JAKARTA, GRESNEWS.COM — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada Kamis (12/1) lalu. Menanggapi PP baru itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menerangkan, dalam konteks ekspor mineral mentah, PP itu mengalami kemunduran.

"PP baru ini lebih longgar dalam arti ekspor mineral mentahnya malah diperbolehkan. Padahal, di dalam UU No 4 Tahun 2009 sendiri soal ekspor mineral mentah itu tidak dibolehkan sejak 2014. Di situ diamanatkan bahwa 5 tahun sejak UU itu diundangkan, artinya sejak 2009 hingga 2014, ekspor mineral mentah tidak dibolehkan," kata Komaidi kepada gresnews.com, Minggu (14/1).

Komaidi menjelaskan, selain tidak sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009, kemunduran pemerintah dalam konteks ekspor mineral mentah bisa dilihat dari ketidaksesuaian PP itu dengan pidato Presiden Joko Widodo sebelumnya. Pada Selasa (10/1) lalu, dalam rapat kabinet terbatas yang digelar di Istana Negara, Jokowi mengimbau para menteri agar mendayagunakan sumber daya mineral dan batu bara demi seluas-luasnya kepentingan rakyat.

"Nah, kalau orang nantinya tetap ekspor mineral mentah, apa maknanya pidato presiden kemarin? Jadi kalau bicara ekspor, PP baru ini mengalami kemunduran,” tegas Komaidi.

Namun demikian, Komaidi juga memberi apresiasi atas terbitnya PP No 1 Tahun 2017. Menurutnya, masih ada hal yang patut diapresiasi dari PP yang cukup menimbulkan kontroversi itu. Salah satunya soal divestasi 51%. Menurut Komaidi, ketentuan tersebut mempertegas ketentuan sebelumnya yang dianggap terlalu longgar.

"Di situ dipertegas lagi untuk pengalihan saham kontrak karya 51%. Saya kira itu penegasan karena sebelumnya ada beberapa proses yang cukup menyita perhatian publik, yang seharusnya sudah 51% tapi karena belum ada kesepakan antara kontraktor dan pemerintah, akhirnya molor dan tidak tercapai. Bagamanapun, yang namanya divertasi itu tidak gratis, tetap harus ada hitung-hitungannya," lanjut Komaidi.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 mengamanatkan setiap pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% dimiliki peserta Indonesia. Tahapan divestasi dicantumkan dalam Dalam pasal 97 ayat 2 PP Nomor 1 tahun 2017 yakni, tahun keenam 20%, tahun ketujuh 30%, tahun kedelapan 37%, tahun kesembilan 44% dan tahun kesepuluh 51% dari jumlah seluruh saham.

Senada dengan Komaidi dalam konteks ekspor mineral mentah, Pengamat Ekonomi Politik Nasional dari Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng, turut mengkiritisi pemerintah. Menurutnya, setiap perusahaan, baik yang terikat Kontrak Karya (KK) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), tidak boleh melakukan ekspor mineral mentah.

"Ini dasarnya apa? Saya kira IUPK maupun KK sama-sama harus melakukan pengolahan di dalam negeri. Dulu KK diberi jangka waktu hingga lima tahun (2009-2014), tapi tidak berjalan. Sementara rezim IUPK sudah banyak yang bangkrut karena tidak bisa melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sementara sekarang, pemerintah melalui PP dan peraturan menteri ESDM malah mengatakan, perusahaan KK boleh melakukan ekspor konsentrat kalau sudah berubah menjadi IUPK. Ini pelanggaran dan juga manipulasi," kata Salamuddin kepada gresnews.com.

Salamuddin menyebut, seharusnya setelah jangka waktu yang ditentukan, jika perusahaan baik yang terikat KK maupun IUPK tidak dapat memenuhi kesepakatan, maka perusahaan tersebut tidak boleh lagi melakukan ekspor bahan mentah. "Jadi intinya, seharusnya sekarang tidak boleh ada lagi perusahaan tambang yang boleh melakukan ekspor Minerba. Perusahaan-perusahaan silakan beroperasi, tapi tidak boleh ekspor," tambah Salamuddin.

Salamuddin menerangkan, bagi gerakan lingkungan dan gerakan penyelamatan sumber daya alam, UU Nomor 4 Tahun 2009 merupakan salah satu strategi untuk membatasi laju eksploitasi kekayaan tambang yang merusak. Sedang bagi gerakan penyelamatan sumber daya alam, UU tersebut dinilai penting untuk mengakhiri model ekploitasi masif kekayaan alam ala pemerintah kolonial.

"Saya melihat PP No 1 Tahun 2017 itu adalah peraturan yang melanggar konstitusi, dan melawan UU No 4 Tahun 2009. DPR seharusnya bisa memanggil Presiden dam menteri ESDM untuk dimintai keterangan, bahkan bisa melalui hak angket. Aktivis juga bisa melaporkan Menteri ESDM ke kepolisian karena melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Bagaimanapun, UU Minerba menerapkan sanksi pidana bagi siapa pun yang melanggarnya," pungkas Salamuddin.

TIDAK HARUS JADI IUPK - Sementara itu, sebagai turunan dari PP tersebut, Pemerintah juga menerbitkan dua peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai petunjuk pelaksanaan PP tersebut. Pertama, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri.

Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.

Dilansir dari situs resmi Kementerian ESDM, salah satu isi Permen ESDM 5/2017 berbunyi: "Dalam rangka mendorong pelaksanaan hilirisasi pemerintah memberikan kesempatan pemegang KK Mineral Logam, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP), Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) khusus pengolahan dan/atau pemurnian, dan pihak lain untuk melakukan penjualan konsentrat ke luar negeri untuk 5 tahun ke depan sejak diterbitkannya Permen tersebut".

Adapun syarat untuk melakukan ekspor yakni mengubah KK menjadi IUPK Operasi Produksi, memberikan komitmen pembangunan smelter, dan membayar bea keluar maksimum 10% sesuai progres fisik dan realisasi keuangan pembangunan smelter.

Sementara itu, beberapa Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 menyebut, sebelum mendapatkan persetujuan ekspor, pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam, dan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan /atau pemurnian wajib mendapatkan rekomendasi. Rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri merupakan persyaratan untuk mendapatkan persetujuan ekspor.

Namun demikian, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan menyatakan, Pemerintah tidak memaksa perusahaan-perusahaan Kontrak Karya (KK) untuk berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurutnya, tidak ada kewajiban pemegang KK berubah menjadi IUPK selama perusahaan tersebut tidak meminta rekomendasi ekspor produk konsentrat atau bijih (ore).

"Kita tidak memaksa kok. Tidak ada paksaan. Tidak bisa ini dipaksa. Kenapa tidak bisa dipaksakan, kalau pemegang KK kita harus menghormati sampai batas waktu KK selesai. Yang diminta itu ekspornya harus ekspor produk hasil pengolahan dan pemurnian. Kalau tidak siap, itu pindah ke IUPK," ujar Jonan.

Jonan menegaskan, perusahaan-perusahaan KK tidak harus berubah menjadi IUPK, namun demikian di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa perusahaan KK dalam 5 tahun setelah Undang-Undang itu diterbitkan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian.

"Jadi kalau mau ekspor produk pemurnian tidak ada masalah bisa tetap KK, tetapi kalau tidak bisa melakukan pemurnian maka wajib merubah menjadi IUPK, karena di Undang-Undang Pasal  102 dan 103 jika IUPK dimungkinkan (ekspor konsentrat) karena tidak diatur batas waktunya. Kalau merubah IUPK boleh ekspor hasil konsentrat," pungkas Jonan. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: