JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki tahun baru 2018, DPR dan pemerintah adu data soal angka kemiskinan sepanjang tahun 2017 lalu. Dari sisi DPR, anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengungkapkan, sepanjang tahun 2017 kemiskinan tumbuh subur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per Maret 2017 jumlah orang miskin bertambah 6.900 jiwa.

"Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam bidang ekonomi menyambut tahun 2018," ujarnya seperti dikutip dpr.go.id, Selasa (2/1).
 
Heri mengatakan, dengan tambahan jumlah orang miskin itu berarti jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2017 menjadi 22,77 juta jiwa (10,64 %). Dan angka kemiskinan 2017 ternyata lebih tinggi daripada 2016 yang mencapai 27,76 juta jiwa.  

"Sistem itu tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan. Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan," tandas politisi muda Partai Gerindra ini.

Di sisi lain, angka ketimpangan masih bertengger di kisaran 0,39. Ini adalah angka berstatus wapada. Dengan kata lain, sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan.
 
Dikemukakan Heri, postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Faktanya, hanya ada 1% orang yang menguasai 39% pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari 2% orang telah menguasai lebih dari 70% tanah di Republik ini.

"Ekonomi kita tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06% tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95% menjadi 4,93%," ujar Heri.
 
Ditambahkannya, daya beli masyarakat yang tertekan juga berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka 5% dan industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7%. Mengutip hasil survei Nielsen, mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini, menyebutkan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah dalam 5 tahun terakhir.

Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan pemerintah belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Apalagi, kata Heri, ambisi pemerintah membangun infrastruktur masih tercium di dalamnya jejak mengorbankan sektor lain. Bahkan, sebagian dibiayai lewat skema utang yang ujungnya berdampak pada defisit anggaran.
 
"Pemerintah harus sadar bahwa defisit cenderung meningkat. Penyebabnya adalah realisasi belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5%, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran 3%. Pemerintah harus prudent mengelola belanja dan utang. Apalagi kelihatannya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan," kilah Heri lagi.

Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto justru mengatakan sebaliknya. Dia mengungkapkan, pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), atau berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen).

"Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2017-September 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebesar 401,28 ribu orang, sedangkan  di daerah perdesaan turun sebesar  786,95 ribu orang," kata Suhariyanto seperti dikutip setkab.go.id.

Persentase kemiskinan di perkotaan, lanjut Suhariyanto, turun dari 7,72 persen menjadi 7,26 persen. Sementara itu, di perdesaan turun dari 13,93 persen menjadi 13,47 persen. Berdasarkan persentase, menurut Kepala BPS itu,  penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 21,23 persen. Sementara persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 6,18 persen.

Adapun dari sisi jumlah, Kepala BPS Suhariyanto mengemukakan, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,94 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,98 juta orang).

Menurut Kepala BPS Suhariyanto, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan selama periode Maret 2017–September  2017 antara lain adalah, selama periode Maret 2017–September 2017, inflasi umum relatif rendah yaitu sebesar 1,45 persen. Kemudian rata-rata upah nominal buruh tani per hari pada September 2017 naik sebesar 1,50 persen dibanding Maret 2017 (dari Rp49.473,00 menjadi Rp50.213,00).

Sejalan dengan itu, upah riil buruh tani per hari pada September 2017 naik sebesar 1,05 persen dibanding Maret 2017, yaitu dari Rp37.318,00 menjadi Rp37.711,00. Upah nominal buruh bangunan per hari pada September 2017 naik sebesar 0,78 persen dibanding Maret 2017, dari Rp83.724,00 menjadi Rp84.378,00.

Akan tetapi, upah riil buruh bangunan per hari pada September 2017 turun sebesar 0,66 persen dibanding Maret 2017, dari Rp65.297,00 menjadi Rp64.867,00. Pada periode Maret 2017-September 2017, laju pertumbuhan beberapa harga komoditi  pangan cukup terkendali.

Berdasarkan data Susenas September 2017, beras sejahtera (rastra) telah diterima oleh rumah tangga. Rata-rata setiap bulannya, selama Mei-Agustus 2017 rastra telah disalurkan kepada sekitar 30 persen rumah tangga. (mag)


BACA JUGA: