JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akhirnya merampungkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Lewat revisi itu, pemerintah memperpanjang masa pemberian relaksasi ekspor konsentrat atau hasil tambang mentah hingga tahun 2021. Sebelumnya, ekspor konsentrat dibatasi hingga 11 Januari 2017 dan pada saat itu, semua perusahaan tambang harus sudah membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Panjaitan mengatakan selama masa perpanjangan relaksasi ini, diharapkan perusahaan-perusahaan tambang dapat memenuhi kewajibannya melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri dengan menyelesaikan pembangunan smelter. "Intinya berkeadilan, jangan sampai ada yang dirugikan, tapi tentu tidak semua sempurna. Misalnya kita akan memberi waktu 3-5 tahun untuk pembangunan smelter. 5 tahun itu maksimum, setelah 5 tahun tidak bangun akan kita cabut izin pertambangannya," kata Luhut, di Jakarta, Selasa (4/10).

Kemungkinan PP ini selesai pekan depan. Dengan revisi PP 1/2014 ini, perusahaan tambang dalam negeri tetap bisa mengekspor konsentrat pasca 11 Januari 2017, meskipun Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) belum selesai direvisi. "Kalau pun revisi UU Minerba terlambat, dengan PP ini kita tetap bisa jalan," cetus Luhut.

Dia menjelaskan, perusahaan-perusahaan yang belum selesai membangun smelter bisa tetap mengekspor konsentrat dengan membayar bea keluar (BK) seperti sekarang. BK yang baru akan disusun bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Prinsipnya sama, besar BK tergantung perkembangan smelter yang dibangun, semakin baik progres smelter maka semakin rendah BK yang harus dibayar. Hanya saja, relaksasi kali ini lebih luas, akan lebih banyak komoditas mineral yang bisa diekspor.

"Perusahaan-perusahaan yang sedang membangun smelter, itu kita berikan peluang relaksasi secara bertingkat sesuai progres pembangunan smelternya, dan diawasi. Dia harus membayar bea keluar yang akan kita terapkan bertingkat sesuai progres pembangunan smelter. Angkanya nanti kita susun bersama Kementerian Keuangan," dia menuturkan.

Tak hanya konsentrat saja, Luhut bahkan membuka kemungkinan pembukaan keran ekspor beberapa jenis mineral mentah, misalnya biji nikel dengan kadar rendah. "Nikel yang kandungannya 1,8% ke bawah di dalam negeri tidak bisa diproses, mungkin kita pertimbangkan untuk diekspor," pungkasnya.

Menanggapi "ancaman" Luhut soal pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi perusahaan yang tidak merampungkan pembangunan smelter pada 2021, Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan pembangunan smelter. "Kami akan bekerjasama dengan pemerintah untuk mendapatkan jaminan hukum dan fiskal dalam menjalankan operasi kami sampai di 2041," kata Riza kepada gresnews.com, Rabu (5/10).

Hanya saja, Freeport meminta jaminan hukum serta fiskal selama menjalan operasi smelter tersebut. Freeport memang meminta syarat kepada pemerintah untuk memberikan perpanjangan izin operasi hingga tahun 2041 sebagai syarat membangun smelter. Alasannya, pembangunan smelter memerlukan investasi yang sangat besar. Freeport enggan membangunnya jika izin operasi mereka yang habis di tahun 2021 tak diperpanjang.

Terkait hal itu, Luhut sendiri tak mau menyalahkan Freeport. Luhut menyatakan, Freeport membutuhkan kepastian perpanjangan kontrak. "Saya hanya melihat bahwa Freeport ini hanya tetap ingin mendapatkan perpanjangan kontrak mereka baru membangun smelter," kata Luhut beberapa waktu lalu.

Pemerintah sendiri tak bisa segera memutuskan perpanjangan kontrak untuk Freeport. Berdasarkan aturan yang ada, pemerintah baru dapat memberikan perpanjangan 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir alias di tahun 2019. Karena itulah, kata Luhut, pemerintah sedang mencari solusi agar pemerintah dapat memberi kepastian pada Freeport. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan merevisi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Melalui revisi UU Minerba, Luhut ingin membuka ruang perpanjangan kontrak untuk Freeport sebelum tahun 2019. "Kita sedang cari solusi paling enak bagaimana ini bisa selesai. Salah satu solusi yang paling bagus adalah revisi UU Minerba," cetusnya.

PEMERINTAH BERPIHAK KE ASING - Pada kesempatan terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohammad Reza Hafiz mengatakan, kebijakan perpanjangan relaksasi ini merupakan wujud keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha tambang asing. "Pemerintah menunjukkan keberpihakan pada asing, khususnya Freeport ketimbang pengusaha domestik dan rakyat secara keseluruhan," kata Reza kepada gresnews.com, Rabu (5/10).

Reza menyebutkan, jangka waktu relaksasi selama lima tahun itu cukup untuk mengeruk habis sumber daya mineral Indonesia. Dia mengungkapkan, pemerintah seharusnya fokus untuk melaksanakan program hilirisasi dan sebaiknya memberikan insentif kepada perusahaan tambang untuk mempercepat pembangunan smelter. Selain itu pemerintah bisa men-support infrastruktur.

"Seperti misalnya, menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik yang selama ini menjadi hambatan para pengusaha tersebut bangun smelter," jelasnya.

Selain itu, dia menyampaikan, jika pun dalam kebijakan relaksasi ini ada skema bea keluar progresif yang nanti bisa menjadi penerimaan negara, tetapi harus dilihat, apakah penerimaan bea keluar tersebut sebanding dengan hasil ekspor dan sisa ketersediaan sumber daya mineral Indonesia. Menurutnya, tetap saja lebih baik jika pemerintah konsisten melakukan hilirisasi.

Dengan hilirisasi, barang nilai mineral olahan yang diekspor akan bertambah, berdaya saing dan mempunyai multiplier effect lebih besar ketimbang hanya menerima pemasukan dari bea keluar. "Jangan skema bea keluar progresif ini hanya jadi cara jangka pendek untuk menunjang target penerimaan negara yang semakin tinggi, dan ekspor konsentrat direlaksasi, sudah pasti investor hilir dan smelter menjerit," paparnya.

Terkait hal ini, Kementerian ESDM akan meminta bantuan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk menyusun besaran tarif optimal bagi penerimaan negara, sehingga peraturan bea keluar yang lama tidak akan berlaku lagi. Peraturan bea keluar sebelumnya tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK/0.11/2014 tentang Penetepaan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan tarif Bea keluar .

Dalam beleid itu diatur, bila kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter mencapai sebesar 0-7,5 persen, dikenakan bea keluar sebesar 7,5 persen. Seentara, jika realisasi progres smelter mencapai antara 7,5-30 persen, maka bea keluar yang dikenakan mencapai lima persen. Jika progres pembangunan smelter lebih dari 30 persen, maka bea keluar yang dikenakan 0 persen.

Relaksasi ekspor mineral ini tidak berlaku untuk perusahaan tambang skala kecil. Namun untuk perusahaan tambang skala kecil dapat menyalurkan hasil produksinya ke smelter-smelter yang dikerjakan oleh perusahaan besar.

TAK ADIL - Terhadap kebijakan perpanjangan masa relaksasi konsentrat ini, Direktur Utama PT Vale Indonesia Tbk Nico Kanter meminta pemerintah benar-benar mempertimbangkan pembukaan ekspor mineral mentah. Alasannya, situasi di tiap komoditas mineral berbeda. Nico mengatakan, ada komoditas yang masih sedikit smelternya, misalnya tembaga.

Tetapi ada juga komoditas yang sudah banyak smelternya, misalnya nikel. Untuk komoditas mineral yang sudah siap industri pengolahannya, tentu kebijakannya harus dibedakan dengan komoditas yang belum siap. "Kita mengharapkan pemerintah membuat kebijakan yang berkeadilan. Mungkin diberlakukan tidak secara keseluruhan, harus dilihat komoditasnya, comparative advantage-nya. Kami mengharapkan kebijakan itu tidak diberlakukan menyeluruh, dilihat mineralnya," kata Nico usai rapat di DPR, Jakarta, Selasa (4/10).

Vale sendiri adalah salah satu perusahaan tambang yang sudah melakukan hilirisasi di dalam negeri. Perusahaan tambang asal Brasil ini sudah memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel dengan kapasitas 80.000 metrik ton per tahun. Smelter Vale mampu mengolah nikel dengan kadar di bawah 1,8 persen.

"Kalau kita mengolah nikel dengan kadar 1,5 sampai 1,6 persen. Kalau di kami, 1,8 persen masih bisa kita proses. Kapasitas kita sekarang 80.000 metrik ton, mau kita tingkatkan lagi sampai 90.000 metrik ton per tahun," ucapnya.

Nico juga memberi pertimbangan bahwa pembukaan ekspor biji nikel akan mempengaruhi harga di pasar global. Di tengah ambruknya harga komoditas mineral saat ini, sebaiknya pasokan mineral mentah dikendalikan supaya harga tak semakin jatuh.

Toh pendapatan yang diperoleh dari ekspor biji nikel tak seberapa. Jadi pembukaan ekspor tambang mentah, khususnya biji nikel, harus dipertimbangkan dengan baik. "Nilai yang didapat hanya 10-15 persen kalau nikel ore. Ini perlu disikapi dengan bijak. Kita mesti berhati-hati, apakah itu treatment yang baik," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: