JAKARTA - Kebijakan pemerintah membangun smelter atau pabrik pengolah bijih tambang mendapatkan kritikan pedas.

Kebijakan yang ditujukan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah ini justru tidak menguntungkan negara.

Hingga tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus mendorong pembangunan smelter, yang dari 2014 sampai saat ini sudah mencapai 27 unit.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi Gerindra Kardaya Warnika mengatakan hilirisasi dengan membangun smelter memang memberikan nilai tambah.

"Hilirisasi itu sendiri memberikan nilai tambah yang sangat besar, ya mungkin bisa sampai 19 sampai 20 kali," kata Kardaya melalui komunikasi telepon dengan Gresnews.com, Senin (21/6/2021).

Namun Kardaya mengungkapkan yang terjadi saat ini adalah ketidakjelasan sampai sejauh mana adanya peningkatan nilai tambah tersebut. Apakah benar sampai 19 atau dua kali lipat?

"Indonesia kalau pabrik alatnya, misalkan alat itu jadi nikel, atau jadi apa. Jadi barang yang sudah jadi, atau alat yang sudah jadi nggak ada, ya berarti berkurang pemasukan ini," ungkapnya.

Menurutnya, hilirisasi itu memberikan pengaruh, manfaat yang besar bagi negara. Namun memerlukan pengawasan yang ketat.

"Jangan sampai bilang hilirisasi-hilirisasi, smelter-smelter aja, tetapi yang dihasilkan dari smelternya itu tidak seperti yang kita harapkan. Bukan barang setengah jadi tapi mungkin bahannya barang seperempat jadi. Untuk itu dilakukan pengawasan," kata Kardaya.

Dia berpendapat tidak hanya pengawasan pada proses smelter saja tapi juga perlu penyaringan di ujungnya, yaitu waktu ekspor. Hal itu yang belum ada di Indonesia.

"Itu belum ada sama sekali. Jadi hanya izin ekspor-izin ekspor saja. Lalu apa pun yang diminta izinnya itu pasti diberikan izin ekspornya. Harusnya yang dilakukan adalah pengawasan atau pengecekan pada waktu terakhir mau ekspor itu," ujarnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah perlunya pemerintah memberikan kemudahan dengan memperbolehkan perusahaan apa pun yang mampu membangun smelter, sehingga tidak harus perusahaan tambang sendiri yang membangun smelter itu.

Nantinya perusahaan yang membangun smelter itu bisa menerima pemurnian bahan tambang dari perusahaan tambang yang tidak memiliki smelter dengan harga tarif pemurnian yang ditentukan sesuai aturan.

"Jadi pemerintah harus me-review kembali kebijakannya, memilih kebijakan yang paling mungkin dilakukan dan paling menguntungkan bagi negara," pungkasnya.

Moratorium Program Smelter

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menjelaskan sebenarnya masyarakat paham niat baik, ideal dan rencana di balik program hilirisasi.

Namun melihat kondisi yang terjadi sekarang, di mana terjadi berbagai rekayasa, pelanggaran dan manipulasi hampir di semua mata rantai industri nikel maka pelaksanaan program hilirisasi model seperti ini justru berubah menjadi alat merampok sumber daya alam negara.

"Karena itu, pemerintah, DPR dan berbagai lembaga terkait perlu segera memoratorium program hilirisasi omong-kosong tersebut. Selain itu, berbagai pelanggaran yang dilakukan para investor, termasuk konglomerat dan oknum pejabat oligarkis, perlu segera diproses hukum dan dikenakan sanksi," ungkapnya.

Ia menjelaskan program hilirisasi pemerintah yang mengharapkan dapat mencapai nilai tambah 19 kali itu masih jauh dari harapan.

"Pemerintah boleh kampanye nilai tambah 19 kali untuk mineral nikel. Namun secara teori, menurut LPEM-UI, yang mampu diraih hanya sekitar 3-4 kali," kata Marwan kepada Gresnews.com, Rabu (23/6/2021).

Sayangnya, kata Marwan, ternyata nilai 3-4 kali yang sudah rendah ini pun tidak dinikmati negara dan rakyat Indonesia secara proporsional. Manfaat dan untung besar justru lebih banyak dinikmati China, investor China, konglomerat, oligarki dan TKA China.

Mengapa demikian?

Menurut dia, pertama, untuk nilai tambah intangible, khusus kesempatan kerja, rakyat NKRI yang berhak memperoleh kehidupan layak sesuai konstitusi terpinggirkan. Investor China, konglomerat dan oknum-oknum pejabat pemerintah justru lebih memilih ribuan rakyat China lulusan SD, SMP dan SMA menjadi buruh kasar dibanding pribumi.

"Sebagai contoh, silakan pemerintah dan DPR buktikan penyelewengan ini minimal pada smelter PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS)!" jelasnya.

Kedua, nilai tambah intangible dan tangible juga minimalis karena sebagian perusahaan smelter nikel menggunakan barang modal dari China dan membayar gaji karyawan TKA China di China Daratan.

Ia menegaskan kegiatan ekonomi hilirisasi seperti ini tidak memberikan kontribusi pada perekonomian. Setiap peningkatan permintaan akhir terhadap komoditas yang dihasilkan dalam bentuk konsumsi, investasi, pengeluaran dan ekspor, tidak meningkatkan output perekonomian secara keseluruhan melalui mekanisme pengganda (multiplier).

Ketiga, nilai tambah tangible yang menjadi penerimaan negara, pusat dan daerah (Pajak, PNBP, dan lainnya), bernilai puluhan triliun rupiah, juga hilang.

Mengapa hal itu terjadi, Marwan menjelaskan, hal itu karena para investor China dan konglomerat mendapat fasilitas-fasilitas: 1). bebas bayar Bea Masuk (BM); 2) bebas bayar royalti (sebagai pemegang IUI); 3). tax holiday; 4). bebas PPN; 5). bebas pajak ekspor; 6). bebas bayar PPH-21, Iuran Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA China menggunakan visa kunjungan 211 (bukan visa kerja 311).

Marwan menerangkan perihal poin 1, Bea Masuk, para investor smelter membuat Master List di mana Import Duty Tax tersebut adalah nol. Apabila Import Duty Tax telah dibayar maka belakangan investor smelter akan melakukan Restitusi Pajak.

Kemudian poin 2, investor smelter sebagai pemegang IUI bebas kewajiban bayar royalti. Justru investor tambang, mayoritas pengusaha lokal yang wajib bayar royalti.

Lalu poin 3, pemerintah memang telah nyata memberi fasilitas tax holiday 25 tahun kepada para investor sesuai syarat minimal investasi.

Kemudian poin 4 dan 5, Export Duty Tax dan Value Added Tax/PPN atas proses "seperempat hilirisasi" ini adalah nol.

Selanjutnya, khusus poin 6, kejahatan sistemik yang dilakukan investor China bersama konglomerat dan didukung oknum penguasa adalah hilangnya penerimaan negara sekitar Rp37,93 juta per orang per tahun.

Berkaca pada kasus smelter VDNI dan OSS yang diperkirakan mempekerjakan sekitar 5000 TKA maka negara dirugikan sekitar Rp189 miliar per tahun.

"Jika jumlah smelter diasumsikan 30 buah, maka hanya dari pajak dan iuran yang wajib dibayar TKA China ini, negara berpotensi kehilangan penerimaan sekitar Rp5,68 triliun per tahun," terangnya.

Menurut Marwan, dengan berbagai pelanggaran dan manipulasi tersebut jelas hal ini sangat merugikan NKRI puluhan triliun rupiah.

Meskipun terjadi penggandaan nilai output, pendapatan dan tenaga kerja, namun manfaat terbesar penggandaan tidak dinikmati NKRI dan rakyat, tetapi justru dinikmati investor China, konglomerat, oligarki kekuasaan.

"Ini berarti, program hilirisasi telah “dipakai” untuk merampok SDA nikel dan hak rakyat bekerja. Yang terjadi, adalah “hilirisasi omong kosong” demi keuntungan para investor China, konglomerat dan oligarki kekuasaan," ujarnya.

Marwan menegaskan, dengan singkat bahwa skema hilirisasi model penjajahan China dan konglomerat seperti ini tidak memberikan peningkatan output hilir, kesempatan kerja dan income (output, employment dan income multipliers) sebagaimana seharusnya.

Para investor China, konglomerat dan oligarki mendapat kesempatan mengeruk kekayaan SDA NKRI secara melawan hukum, sarat rekayasa dan konspiratif.

"Anehnya, kita beri mereka berbagai insentif fiskal/non-fiskal berlebihan, dan kita sebut mereka sedang mendukung ekonomi dan pembangunan nasional," tegasnya. (G-2)

BACA JUGA: