JAKARTA, GRESNEWS.COM - Portofolio investasi pada lembaga keuangan internasional (International Finance Corporation--IFC) meningkat hingga US$36 triliun dalam empat tahun terakhir. Angka tersebut tiga kali lebih besar dari pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan. Ketimpangan seperti ini mendesak untuk segera diperbaiki.

Selama ini para perusahaan atau lembaga keuangan internasional itu memiliki akuntabilitas yang rendah atas triliunan dolar uang hasil investasi di bank, dana investasi global dan dana-dana simpanan lainnya. Hal ini telah berdampak pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.

Laporan Oxfam terbaru bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya yang dirilis pekan ini sebelum pertemuan Bank Dunia menyatakan hal tersebut. Dalam laporan bertajuk The Suffering of Other alias membuat penderitaan bagi orang lain, Oxfam menyebutkan lembaga keuangan internasional (yang merupakan sektor swasta Bank Dunia di sektor pemberi pinjaman) gagal melaksanakan uji tuntas (due diligence) dan mengidentifikasi atau secara efektif mengelola risiko atas berbagai investasinya kepada para peminjam di negara dunia ketiga.

"Hal yang paling menyakitkan adalah IFC tidak mengetahui ke mana kebanyakan uang yang dipinjamkan di bawah model baru ini berakhir atau bahkan mengetahui apakah pinjaman tersebut menolong atau justru melukai," kata Kepala Oxfam Internasional kantor Washington DC Nicolas Mombrial dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (5/4).

Nicolas Mombrial mengatakan, hasil penelitian Oxfam bersama lembaga lain telah mengungkapkan adanya pelanggaran yang mengejutkan pada proyek yang dilahirkan dari dana investasi IFC ke negara dunia ketiga di seluruh Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pelanggaran-pelanggaran itu berupa kematian, represi, penguasaan lahan dan pelanggaran. "Lantaran informasi publik dari IFC sangat tertutup, entah disengaja atau memang karena tidak peduli, kami takut proyek-proyek tersebut hanyalah puncak dari sebuah gunung es," kata Mombrial menambahkan.

IFC bertaruh sangat besar pada strategi "angkat tangan" atas pinjaman pembangunan, menginvestasikan dana sebesar US$36 triliun lewat penyedia jasa keuangan hanya dalam empat tahun hingga tahun 2013. Jumlah ini merupakan 50% lebih dari keseluruhan pinjaman Bank Dunia langsung untuk kesehatan dan tiga kali lebih besar dari pinjaman untuk pendidikan dalam periode yang sama. Model tersebut saat ini mencakup 62% portofolio investasi IFC dan beberapa lembaga keuangan dunia berpengaruh mulai meniru cara ini.

Negara berkembang membutuhkan layanan keuangan yang layak dan sektor swasta memainkan peran dalam menutup jurang finansial ini. "IFC dapat membantu menarik lembaga keuangan swasta ke negara miskin, tetapi saat ini cara mereka menerapkan pada keamanan sosial dan lingkungan atas investasi baru ini kepada lembaga keuangan perantara terlihat sangat serampangan," kata Mombrial.

Hal ini bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, karena IFC meningkatkan perhatiannya kepada negara rentan sebanyak 50%. Dan ini sangat berpotensi menimbulkan bencana jika dilakukan melalui model yang berlaku saat ini. "Pinjaman IFC kepada negara dunia ketiga saat ini sangat besar, protofolionya menyelubungi dalam kegelapan dan menyimpan pelanggaran, karena itu model ini harus segera dirombak," kata Direktur Legal Inclusive Development International Natalie Bugalski.

Temuan mengkhawatirkan lainnya adalah dari 49 investasi yang dibuat IFC lewat lembaga keuangan perantara sejak 2012 diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi, dan hal ini tidak tidak pernah diungkap ke publik. "Ini artinya tidak ada informasi publik terkait ke mana 94% dari investasi risiko tinggi IFC berujung. Sampai grup Bank Dunia membuktikan kesepakatan ini mempunyai dampak yang legitimate dan tidak menimbulkan pelanggaran, IFC harus menyetop investasi ke negara dunia ketiga berisiko tinggi," kata Bugalski.

Untuk pertama kalinya, laporan itu mengumpulkan studi-studi yang telah diterbitkan sebelumnya atas proyek-proyek yang menyebabkan konflik dan penderitaan bagi penduduk lokal. Laporan itu termasuk pinjaman untuk proyek perkebunan karet, tebu dan sawit di Kamboja, Laos dan Honduras, pembangunan bendungan di Guatemala dan pembangkit listrik di India.

Laporan tersebut mengungkapkan, proyek-proyek berisiko lainnya termasuk penambahan pembangkit listrik di Papua Barat, Laos dan Guatemala, pertambangan di Vietnam dan perkebunan gula di Guatemala. "Kami ingin Bank Dunia mengetahui bahwa uang yang mereka kucurkan digunakan untuk menghancurkan kehidupan kami. Saat ini kami dikepung perusahaan. Mereka telah merebut lahan komunitas kami dan hutan. Kami khawatir berikutnya tidak akan ada lagi lahan tersisa dan kami akan kehilangan identitas kami. Apakah Bank Dunia berpikir seperti ini yang dinamakan pembangunan?" kata seorang perwakilan dari komunitas yang terdampak seperti dikutip dari laporan tersebut.

Laporan itu menyerukan agar IFC mereformasi pinjaman mereka melalui lembaga keuangan perantara, melalui beberapa cara. Pertama, menanamkan investasi lebih sedikit namun lebih baik yang sesuai dengan standar sosial dan lingkungan setempat. Kedua, menghentikan investasi baru berisiko tinggi melalui lembaga keuangan perantara sampai IFC memiliki sistem yang memadai untuk mengelola dan memitigasi risko tersebut.

Ketiga, membuka kepada publik klien mereka dan sub proyek atas semua investasi yang dilakukan melalui perantara. Keempat, membuka agar proyek-proyek itu dapat dinilai oleh pihak independen dan memblokir klien yang melanggar sistem pengaman.

Laporan itu mengungkapkan, IFC telah memulai mereformasi sistem pinjaman lewat perantara merespons berbagai kritik, termasuk dari lembaga pengawas internal, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat terdampak. Langkah ini termasuk menyusun ulang penilaian risiko, membentuk komite baru untuk menilai proyek berisiko tinggi dan janji untuk memberikan penilaian yang sama atas risiko sosial dan lingkungan sebagaimana risiko finansial dan kredit.

BACA JUGA: