JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah perusahaan pertambangan yang belum memiliki pabrik pengolahan bahan tambang atau smelter untuk meminta perpanjangan izin ekspor konsentrat lewat perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Relaksasi Ekspor Bahan Tambang Mentah, dinilai rawan korupsi. Seperti diketahui beberapa perusahaan tambang telah mengajukan usul memperpanjang pemberlakuan relaksasi ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Terkait hal itu, Direktur Eksekutif IDE MIGAS Watch Widodo Saktianto mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki program untuk membersihkan para mafia pertambangan di kantor kementerian ESDM, harus benar-benar mengawasi agar tidak terjadi praktik suap dan gratifikasi dalam persoalan izin perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat ini. Kata Widodo, masalah ini menjadi rawan permainan karena berdasarkan data Indonesia Development Mining and Gas Watch, perusahaan yang diberi izin perpanjangan ekspor konsentrat baru dua yaitu PT Freeport Indonesia dan Vale Mining Indonesia.

"Dimana saat ini Indonesia banyak sekali diminta asing untuk mengekspor hasil tambangnya dengan menawarkan nilai tambah yang cukup menggiurkan," kata Widodo kepada gresnews.com, Kamis (15/12).

Dia menjelaskan, tawaran-tawaran tersebut, tidak terlepas dari agenda politik yang sudah tersusun rapi, jika kondisi tersebut tidak disikapi secara bijak oleh Indonesia, maka kondisi penjajahan di zaman Belanda akan dirasakan lagi saat ini. "Kalau Indonesia kerjaannya gali tambang lalu hasilnya diekspor, maka sampai kapan pun Indonesia tidak akan maju. Negara yang bergantung sama sumber daya alam, negara itu akan acak-acakan," tegasnya.

Karena itu, kata Widodo, IDE MIGAS Watch mendesak agar Presiden Joko Widodo jangan meniru langkah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melahirkan UU Minerba tahun 2009 yang melarang ekspor mineral mentah hasil tambang sejak 4 tahun, namun tahun 2014 di akhir pemerintahan, malah mengeluarkan PP relaksasi ekspor konsentrat. "Jadi jelas-jelas ini pelanggaran konstitusional dan banyak praktik suap di Kementrian ESDM saat itu untuk PP tersebut," ucapnya.

IDE MIGAS Watch memohon agar Jokowi tidak mengeluarkan peraturan relaksasi ekspor yang melanggar UU Minerba, serta untuk memberikan rasa keadilan bagi perusahaan dan pengusaha mineral tambang yang sudah membangun smelter dengan biaya yang cukup mahal. "Karena relaksasi ekspor mineral akan merugikan mereka yang sudah membangun smelter serta mengancam pasokan ore ke smelter mereka," imbuh Widodo.

Hal senada dikatakan anggota Komisi VII DPR RI Idris Luthfi. Dia mengatakan, tidak setuju jika izin relaksasi ekspor mineral mentah diperpanjang setelah Maret 2017. 

"Jadi tidak bisa lagi diperpanjang setelah Maret 2017. Kalau mau ekspor undang-undang (UU Minerba)-nya harus direvisi dulu. Saya khawatir, kalau memakai PP, akan rawan digugat di MA. Karena PP tersebut tidak punya dasar UU-nya," kata Idris kepada gresnews.com.

Sebelumnya, terkait masalah Freeport, Komisi VII DPR RI juga mendesak Kementerian ESDM untuk tidak memperpanjang izin ekspor konsentrat itu. "Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk tidak memberikan rekomendasi izin ekspor kepada PT Freeport Indonesia setelah tanggal 12 Januari 2017," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Syaikhul Islam, di ruang rapat Komisi VII DPR, Jakarta, Rabu (7/12).

"Rekomendasi itu terjadi apabila PT Freeport Indonesia tidak melaksanakan komitmen pembangunan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sesuai pasal 170 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara," lanjut Syaikhul.

Sementara itu, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot usai rapat menyebut saat ini aturan tersebut masih dievaluasi dan belum diputuskan. Ia masih belum memberikan bocoran apakah ekspor tersebut diperpanjang atau dihentikan. "Semua yang itu evaluasi ya, tapi akhirnya seperti apa ya nggak tahu. Jadi sekarang masih diskusi," ujar Bambang.

SIKAP KPK - Menanggapi soal adanya dugaan suap dalam upaya lobi untuk memperpanjang izin perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, sejauh ini belum ada laporan yang masuk kepada KPK terkait soal itu. " Nanti kita akan cek apakah sudah ada laporanya belum atau sudah," kata Febri kepada gresnews.com, Kamis (15/12).

Namun, saat ditanyakan soal keterlibatan KPK dalam mengawasi soal perpanjangan izin relaksasi ekspor konsetrat, Febri mengaku, KPK akan selalu mengawasi terkait kebijakan soal energi dan nota kesepakatan dan izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal itu terus dilakukan agar tidak ada celah bagi pihak yang melakukan korupsi atau suap.

"KPK akan bertindak tegas bagi pelaku yang ingin melakukan penyuapan dan KPK juga meminta agar izin perpanjangan relaksasi ekspor mineral dilakukan secara transparan," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, jika Presiden Jokowi menginginkan peraturan relaksasi ekspor konsentrat yang baru, maka harus ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang jelas dan tidak merugikan semua pihak dan bebas dari kepentingan. Perppu sangat penting sebagai dasar hukum jik revisi UU Minerba tidak dimungkinkan dilakukan segera.

Marwan menilai, jangan sampai peraturan relaksasi ekspor yang baru, melanggar UU Minerba, dan lebih mementingkan pihak-pihak tertentu serta agenda politik pemerintah daripada kepentingan masyarakat. "Kita minta perpanjangan izin ekspor relaksasi mineral harus transparan, jangan sampai ada pihak yang mengambil keuntungan atas tawar-menawar perpanjangan izin ekspor mineral tersebut," kata Marwan kepada gresnews.com, Kamis (15/12).

Dia meminta agar KPK mengawasi secara menyeluruh terkait proses tawar-menawar perpanjangan izin relaksasi ekspor konsentrat agar tidak dimasuki kepentingan dari luar yang sengaja ingin mengambil keuntungan dan berpotensi merugikan negara. "Untuk menghindari terjadinya praktik suap dan korupsi dalam lembaga Kementerian ESDM terkait perpanjangan izin ekspor mineral, maka KPK perlu dilibatkan untuk mengawasinya," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: