Oleh: Taswa Witular (Kang Away) *

Dari sisi subtansi, lewat pemilihan kepala daerah (pilkada), sebuah daerah diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat di daerah yang bersangkutan. Ini adalah perwujudan dari salah satu isyarat otonomi daerah yang dipercaya mampu mencairkan permasalahan bernegara dari akibat sistem sentralisasi.

Beberapa kota/kabupaten tidak terhindarkan dari agenda pilkada. Kita ketahui, terdekat waktu pelaksanaannya adalah 2018. Harapan terwujudnya perbaikan disetiap lini kehidupan tetap menghinggapi benak konstituen sebagai akibat dorongan naluriah dan atau tiupan angin para bakal calon secara langsung maupun tim suksesnya.

Namun percayalah, siapapun yang terpilih dipastikan tidak akan mudah menghantarkan mimpi-mimpi konstituen. Penulis tidak pesimis, tidak pula optimistis, hanya sekadar berpikir realistis mengingat ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pilkada.

Pertama, sistem pengusungan calon dalam satu paket berpotensi menimbulkan konflik karena formasinya bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan terjadilah konflik kepentingan karena berbagai faktor. Kewenangan akan sulit diimplementasikan secara efektif, rebutan pengaruh kekuasaan, rebutan proyek, dan lain-lain.

Kedua, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU hanya mensyaratkan 25 %.

Ketiga, ketimpangan dukungan politik dari DPRD. Bupati terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang terjadi disharmonisasi antara Bupati dengan DPRD, yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi the politics of opportunities. Jika Bupati kooperatif/memahami "udang di balik batu", maka Bupati selamat dari impeachment. Saat itulah konspirasi yang menyalahgunakan uang rakyat terjadi.

Keempat, kekuasaan terpusat di kepala daerah. Urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena rolling pejabat struktural dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai dihantui ketidakpastian jenjang karier. Bupati menggunakan kriteria politis dari pada kriteria berbasis merit system dalam memilih pejabat SKPD.

Akibatnya, profesionalisme dan kemampuan terabaikan, tata kelola dan reformasi birokrasi, pelayanan,dan sejenisnya hanya isapan jempol. Pengelolaan perizinan pun terkadang ditunggangi praktek pemburu rente dari oknum pejabat daerah. Demikian halnya dengan kebijakan anggaran, dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD sejumlah  diantaranya dialokasikan tidak berdasar pada skala prioritas, lebih mengejar kemajuan semu alias tidak menyentuh kebutuhan rakyat.

Mengingat hal-hal di atas setidaknya bisa kita simpulkan, terdapat tiga kunci sukses otonomi daerah. Pertama, kepemimpinan kepala daerah dan DPRD. Kedua, kapasitas kepala daerah dan ketiga partisipasi dan kontrol rakyat. Jika tiga kelompok besar ini sudah benar, akan berdampak terhadap peningkatan kapasitas. Daerah yang mempunyai kepemimpinan baik, bisa memberikan kemudahan kepada rakyat dan membuat otonomi berjalan baik.

DPRD sebagai mitra pemerintah daerah harus mampu menempatkan diri membantu Bupati dalam menjalankan fungsinya, termasuk fungsi melayani konstituen. Fungsi terakhir ini berhubungan dengan Bappeda, jangan sampai Bappeda tidak memperhatikan hasil reses DPRD ketika menjaring aspirasi rakyat. Itu puncak pertempuran APBD, karena DPRD punya konstituen yang harus diberi ruang.

Kita memang perlu kepala daerah yang cerdas dan visioneer, tetapi hal itu tidak cukup. Dibutuhkan pula politisi cerdas dan visioneer di gedung Rakyat yang mampu catch up dengan kemajuan zaman sehingga mereka bukan menjadi penghambat  kemajuan dengan penolakan terhadap kebijakan pro Rakyat dari Bupati, atau hanya menjadi partner kolusi bagi kebijakan negatif sang Bupati. Saatnya kesadaran untuk menerjemahkan potensi otonomi daerah mulai ditanamkan kepada para politikus sehingga otonomi daerah beserta pilkadanya yang dianggap akan mampu menetralisir permasalahan bernegara sebagaimana disebut di muka, tidak menimbulkan permasalahan baru dalam zona lokal.

*) Penulis adalah pemerhati sosial politik, dikenal sebagai konsultan politik nasional.

BACA JUGA: