba. Gatot mengatakan, poin penting lain yang perlu direvisi adalah soal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam perizinan pertambangan. "Ini saat erat sekali dengan UU Otonomi Daerah. Sebab itu, kita evaluasi," ucapnya.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta revisi atas UU Minerba ditunda hingga smelter-smelter selesai dibangun dan mulai beroperasi. "Sebaiknya tunggu smelter-smelter yang sekarang sedang dibangun beroperasi, baru kita tinjau lagi UU Minerba," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, dan Alat Transportasi Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan.

Putu khawatir, revisi UU Minerba membuka kembali keran ekspor mineral mentah. Bila ekspor barang tambang mentah sampai dibuka lagi, hilirisasi mineral di dalam negeri akan terganggu, dan tentu tidak adil bagi perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah susah payah menggelontorkan banyak uang untuk membangun smelter.

Selain itu, smelter-smelter yang sudah dibangun bisa kekurangan pasokan bahan baku akibat ekspor mineral mentah diizinkan lagi. Kalau itu terjadi, tentu perusahaan yang sudah membangun smelter bakal rugi besar.

"Yang memiliki izin pertambangan tentu berpikir, masih bisa ekspor, nggak harus jual ke yang bikin smelter, itu yang bahaya. Bisa-bisa yang sudah bangun smelter tidak mendapat kepastian bahan baku," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: