JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah di seluruh dunia telah berkomitmen untuk mengakhiri kemiskinan, memastikan pendidikan yang berkualitas dan melindungi anak dari kekerasan pada tahun 2015. Program tersebut merupakan kerangka kerja global yang terangkum dalam Millenium Development Goals (MDGs). Paska pembangunan milenium 2015, PBB mencanangkan untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks ini, lembaga Save the Children melihat terdapat 12 persoalan yang harus menjadi bagian dari program pembangunan berkelanjutan untuk tahun 2030. Adapun 12 program tersebut diantaranya terkait dengan berakhirnya kemiskinan, kelaparan, menurunnya angka kematian ibu dan anak, mudahnya akses pendidikan berkualitas untuk anak dan orang muda, anak terbebas dari kekerasan dan dilindungi dari konflik dan bencana, serta hak yang sama antara orang dewasa dengan anak-anak.

Menurut Save the Children, salah satu isu yang penting dari ke-12 isu dalam pembangunan berkelanjutan itu adalah soal kematian ibu dan bayi. Pancho Kaslam, penasehat kesehatan bayi Save the Children mengatakan indikator pembangunan dan kesehatan suatu negara dapat dilihat dari kesehatan ibunya. Ia menjelaskan kemiskinan menjadi faktor penyebab kematian ibu. Sehingga masyarakat miskin cenderung memiliki angka kematian yang tinggi dan sebaliknya. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi secara langsung menjadi penentu kesehatan ibu.

Ponco menambahkan di seluruh Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu setiap tahunnya mencapai 5118 kasus. Lalu angka kematian bayi mencapai 95 ribu jiwa. Data tersebut menunjukkan sebanyak 101 ribu jiwa hilang setiap tahunnya. Kematian tersebut paling tinggi adalah saat persalinan. "Kematian ibu karena infeksi saat persalinan juga berkontribusi besar pada kematian bayi," ujarnya di Hotel Morissey, Jakarta, Jumat (9/5).

Selanjutnya, pada usia reproduktif perlu diperhatikan soal gizi untuk ibu. Menurutnya, ibu hamil yang gizinya buruk cenderung akan melahirkan bayi dengan gizi rendah. Selain itu, tambahnya komplikasi dan penanganan yang tidak tepat saat proses persalinan dapat berpengaruh terhadap rendahnya kelangsungan hidup perempuan. "Tidak hanya ibu, setiap bayi baru lahir juga punya hak untuk dilindungi. Sehingga bukan hanya ibu saja yang ditangani petugas kesehatan, tapi harus ada sanksi pada keluarga yang tidak melindungi bayinya yang baru lahir," ujarnya.

Menanggapi persoalan kematian ibu dan bayi, Feri Novriadi, Divisi Kebijakan dan Pelayanan Publik lembaga Pattiro mengatakan pemerintah harus berperan aktif terutama terkait anggaran yang bisa dimanfaatkan untuk penurunan angka kematian ibu dan bayi. Ia mengatakan anggaran yang digunakan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak sebanyak 20-25% hanya digunakan workshop dan seminar. Selebihnya, anggaran digunakan untuk belanja pegawai seperti alat kesehatan dan sarana.

Ia mengatakan harusnya melalui anggaran tersebut pemerintah melakukan tindakan langsung ke daerah yang memiliki potensi angka kematian ibu dan anak yang tinggi. Salah satu program pemerintah yang menurutnya kurang efektif adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program tersebut memberikan bantuan langsung berupa uang ke masyarakat tanpa ada program pembinaan. "Kalau anggarannya dalam bentuk uang, uang diterima, anggarannya dipakai untuk hal yang tidak mendukung program PKH," katanya.

Menurutnya tidak hanya dinas kesehatan yang bertanggungjawab terhadap angka kematian ibu dan bayi, dinas lain harus ikut berkontribusi untuk menguranginya. Ia mencontohkan akses jalan yang rusak dan kendaraan yang sulit tentu akan membuat masyarakat lebih memilih bersalin di dukun daripada ke puskesmas atau dokter.

"Jam kerja puskesmas hanya senin-jumat. Sore hari disana sudah tidak ada orang. Jadi meskipun sarana prasaran di puskesmas bagus, tapi sarana pendukungnya seperti jalan dan akses transportasi tidak bagus akan sulit. Sekarang bagaimana pemerintah bisa mensinergikan hal tersebut. Kalau jalan bagus, transportasi ada, angka kematian ibu dan anak bisa menurun," tuturnya.  

Selain itu, solusi lain untuk menekan angka kematian ibu dan bayi juga dengan memberikan penyadaran pada masyarakat untuk melakukan persalinan ke bidan dan bukan ke dukun. "Dukun yang menyebabkan angka kematian bayi lebih tinggi," ujarnya pada Gresnews.com di Hotel Morissey, Jumat, (9/5).

Ia mengatakan kini ada kolaborasi kerjasama antara dukun dan bidan untuk proses kelahiran. Bidan lebih aman dengan peralatan medis yang memadai, sedangkan dukun hanya dengan peralatan seadanya dan alat-alatnya tidak steril. Kolaborasi antara bidan dan dukun kini juga menjadi solusi untuk menekan tingkat kematian bayi. Katanya, bidan yang melakukan proses persalinan, setelah itu dukun yang mengurus bayi setelah persalinan.

BACA JUGA: