JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tanggal 12 Januari 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau dikenal juga dengan UU Minerba. Salah satu hal penting yang termuat di peraturan ini adalah terkait peningkatan nilai tambah dari produk minerba.

Seperti tercantum di Pasal 102 dan Pasal 103 UU ini, pengusaha tambang mineral dan batubara diwajibkan untuk meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Hal ini juga dikenal dengan istilah hilirisasi. Tujuannnya, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk tambang, tersedianya bahan baku industri dalam negeri, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan penerimaan negara.

Konsekuensinya, pengusaha harus mengolah dan memurnikan hasil tambang melalui pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang alias smelter, baik membangun smelter sendiri maupun kerjasama dengan perusahaan lain. Di UU ini disebutkan, perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) wajib melakukan pemurnian di dalam negeri, selambat-lambatnya lima tahun setelah UU ini disahkan. Menilik beleid ini, seharusnya kewajiban itu sudah harus dilaksanakan pada tahun 2014.

Sayangnya sampai saat ini kewajiban pembangunan smelter bagi pemegang KK pertambangan itu ternyata tak berjalan sesuai harapan alias tersendat-sendat. PT Freeport Indonesia, sebagai salah satu pemegang KK misalnya, smelternya sampai saat ini belum juga terbangun.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) atau Indonesian Mining Association (IMA) Syahrir AB mengatakan, salah satu hal yang menghambat pembangunan smelter adalah inkonsistensi peraturan perundangan terkait smelter. Dia menjelaskan, jejak inkonsistensi itu antara lain terlihat di Pasal 103 dan Pasal 170 UU Minerba.

Pasal 103 menyebut: "Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri."

Sedang  Pasal 170 menyebut: "Pemegang KK yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 Ayat (1), selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU ini diundangkan."

"Pasal 103 tadi mengatakan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian. Di sini hanya menyebut pemurnian," katanya dalam satu diskusi di Warunk Komando Jakarta Selatan, Senin (31/8).

Syahrir mengatakan, pemerintah telat menerbitkan peraturan turunan dari UU ini. Di Tahun 2010, terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2010. Lalu, di tahun 2012 terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 7/2012.

Terakhir, terbit Instruksi Presiden (Inpres) No. 3/2013 tentang Percepatan Hilirisasi Mineral. "Seharusnya, dua peraturan yang disebut terakhir itu keluar di 2010 juga. Sehingga ada waktu yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan, dari 2011 sampai 2014," kata Syahrir.

PENGUSAHA KESULITAN - Syahrir menegaskan, akibat kurangnya waktu untuk dialog, para pengusaha menghadapi banyak hambatan di lapangan. Masalah itu kemudian dibahas, di tahun 2014 antara pemerintah, pengusaha dan ahli tambang. Saat itu mereka membahas Pasal 1 butir 20 UU Minerba, yaitu apa yang dimaksud dengan pengolahan dan pemurnian. Apa bahasa sederhana untuk pengelolahan.

"Di situ disepakati, pengolahan dilakukan dengan proses memecahkan dan menekan, mengayak, mencuci agar kotorannya hilang dan mengeringkannya," ujar Syahrir.

Hasil proses pengolahan dinamakan konsentrat. Konsentrat merupakan produk konsentrasi yang kaya akan mineral berharga sebagai hasil pemisahan dari pengolahan mineral bijih, seperti disebutkan dalam Permen ESDM No. 1/2014.

Syahrir mengatakan, karena di Indonesia ada dua kelompok pelaku tambang sejak lahirnya UU Minerba, yaitu pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), maka diadakan pertemuan lanjutan. "Semua diajak bicara. Membahas berapa kadar minimum konsentrat hasil pengolahan. Saat itu diambil contoh tembaga," ujarnya.

Dengan peralatan pengolahan yang canggih, Freeport dan Newmont dapat menghasilkan konsentrat dengan kadar minimum 27 persen. Sedangkan pemegang IUP hanya bisa mencapai angka 8 persen, dan jika ditingkatkan akan ketemu angka maksimal 15 persen.

Hal itulah, lanjut Syahrir, yang akhirnya tercantum dalam Permen ESDM No.1/ 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Di Permen ini tertulis, kadar minimum pengolahan tembaga adalah 15 persen. Ini adalah bentuk akomodasi atas kemampuan pemegang IUP.

Saat itu, pengusaha juga berharap, munculnya kadar minimum ini bisa pararel dengan kebijakan terkait smelter. Harapannya, di tahun 2014-2015, mereka bisa ekspor konsentrat, namun dengan keharusan mulai bangun smelter, hingga smelter terbangun di tahun 2017.

Namun, harapan itu ternyata tak terpenuhi. Di Pasal 12, Permen ESDM No. 1/2014 memang disebut pemegang KK dan IUP bisa mengeskpor konsentrat yang telah memenuhi batas minimum pengolahan. Namun ternyata tak semua mineral bisa diekspor dalam bentuk konsentrat. Yang diperbolehkan hanya tembaga, bijih besi, pasir besi, mangan, produk samping timah, timbal dan seng. Selainnya, harus dimurnikan dulu: yaitu nikel, bauksit, timah, emas, perak dan kromium.

Lalu, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 6/PMK.011/2014 pada Januari 2014, yang menyatakan, ekspor konsentrat dikenakan bea keluar sebesar 20-25 persen. Beleid baru ini dinilai merugikan pengusaha. Pasalnya, jika sebelumnya pengusaha bisa mendapat profit margin 27 persen, maka dengan PMK ini profit margin anjlok di angka 7 persen.

Hasilnya, menurut Syahrir, tidak ada satupun perusahaan yang mampu melakukan ekspor di semester 1 tahun 2014,. Hal itu juga diikuti oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Ini bertolak belakang tujuan adanya pewajiban pengolahan dan pemurnian seperti tercantum dalam penjelasan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba. Di situ disebutkan salah satu tujuan mewajibkan pembangunan smelter adalah penyerapan tenaga kerja.

Pengusaha tambang melalui Indonesia Mining Association (IMA) akhirnya kembali menghadap pemerintah dan bertemu dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. IMA menyampaikan, akibat kebijakan bea keluar 20 persen, tidak ada satupun perusahaan yang bisa ekspor. Setelah itu terbitlah PMK No. 153/2014, pada 25 Juli 2014. Intinya, perusahaan yang kemajuan pembangunan smelternya kurang dari 7,5 persen maka harus bayar bea keluar 7,5 persen.

Perusahaan yang progress pembangunan smelter mencapai 7,5- 30 persen, bea keluarnya 5 persen. Bagi yang sudah di atas 30 maka dibebaskan bea keluarnya. "Ini baru kebijakan yang dapat dilaksanakan. Jangan lupa, dalam 6 bulan Indonesia ubah bea keluar 2 kali. Ini bagi investor yang long term investasinya dia akan menyulitkan. Hal-hal inilah yang menurut kami akan menghambat," kata Syahrir.

Selain bea keluar, pengaturan mengenai nilai tambah juga terus berubah. Terkait nilai tambah ini, menurut Syahrir, ada beberapa kebijakan yang telah terbit: yaitu Permen ESDM No. 7/2012, Permen ESDM No. 11/2012, Permen ESDM No. 20/2013 dan Permen ESDM No. 1/2014. "Bagi kami di industri yang begini-beginilah yang menyulitkan. Kalau pengaturannya dari waktu ke waktu selalu berubah, itu sangat menyulitkan dalam mendapatkan  kapital untuk bangun smelter," kata Syahrir.

SMELTER HARUS DIPERCEPAT - Ahli Pertambangan Budi Santoso mengatakan, pembangunan smelter di Indonesia harus dipercepat. Apapun harus dilakukan. Hal ini penting karena di tahun 2015-2019 ini Presiden Joko Widodo telah merencanakan untuk melakukan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur secara besar-besaran. Anggarannya disebut-sebut mencapai Rp4.800 triliun.

Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dikutip Budi menyebut, ada banyak infrastruktur yang ditarget terbangun di tahun 2015-2019. Antara lain pembangunan: 30 waduk baru, 33 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi 1 juta hektare, rehabilitasi 3 juta hektare jaringan irigasi, 2 kilang minyak baru, perluasan kilang minyak di 2 lokasi.

Juga ada rencana pembangunan Floating Storage & Regasification Unit (FSRU) di 5 lokasi, jaringan gas kota sebanyak 90 ribu sambungan rumah, pembangkit listrik 35 ribu megawatt, rusunawa untuk 515 ribu rumah tangga. Selain itu ada rencana pembangunan sarana air minum sebanyak 13,4 juta rumah tangga di perkotaan dan 5,4 juta rumah tangga di desa, jalan baru sepanjang 2.650 km, jalan tol 1.000 km, 15 bandara baru, 24 pelabuhan baru, jalur kereta api sepanjang 3.258 km dan lainnya.

Menurut Budi pembangunan infrastruktur ini adalah kesempatan besar bagi industri tambang pengolahan, seperti besi, tembaga, aluminium, bahan konstruksi, batubara dan lainnya. "Ini pasar yang sangat besar. Sederhana saja, untuk besi saja misalnya, semua pembangunan infrastruktur tersebut butuh besi, seperti pembangunan pembangkit, jalan, kereta api, waduk, jaringan sarana air, pelabuhan, kilang minyak. Semua perlu bahan dari tambang. Jalan tol, kereta api, itu berapa juta ton besi yang diperlukan. Inilah yang sebenarnya harus dilihat dalam konteks hilirisasi," kata Budi di Jakarta, Senin (31/8).

Karena itulah, menurut Direktur Eksekutif Centre For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) itu, pembangunan smelter harus dipercepat. Jika tidak, momen akan hilang. Jika smelter baru terbangun saat pembangunan besar-besaran ini sudah selesai, maka kita akan kesulitan untuk mendapatkan pasar.

"Hasil produksi tak terserap pasar dan harganya pasti anjlok. Ujungnya, hal itu akan mempengaruhi keekonomian produksi smelter. Karena hilirisasi itu drivennya pasar. Kalau pasarnya tidak ada, mati. Barang yang akan kita buat akan jatuh harga," kata Budi.

Terkait hal ini, Indonesia bisa mencontoh China dan India. Saat pemerintah China mengumumkan akan bangun jaringan kereta api ribuan kilometer, masyarakatnya langsung heboh. Banyak pedagang dari China berburu bijih besi ke Indonesia. Kasarnya, tambang-tambang yang tidak layakpun saat itu dianggap layak untuk memenuhi kebutuhan besi.

Begitu juga, saat India akan bangun pembangkit listrik 100 ribu MW, banyak pedagang India yang ke Indonesia mencari batubara. Terjadi kehebohan, karena ada pasar. "Sampai saya pernah didatangi pedangang roti cari batubara di sini," kata Budi.

Anehnya, saat Indonesia akan bangun infrastruktur senilai Rp4.800 triliun kehebohan serupa tak terjadi. Budi mengaku bingung, apa kita tidak bisa lihat kesempatan, atau lambat merespons. Atau malah terkungkung dalam kerumitan birokrasi.

Momentum ini, kata dia, seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh industri tambang dan pemerintah, untuk mendorong pertumbuhan permintaan pasar akibat melambatnya ekonomi dunia. Jangan sampai kebutuhan itu barang impor. Apalagi bahan mentahnya dari Indonesia.

"Kita akan sedih kalau nanti proyek Rp4.800 triliun itu bahannya diimpor dari Cina, Korea dan ternyata bahan mentahnya dari kita," katanya.

EKSPLORASI ABAL-ABAL - Mengenai smelter yang selama ini pembangunannya tersendat, Budi mengatakan, selain masalah inkonsistensi peraturan ada juga masalah teknikal. Menurutnya, masalah ini berakar dari kacaunya penyusunan rencana kegiatan usaha tambang oleh pengusaha. Mereka banyak yang ngawur, asal ngarang. Karenanya, tak heran jika saat ini ada banyak pengusaha teriak butuh listrik untuk smelter, namun begitu ditanya berapa listrik yang dibutuhkan, berapa kapasitas smelternya, mereka tidak bisa jawab.

Budi menjelaskan, smelter hanya dapat dibangun jika ada data yang pasti mengenai sumber daya (resource) dan cadangan (reserves) di lokasi tambang. Tentu harus ada data detail mengenai jumlah sumber daya dan cadangan, jenis mineral serta kadarnya. Penentuan sumber daya dan cadangan ini dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan eksplorasi. Tahapan yang risikonya paling tinggi dalam kegiatan usaha tambang. Penghitungan ini akan digunakan untuk menentukan berapa kapasitas smelter yang akan dibangun.

Smelter yang investasinya bisa mencapai ratusan juta dolar tidak mungkin dibangun berdasarkan data abal-abal. Pasalnya, investasi smelter harus mendapat jaminan pasokan bahan baku, minimal sampai umur keekonomian smelter itu tercapai. Selain itu, tentu akan ada pembangunan infrastruktur dan fasilitas lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kompleksitas smelter.

Karenanya, penghitungan sumber daya dan cadangan harus disusun dengan benar. Di Indonesia estimasi penghitungan ini sudah ada standarnya, yaitu harus mengacu pada standar Komite Cadangan Mineral Indonesia, yaitu KCMI:2011 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 5051:2011 untuk batubara, dan SNI 4726:2011 untuk mineral. "Karena kapasitas smelter yang ratusan juta dolar capex (capital expenditure) itu tidak mungkin dibangun saja lalu tahu-tahu 5 tahun cadangannya habis," katanya.

Resource adalah sumber daya yang ada dalam tanah. Untuk menghitungnya perlu kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi untuk menghitung berapa jumlah, kadar dan jenis bahan tambang. Sayangnya, saat ini banyak survei yang diajukan ke pemerintah, yang tidak memiliki laporan estimasi sumber daya berdasarkan standar kajian KCMI atau SNI.

Padahal jika data sumber daya tidak ada maka tidak mungkin bisa dibuat perhitungan cadangan. Pasalnya, tak semua jumlah sumber daya bisa menjadi cadangan. Cadangan adalah jumlah bahan tambang yang bisa diambil dengan memasukkan paremeter kelayakan lingkungan, ekonomi dan teknik. "Sumber daya bisa 100 juta ton, tapi setelah dimasukkan paramater lingkungan, ekonomi, parameter teknik, cadangan bisa cuma 50 juta ton," kata Budi.

TAHAPAN YANG BENAR - Menurut Budi, untuk mendapatkan data sumber daya dan cadangan yang akurat, maka tahapan kegiatan usaha tambang yang benar harus dilaksanakan. Hal ini pada akhirnya akan menentukan, apakah smelter akan terbangun atau tidak.

Berikut tahapan yang benar dalam kegiatan usaha tambang: Pertama, tahap penyelidikan umum. Hal ini untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineral. Kedua, dilakukan eksplorasi yang detail. Antara lain dilakukan reconnaisance exploration, survei umum untuk melihat lokasi, menentukan luasnya.

Selanjutnya dilakukan drilling test, dengan cara pengeboran tanah untuk mengetahui potensi. Pengeboran ini tidak hanya dilakukan 1-2 lokasi, tapi bisa mencapai puluhan bahkan bisa sampai 1.000 atau 2.000 lubang. "Untuk bauksit dan nikel, pengeboran bahkan bisa sampai angka ribuan," katanya.

Selanjutnya, setelah data-data dari penyelidikan dan ekplorasi ini didapat, maka baru dapat lanjut ke tahap ketiga, yaitu penghitungan sumber daya. Keempat, setelah sumber daya dihitung baru dapat disusun dokumen Pre Feasibily Study (Pre FS) atau Pra Studi Kelayakan.

Akhirnya diketahuilah kelayakan suatu proyek. Dari kegiatan penyelidikan umum sampai pembuatan dokumen Pre FS ini butuh waktu antara 1-4 tahun. Tergantung kompleksitas lokasi. "Ini perlu waktu. Setiap tahap ada biaya dan risikonya," kata Budi.

Setelah diketahui kelayakannya, kita baru bisa menghitung cadangan, yang merupakan tahapan kelima. Yaitu menghitung bahan tambang yang bisa diambil setelah memasukkan parameter kelayakan lingkungan, ekonomi dan teknik. Tahap keenam, adalah penyusunan detail studi kelayakan atau FS.

Di tahap ini ditentukan juga teknologi smelter yang akan dipakai. "Tahap penentuan cadangan dan detil FS ini butuh waktu 1-2 tahun," katanya.

Setelah FS jadi, maka baru bisa masuk ke tahap ketujuh, yaitu pendanaan. Menurut Budi, tidak gampang cari dana. Perlu waktu 1-2 tahun. "Newmont saja yang katanya perusahaan besar cari dana itu bisa sampai beberapa tahun. Karena tipikal pembangunan, dana yang diberikan bahkan bisa sampai ratusan juta dolar, dan miliaran dolar," katanya.

Selanjutnya, jika dana sudah didapat, konstruksi atau pembangunan baru bisa dilaksanakan. Ini adalah tahap kedelapan, sebelum akhirnya perusahaan siap untuk melakukan produksi. Tahap konstruksi ini bisa menghabiskan waktu 2-3 tahun. Jika ditotal, maka untuk bangun smelter dari awal penyelidikan sampai siap produksi itu butuh waktu antara 5 sampai 11 tahun.

Karena itu, Budi sejak awal selalu melontarkan kritik saat undang-undang mengharuskan semua perusahaan tambang pemegang IUP untuk bangun smelter dalam waktu 5 tahun. "Itu tidak realistis. Apalagi kompleksitas di lokasi tambang berbeda. Ada yang infrastrukturnya lengkap, ada yang belum. Sehingga harus dilihat kasus per kasus," jelasnya.

Masalahnya, perusahaan juga banyak yang nakal. Mereka misalnya, dalam eksplorasi, hanya melakukan pengeboran 1-2 sumur lalu mengatakan punya sumber daya dan cadangan sejumlah sekian. Namun, saat ditanya detilnya mereka tidak punya data.

Padahal, dari jumlah cadangan yang terukurlah sebuah smelter baru bisa didesain keekonomiannya, kapasitas produksi dalam setahun, energinya yang dibutuhkan, infrastruktur apa yang dibutuhkan dan lainnya. Desain smelter berdasarkan laporan abal-abal tadi pada akhirnya membuat proyek tidak layak didanai, atau tidak bankable. Itulah yang menjadi akar kenapa smelter susah terbangun. "Kalau bank tidak mau danai tidak mungkin dia bisa wujudkan smelter," katanya.

BANTUAN YANG SERIUS - Menurut Budi, untuk mempercepat pembangunan smelter, pemerintah harus serius mengawasi kemajuan pembangunannya. Caranya, pemerintah bisa menggunakan standar estimasi KCMI dan SNI dalam mengawasi keseriusan pembangunan smelter.

Karena kompleksnya pembangunan smelter, lanjut Budi, maka sudah seharusnya pemerintah memberi bantuan pada perusahaan yang sudah melaksanakan kegiatan konstruksi smelter. Mereka harus dibantu untuk menghadapi kesulitan. Antara lain dengan memberi kemudahan dalam perizinan. Saat itu, untuk membangun satu smelter saja butuh 50-60 izin.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengurangi beban-beban fiskal. Misalnya, mengurangi iuran ekplorasi dan royalti bagi perusahaan batubara yang menyuplai pembangkit dalam negeri, atau yang menyuplai pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Jika kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur bisa dipenuhi tambang dalam negeri, maka keuntungan kita akan berlipat. Bisa menghemat devisa, nilai tambah akan terwujud, lapangan kerja tercipta, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya.

"Untuk itu pemerintah harus bisa, agak mainkanlah fiskal itu. Beban-beban fiskal dikurangi. Kalau bisa, tambang-tambang yang nanti suplai untuk infrastruktur royaltinya nol. Karena royalti 2,5 persen itu kecil kalau dibanding pemerintah harus beli barang dari luar negeri. Kalau bisa izin-izin gratis. Kayak iuran eksplorasi, sudahlah gratisin saja. Karena pemerintah berkepentingan untuk data-data eksplorasi (menjadi akurat)," katanya.

Budi mengatakan, jangan sampai mereka yang serius membangun smelter dari nol ini kesulitan uang saat mulai berproduksi dan terpaksa dijual. Mereka tidak dapat untung. "Kasus seperti ini banyak terjadi. Karena di satu sisi kita dorong orang untuk investasi ke pertambangan, tapi di sisi lain ketika mereka sudah lakukan secara riil, pemerintah nggak mau cawe-cawe (turun tangan)," katanya.

"Pemerintah harus punya sistem," ujar Budi. Pengusaha tidak hanya ditakuti-takuti, kalau tidak bangun smelter tidak bisa ekspor dan sebagainya. Pemerintah seharusnya juga membantu mereka dengan memberikan insentif misalnya. Insentif dapat diberikan kepada perusahaan yang punya laporan kajian KCMI atau SNI. Perusahaan yang tidak punya laporan itu dicoret saja karena mereka pasti tidak serius dan termasuk spekulan.

Pemerintah perlu juga membentuk tim reguler untuk memantau perusahaan yang sunguh-sungguh dalam membangun smelter. Terutama tambang yang melakukan hilirisasi terkait pembangunan infrastruktur. Tim ini misalnya, bisa dalam koordinasi Menteri Koordinator Kemaritiman.

"Kalau bisa, smelter sampai detik ini harus terwujud, apapun harus diwujudkan. Pemerintah harus serius menangani. Izin-izin potong semua, harus dipercepat. Karena smelter ini 3 tahun lagi (harus jadi) misalnya. Besi-besi itu akan disalurkan untuk insfrastruktur," katanya.

Selain itu, pemerintah juga bisa "mengarahkan" perusahaan agar membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk keperluan smelter, sebagai kewajiban peningkatan nilai tambah. Jika pembangunan smelter bisa dipercepat, maka Indonesia berkesempatan untuk memakai hasil produksinya untuk  infrastruktur yang sedang kita bangun.

"Kesempatan kita sangat besar. Dengan pembangunan infrakstruktur yang katanya sampai Rp4.800 triliun, kalau bisa 10 persen saja (dipenuhi dari) dari hilirisasi tambang, itu sangat hebat untuk makro ekonomi kita," katanya.

KEWAJIBAN PEMEGANG KONTRAK KARYA - Mantan Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  Simon F. Sembiring mengatakan, dia terlibat dalam penyusunan UU Minerba ini. Menurutnya, target UU ini memang agar ada pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara.

Penyebabnya, penjualan mineral mentah ke luar negeri sebelumnya tak banyak memberi manfaat bagi Indonesia, hanya menguntungkan negara importir. Karena itu dia meminta untuk jangan menyalahkan UU tersebut. "PP-nya yang amburadul," katanya.

Mengenai kontadiksi yang disebut Syahrir, yaitu Pasal 103 dan Pasal 170, dia menjelaskan, yang diwajibkan melakukan pemurnian dalam waktu 5 tahun setelah UU disahkan adalah pemegang KK, bukan pemegang IUP. Pemegang KK yang sudah mendapatkan izin pertambangan sebelum UU Minerba disahkan adalah perusahaan besar dan sudah untung banyak.

Rata-rata KK sudah beroperasi antara 15-30 tahun. "Khusus untuk KK yang sudah berproduksi, sudah untung. Apa susahnya bikin smelter dalam 5 tahun," katanya.

Mengapa hanya KK? Simon menjelaskan, itu karena selama ini KK sudah melakukan pengolahan. Hanya pemurnian yang belum. "Karena kami tahu, KK itu sudah mengolah kok. Masa di UU (ditulis) mengolah lagi, itu namanya, saya cacat hukum. Sehingga jadi hanya memurnikan," katanya.

Terkait 5 tahun itu, Simon ceritakan latar belakangnya. Saat penyusunan UU Minerba, dia dipanggil oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres mengatakan KK harus bangun smelter dalam tempo 3 tahun. Saat itu Simon mengatakan tidak mungkin. Perlu waktu untuk bangun.

Wapres bertanya lagi, butuh berapa tahun, dijawabnya 5 tahun. Simon berani menjawab 5 tahun karena tahu pemegang KK itu sudah mengolah, namun perlu waktu juga untuk membangun. Sayangnya, sampai saat ini KK masih belum bangun. Ini menyalahi UU. "Kalau saya, bawa ke arbitarase, karena salahi UU," katanya.

Simon mengatakan, smelter tidak segera terbangun karena tidak ada itikad baik dari pemerintah maupun pengusaha, terutama perusahaan-perusahaan besar. Bayangkan, sesudah 5 tahun UU disahkan, perusahaan belum juga membuat studi kelayakan lengkap atau Feasibility Study. Termasuk juga PT Freeport Indonesia. Yang dibuat hanya kajian, pre Feasibility Study. Bukan studi kelayakan apalagi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

"Bagaimana mau ada kemajuan pembangunan smelter kalau studi kelayakan lengkap tidak dibuat?" kata Simon.

Parahnya, pemerintah seperti tidak berdaya menghadapinya. Dia mengatakan, seharusnya pemerintah memaksa mereka untuk segera bangun smelter karena ini adalah amanat Undang-Undang.

"Tiba-tiba orang Freeport katakan akan bangun smelter di Gresik. Enak saja ngomongnya, tidak ada studi kelayakan. Yang ada hanya Pre-Feasibilty Study. Ini tidak ada itikad baik. Pemerintah ini lemah sekali," kata Simon.

Simon mengatakan, perusahaan tambang harusnya mau duduk bersama dengan pemerintah, dan setelah itu membuat studi kelayakan lengkap. Jika mereka merasa keberatan saat membangun smelter, mereka bisa minta insentif ke pemerintah. Pemerintah juga harus mau membantu mereka, karena yang dijalankan ini adalah keputusan politik Indonesia.

"Karenanya kalau tidak bantu, dia (Indonesia) salah," katanya.

KESALAHAN DI PERATURAN PEMERINTAH - Menurut Simon, terkait pewajiban IUP untuk bangun smelter dalam 5 tahun itu kesalahannya ada di Peraturan Pemerintah, bukan di UU Minerba. Di PP, IUP disamakan dengan KK, yang merupakan perusahaan besar dan sudah untung besar. KK sudah beroperasi lama saja masih diperbolehkan ekspor konsentrat, padahal itu melanggar UU Minerba.

Sedangkan pemegang IUP yang belum mengolah, tidak diberi ruang dan waktu untuk penyesuaian dan peralihan, mereka tidak dapat mengekspor produksinya. "Apakah ini memenuhi asas UU Nomor 4 tahun 2009, (yang salah satunya menyebut) yaitu ada keadilan?" tanyanya.

Simon menegaskan, aturan 5 tahun itu sebenarnya bukan untuk IUP, tapi untuk KK yang sudah melakukan pengolahan. Karena proses pembangunan smelter tidak mudah, harus dihitung sumber daya dan cadangannya secara benar dulu. Ada studi kelayakan dan sebagainya, yang perlu waktu.

Jadi, tidak mungkin kalau IUP dipaksa mendirikan smelter dalam waktu 5 tahun. Dia kecewa karena aturan itu juga diterapkan ke IUP. "Saat ini IUP juga diterapkan 5 tahun itu, ini omong kosong," katanya.

Dia mengatakan tidak masuk akal jika perusahaan pemegang IUP yang notabene merupakan bekas KP (Kuasa Pertambangan-red), di 2014 diwajibkan untuk bangun smelter. Jika tidak, tidak bisa ekspor konsentrat.

"Apa-apaan ini. Bangsa dewe (sendiri) diinjak-injak. Kenapa itu orang Amerika ditimang- timang. Buat apa?" katanya.

Untuk IUP ini dia mengatakan, pemerintah harusnya melakukan studi, di mana harus dibangun smelter. Misalnya mengenai nikel yang banyak ditemukan di wilayah Sulawesi. Pemerintah melakukan studi berapa perusahaan nikel di sana. Lalu ditanyakan apakah perusahaan-perusahaan itu mampu membangun smelter sendiri.

Jika tidak bisa, mereka bisa buat konsorsium. Pemerintah bisa memfasilitasi mereka dengan mengundang investor yang punya modal dan teknologi untuk membangun smelter di Sulawesi. Pemerintah bisa memberinya insentif, sehingga kebijakan pewajiban pemurnian ini dapat dijalankan.

