JAKARTA, GRESNEWS.COM – Penarikan pekerja anak untuk dibebaskan dari kerja di sektor formal seperti di bidang pertanian, tambang dan galian, serta manufaktur telah menjadi fokus Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008 hingga kini. Sementara itu, penarikan pekerja anak untuk sektor informal seperti mengemis, menyemir sepatu, berjualan koran, menjadi tukang sampah, memulung, dan menjadi sopir angkot masih kurang diperhatikan.

Tindakan dari kementerian dan dinas sosial terkait hal tersebut masih sebatas merazia dan mendata anak-anak yang bekerja di sektor informal tersebut. Padahal setelah dirazia dan dilepaskan, anak-anak tersebut masih berpotensi untuk kembali menjadi pekerja anak informal. Secara normatif, melalui website resminya, Kementerian Sosial memang berencana akan memidanakan orang tua dan sindikat yang menelantarkan dan mengeksploitasi anaknya.

Selain itu, pihak Kementerian Sosial juga memberikan pelatihan dan bantuan usaha ekonomi pada orangtua pekerja anak sektor informal. Pada Oktober 2013, Dinas sosial memang telah melakukan upaya pembinaan sebanyak 3.025 anak jalanan dari total 6.631 anak di Jakarta. Tapi hingga kini, program tersebut tidak terlihat berpengaruh terhadap jumlah pekerja anak informal karena masih banyak pekerja anak yang dapat ditemui di setiap perempatan lampu merah jalan.

Menanggapi hal di atas, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan pola yang dilakukan Kemensos dan dinas sosial untuk membebaskan pekerja anak dari sektor informal kurang tepat. Menurutnya, langkah yang diambil kemensos tidak mempertimbangkan akar masalah dari pekerja anak di sektor informal.

Susanto mengatakan pihaknya menemukan beberapa tempat yang menjadi sindikat sumber distribusi pekerja anak informal yang ditemukan di Jabodetabek. Wilayah itu diantaranya Brebes, Cirebon, Indramayu, dan Bandung berdasarkan survei KPAI tahun 2013. "Anak-anak tersebut ada yang datang bersama orangtua, tetangga, teman atau karena terlantar atau tidak punya orangtua, mereka diajak untuk bekerja di Jakarta," kata Susanto kepada Gresnews.com, Jumat (9/5).

Ia menambahkan, ketika daerah distributor pekerja anak sudah diketahui, pemerintah provinsi DKI Jakarta seharusnya bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat lebih baik dengan cara mengembalikan mereka ke daerahnya. Selain itu menurutnya perlu juga dilihat apa kebutuhan mereka misalnya keluarganya miskin, pemda setempat harus bantu.

"Ada di Depok program seperti itu hanya untuk beberapa keluarga. Keluarganya itu dikasih pemberdayaan ekonomi karena ada faktor ekonomi. Karena baru sedikit keluarga yang mendapat itu jadi kita belum bisa menilai seberapa efektif program itu. Jadi tidak hanya menggaruk si anak, tapi keluarganya juga," kata Susanto mengatakan.

Adapun di Brebes dan Cirebon, Susanto mengatakan, belum ada program terkait hal di atas. Ia mengakui sekretaris daerah kedua wilayah tersebut bahkan belum mengetahui kalau ada warganya yang pindah ke Jakarta dan anak-anak mereka menjadi pekerja anak. Ia menuturkan itu bisa terjadi karena memang sulit untuk memonitor  dan persoalan anak terlantar serta kemiskinan belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah.

Senada dengan Susanto, pemerhati anak, Seto Mulyadi juga melihat persoalan pekerja anak baik formal maupun informal dikarenakan faktor kemiskinan. Menurutnya pemerataan ekonnomi menjadi penting karena anak-anak yang menjadi pekerja dituntut membantu orangtua untuk mendapatkan penghasilan.

Ia mengatakan selain pemerataan ekonomi, pemerintah provinsi juga harus membuat rumah singgah yang ada untuk membuat anak-anak lebih manusiawi. Tambahnya, dengan rumah singgah anak-anak tidak harus tidur di jalan tapi itu bisa digunakan untuk tempat beristirahat, belajar, dan perlindungan baik terhadap kekerasan fisik atau seksual.

"Kerjasama untuk persoalan pekerja anak tidak hanya di tingkat provinsi DKI Jakarta dan daerah yang bersangkutan, pemerintah pusat yaitu kemensos juga harus terlibat," ujarnya saat dihubungi Gresnews.com, Kamis, (8/5) kemarin.

BACA JUGA: