-
Politik Becak Anies Baswedan
Jum'at, 02/02/2018 16:01 WIBBecak bakal beroperasi lagi di Jakarta. Itulah janji kampanye Gubernur Anies Baswedan yang akan diwujudkan sekarang. Tapi, apakah semudah itu. Politik becak Pemprov DKI Jakarta. Bagaimana perspektif hukumnya? Apa konsekuensi politiknya?
Adu Data Kemiskinan DPR-Pemerintah
Rabu, 03/01/2018 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki tahun baru 2018, DPR dan pemerintah adu data soal angka kemiskinan sepanjang tahun 2017 lalu. Dari sisi DPR, anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengungkapkan, sepanjang tahun 2017 kemiskinan tumbuh subur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per Maret 2017 jumlah orang miskin bertambah 6.900 jiwa.
"Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam bidang ekonomi menyambut tahun 2018," ujarnya seperti dikutip dpr.go.id, Selasa (2/1).
Heri mengatakan, dengan tambahan jumlah orang miskin itu berarti jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2017 menjadi 22,77 juta jiwa (10,64 %). Dan angka kemiskinan 2017 ternyata lebih tinggi daripada 2016 yang mencapai 27,76 juta jiwa.
"Sistem itu tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan. Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan," tandas politisi muda Partai Gerindra ini.
Di sisi lain, angka ketimpangan masih bertengger di kisaran 0,39. Ini adalah angka berstatus wapada. Dengan kata lain, sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan.
Dikemukakan Heri, postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Faktanya, hanya ada 1% orang yang menguasai 39% pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari 2% orang telah menguasai lebih dari 70% tanah di Republik ini.
"Ekonomi kita tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06% tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95% menjadi 4,93%," ujar Heri.
Ditambahkannya, daya beli masyarakat yang tertekan juga berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka 5% dan industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7%. Mengutip hasil survei Nielsen, mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini, menyebutkan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah dalam 5 tahun terakhir.
Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan pemerintah belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Apalagi, kata Heri, ambisi pemerintah membangun infrastruktur masih tercium di dalamnya jejak mengorbankan sektor lain. Bahkan, sebagian dibiayai lewat skema utang yang ujungnya berdampak pada defisit anggaran.
"Pemerintah harus sadar bahwa defisit cenderung meningkat. Penyebabnya adalah realisasi belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5%, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran 3%. Pemerintah harus prudent mengelola belanja dan utang. Apalagi kelihatannya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan," kilah Heri lagi.
Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto justru mengatakan sebaliknya. Dia mengungkapkan, pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), atau berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen).
"Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2017-September 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebesar 401,28 ribu orang, sedangkan di daerah perdesaan turun sebesar 786,95 ribu orang," kata Suhariyanto seperti dikutip setkab.go.id.
Persentase kemiskinan di perkotaan, lanjut Suhariyanto, turun dari 7,72 persen menjadi 7,26 persen. Sementara itu, di perdesaan turun dari 13,93 persen menjadi 13,47 persen. Berdasarkan persentase, menurut Kepala BPS itu, penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 21,23 persen. Sementara persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 6,18 persen.
Adapun dari sisi jumlah, Kepala BPS Suhariyanto mengemukakan, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,94 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,98 juta orang).
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan selama periode Maret 2017–September 2017 antara lain adalah, selama periode Maret 2017–September 2017, inflasi umum relatif rendah yaitu sebesar 1,45 persen. Kemudian rata-rata upah nominal buruh tani per hari pada September 2017 naik sebesar 1,50 persen dibanding Maret 2017 (dari Rp49.473,00 menjadi Rp50.213,00).
Sejalan dengan itu, upah riil buruh tani per hari pada September 2017 naik sebesar 1,05 persen dibanding Maret 2017, yaitu dari Rp37.318,00 menjadi Rp37.711,00. Upah nominal buruh bangunan per hari pada September 2017 naik sebesar 0,78 persen dibanding Maret 2017, dari Rp83.724,00 menjadi Rp84.378,00.
Akan tetapi, upah riil buruh bangunan per hari pada September 2017 turun sebesar 0,66 persen dibanding Maret 2017, dari Rp65.297,00 menjadi Rp64.867,00. Pada periode Maret 2017-September 2017, laju pertumbuhan beberapa harga komoditi pangan cukup terkendali.Berdasarkan data Susenas September 2017, beras sejahtera (rastra) telah diterima oleh rumah tangga. Rata-rata setiap bulannya, selama Mei-Agustus 2017 rastra telah disalurkan kepada sekitar 30 persen rumah tangga. (mag)
Tiga Tahun Jokowi, DPR Ingatkan Ketimpangan Ekonomi Masih Lebar
Selasa, 10/10/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengingatkan, tiga tahun berjalannya pemerintahan Joko Widodo, jurang ketimpangan antara si kaya dan miskin semakin melebar. Hal itu ditunjukkan oleh rasio indeks gini yang mencapai 0,39.
"Capaian indeks gini sudah lampu kuning, ketimpangan masih terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi belum menciptakan lapangan kerja yang luas dan ekonomi nasional masih dikuasai segelintir orang," kata Heri Gunawan, seperti dikutip dpr.go.id, Senin (9/10).
Ditambahkan Anggota F-Gerindra ini, pertumbuhan ekonomi yang ada belum mampu menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar. Setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu mencetak 40 ribu kesempatan kerja. Menurut Heri, ini angka yang amat rendah.
"Itu adalah warning bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang. Satu persen orang menguasai 39 persen pendapatan nasional. Kalau ini tidak segera dibereskan, maka bisa memicu kecemburuan sosial yang lebih dalam," tegasnya.
Ini, kata Heri, jelas menyimpangi Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak".
Di sisi lain, Indonesia adalah negara dengan populasi usia muda dan produktif yang besar. Jumlah warga negara yang berumur di bawah 40 tahun sebesar 60 persen. Mereka adalah warga negara yang punya energi besar.
"Bila pemerintah gagal menanganinya dengan baik—diberikan pendidikan yang baik dan pekerjaan yang layak—maka itu bisa jadi ancaman besar yang sewaktu-waktu bisa meledak. Energi besar tapi tak mampu ditangani dengan layak," ujar Heri.
Dalam perspektif politik, lanjut politisi dari dapil Jabar IV ini, potensi manusia Indonesia yang terdidik dan hak-hak ekonominya yang terpenuhi dengan baik, bisa menyetabilkan kondisi politik di Tanah Air. Masyarakat pun jadi lebih bahagia, tenang, dan damai."Tapi, jika pendidikannya terabaikan sebagaimana data yang ada, yaitu rata-rata hanya di bawah 8 tahun (SMP), maka sudah pasti mereka bisa terjebak pada hal-hal yang tidak produktif," ujar Heri. (mag)
HIPMI: Pemerintah Kurang Serius Atasi Ketimpangan Ekonomi
Minggu, 11/12/2016 22:05 WIBKetua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira menilai pemerintah kurang berupaya dalam mengentaskan kemiskinan yang menyebabkan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi yang terus melebar ini akan memicu keresahan sosial karena menimbulkan berbagai dampak negatif seperti meningkatnya pengangguran, angka kriminalitas, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Menurut Anggawira, berdasarkan data-data yang dihimpun HIPMI, angka indikator kesenjangan Indonesia meningkat secara tajam selama periode 2003-2014 dari 0,3 menjadi 0,41.
"Negara bisa mengalami kemunduran karena masalah tersebut. Dalam hal ini, kami menilai pemerintah kurang serius mengatasi ketimpangan ekonomi, harus ada Gerakan Keadilan Ekonomi ke depannya," ujar Anggawira di Jakarta, melalui pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, kemarin.
Tahun ini, ungkap Anggawira, jumlah penduduk miskin di Jakarta mendekati 385.000 orang atau 3,75%. Artinya, terjadi peningkatan sebanyak 0,14 poin."Kenaikan angka rasio tersebut disebabkan karena kenaikan pendapatan penduduk level ke atas tumbuh terlalu cepat, sementara kenaikan pendapatan masyarakat menengah ke bawah mengalami perlambatan. Penduduk menengah ke bawah tidak mampu setara dengan pendapatan penduduk menengah ke atas. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan," ungkapnya.
Terlepas dari masalah ketimpangan pendapatan, ada pula faktor lain yang memicu terjadinya ketimpangan sosial di dalam negeri yakni, sebesar 1% penduduk Indonesia menguasai hampir 70% aset negara. Merujuk dari laporan terbaru yang dimiliki HIPMI, menunjukan sebesar 1% orang terkaya di dalam negeri yang berjumlah 164 juta menguasai sendiri kekayaan negara yang bernilai US$1,8 triliun pada tahun ini. Meskipun telah terjadi pelemahan global yang mengakibatkan kerugian kepada para penduduk kaya tersebut, namun pangsa kekayaan dari 1% penduduk tersebut masih memiliki trend naik, pasalnya mereka masih menyimpat aset kekayaan dalam warisan, atau berinvestasi.
"Angka-angka tersebut menunjukan bahwa keadilan sosial di negara ini masih jauh dari harapan. Sekaligus, memperlihatkan kesenjangan ekonomi yang sangat dalam, yang tidak mungkin akan menjadi lebih baik bila pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas seperti melakukan redistribusi aset, agar hak guna usaha (HGU) atas tanah, maupun aset lain yang selama ini hanya dikuasai oleh segelintir penduduk dapat pula dimaanfatkan oleh masyarakat yang berhak merasakannya," ucap dosen di Universitas Islam As- Syafi’iyah itu.
Redistribusi aset, lanjut Anggawira, akan menghasilkan stabilitas internal dan demokratis. Keadaan demikian akan mendorong investasi yang diperlukan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan sosial antara lain dengan menerapkan pajak progresif kepada pengusaha yang sudah lama menikmati lahan untuk bisnis, menekan penghindaran pajak oleh pengusaha besar, atau individu tergolong kaya, menggeser beban pajak dari tenaga kerja konsumsi menjadi ke pajak modal dan kekayaan.
Lebih lanjut, Anggawira meminta kepada pemerintah agar jangan hanya konsen di bidang politik dan mengabaikan masalah ekonomi di Indonesia. Ia merasa pemerintah perlu melakukan ‘dobrakan’ baru pada tahun depan sebagai upaya memperkecil angka kesenjangan ekonomi dalam negeri.
"Pemerintah, jangan hanya konsen pada masalah politik namun mengabaikan masalah ekonomi di Indonesia yang saat ini paling krusial yakni, soal kesenjangan yang semakin curam. Memasuki 2017, kami berharap pemerintah melakukan ‘dobrakan’ ekonomi yang lebih progresif, dan menyejahterakan rakyat bukan hanya dari kalangan menengah ke atas, namun masyarakat kelas bawah sekalipun," pungkasnya. (Red)Pengentasan Kemiskinan dan Politik Anggaran
Senin, 15/08/2016 21:35 WIBStrategi serta pola penanggulangan kemiskinan desa selama ini cenderung tidak tepat sasaran, tidak efektif, dan belum menjadi agenda prioritas semua pemangku kepentingan.
Program Meleset Angka Kemiskinan Kembali Melesat
Sabtu, 05/12/2015 15:00 WIBAngka kemiskinan akhir-akhir ini dinilai meningkat. Padahal sejak 2006 angka kemiskinan Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan.
FOTO: Tak Ada Jembatan, Warga Pungkruk, Jragung, Karangawen Terisolir
Minggu, 03/05/2015 02:00 WIBWarga bersama sejumlah pelajar berusaha menyeberangi Sungai Jragung yang berarus deras akibat tidak adanya jembatan di Pungkruk, Jragung, Karangawen, Demak, Jateng.
Triliunan Dolar Pinjaman Bank Dunia Sengsarakan Penduduk Negara Dunia Ketiga
Minggu, 05/04/2015 19:00 WIBNicolas Mombrial mengatakan, hasil penelitian Oxfam bersama lembaga lain telah mengungkapkan adanya pelanggaran yang mengejutkan pada proyek yang dilahirkan dari dana investasi IFC ke negara dunia ketiga diseluruh Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Studi Oxfam: Ketidakadilan Ekonomi Ancam Pertumbuhan Asia
Rabu, 21/01/2015 03:00 WIBLewat laporan tersebut Oxfam menggugah para pemimpin di Asia untuk melakukan aksi jika mereka ingin menolong 500 juta orang yang masih tinggal di bawah garis kemiskinan di kawasan itu.
Studi Ungkap Jumlah Orang Kaya Meningkat Dua Kali Sejak Krisis, Dampak Ketidakadilan Ekonomi
Minggu, 09/11/2014 23:00 WIBSejumlah 85 orang terkaya di dunia memiliki nilai kekayaan yang setara dengan dengan harta kekayaan setengah dari seluruh orang termiskin di dunia.
Pendidikan Hukum Indonesia tak Ajarkan Keadilan Sosial
Kamis, 04/09/2014 02:00 WIBSementara itu, Dr. Myrna A Safitri, Direktur Epistema Institute memaparkan betapa kompleksnya konflik dan soal keadilan ekososial di Indonesia berkaitan dengan memburuknya pengelolaan sumberdaya alam.
SBY Pamer di Eranya, Angka Kemiskinan Turun 11 Persen
Jum'at, 15/08/2014 14:00 WIBSBY mengatakan dalam lima tahun terakhir, pemerintah telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin sekitar 4,5 juta orang.
Mobilisasi Pengemis Eksploitasi Anak, Polisi Diminta Tindak Tegas
Rabu, 16/07/2014 14:00 WIBDibalik fenomena ini ada beberapa fakta yang sangat mengkhawatirkan. Selain karena kehadiran mereka diorganisir oleh oknum tertentu, terdapat pula fakta adanya ekspolitasi anak dalam pengerahan pengemis ini.
Angka Kematian Ibu dan Bayi Masih Tinggi, Indonesia Tergolong Negara Miskin
Jum'at, 09/05/2014 18:00 WIBMenurut Save the Children, salah satu isu yang penting dari ke-12 isu dalam pembangunan berkelanjutan itu adalah soal kematian ibu dan bayi.
Kemiskinan di Daerah Picu Meningkatnya Pekerja Anak di Jakarta
Jum'at, 09/05/2014 09:00 WIBSenada dengan Susanto, pemerhati anak, Seto Mulyadi juga melihat persoalan pekerja anak baik formal maupun informal dikarenakan faktor kemiskinan.