Kalau investornya meresa rugi atau keberatan, mereka bisa minta insentif pada pemerintah agar mereka untung. "Ini kan keputusan politik, berarti (pemerintah) harus mendukung," katanya.

LARANGAN EKSPOR - Menurut Simon, pemerintah harus mendidik perusahaan tambang IUP, sehingga menjadi perusahaan yang benar. Bukan memaksanya untuk tetap membangun dalam waktu 5 tahun. Karena UU Minerba tidak mengatakan seperti itu. "PP-nya saja yang tidak sinkron," katanya.

Dia mengatakan, UU Minerba tidak melarang ekspor bijih mineral maupun tembaga bagi IUP atau IUPK. Menurutnya, Pasal 102 dan Pasal 103 seharusnya tidak dikaitkan dengan pelarangan ekspor. Seharusnya PP yang menjelaskan pasal ini menjabarkan mengenai batas waktu sebagai masa peralihan bagi IUP dan IUPK terkait kewajiban untuk lakukan pengolahan dan pemurnian.

"Diberi batas waktu yang masuk akal, sehingga mereka bisa melakukan pengolahan dan pemurnian secara bertahap dan diselaraskan dengan sektor industri manufaktur," tegas Simon.

Simon mengatakan implementasi UU Minerba ke dalam PP dan Permen tidak konsisten. Ada yang bertentangan. Misalnya terkait dengan bisa tidaknya ekspor mineral mentah oleh IUP dan IUPK. Juga termasuk detail tentang pengolahan dan pemurnian mineral.

Di PP No. 23/ 2010, Pasal 84-85 dikatakan ekspor tetap diizinkan. Di pasal ini IUP dan IUPK masih diperbolehkan mengekspor mineral dan batubara yang diproduksi. Pasal ini masih belum dicabut. Namun di PP No.1/ 2014 disebut pemegang IUP wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Tidak disebutkan juga batas waktu bagi IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian.

"Tetapi di PP No 1 Tahun 2014 dikunci lagi. Ini PP apa ini? Tidak konsisten PP-nya. Di sini oke, di sini nggak," katanya.

Terkait dengan larangan ekspor, Simon juga mengatakan bahwa di Undang-Undang Minerba tidak ada larangan itu. Hal itu selaras dengan perjanjian yang dibuat Indonesia dengan Organisasi Perdangangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), yang tidak memperkenankan pelarangan ekspor.

Karena itu di Pasal 5 UU Minerba hanya disebut pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Yaitu dilakukan dengan cara pengendalian produksi dan ekspor, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sayangnya, menurut Simon, PP nya tidak sinkron dengan UU. "PP-nya ambudradul," katanya.

Simon mengatakan, jika pemerintah ingin melaksanakan UU Minerba secara konsisten, maka ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, melaksanakan pengendalian produksi dan ekspor, seperti yang tercantum dalam PP No. 23/2010 Pasal 84 dan 85.

Kedua, dengan menerapkan sanksi administratif bagi IUP, IUPK dan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) yang tidak melaksanakan kewajibannya, termasuk untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara atau sebagian kegiatan eksplorasi atau operasi produksinya, atau dengan pencabutan izinnya.

Selain itu, khusus bagi perusahaan pemegang KK juga perlu diberi sanksi adminstratif ini. Pasalnya, mereka selama ini tidak ada itikad baik. Hal itu dapat dilihat dari fakta, sudah 5 tahun sejak UU disahkan tapi belum menyerahkan studi kelayakan dan Amdal untuk pembangunan smelter ke pemerintah.  

Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, saat ini ada 178 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berstatus sedang memproses pembangunan smelter. Dari jumlah itu 102 perusahaan masih dalam tahap uji kelayakan, 15 perusahaan di tahap penyusunan Analisis mengenai dampak Lingkungan (AMDAL), 12 perusahaan sudah melakukan awal konstruksi, 20 perusahaan di tahap pertengahan konstruksi, 4 perusahaan sedang dalam tahap konstruksi akhir, serta 25 perusahaan yang sudah melakukan komisioning dan mulai produksi. (Gresnews.com/Agus Hariyanto)

BACA JUGA: