JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menilai saat ini sudah semestinya negara memperhatikan nasib korban teror bom. Peristiwa teror bom Bali 1, Bali 2, Kuningan dan JW Marriot, sudah lama terjadi. Begitu pula dengan para pelaku dan pihak terlibat, banyak yang sudah dipidana. Namun, deretan peristiwa memilukan itu hingga kini masih menyisakan persoalan.

Salah satunya nasib dan hak-hak para korban kasus terorisme yang terlupakan. Terkait itu, LPSK tengah berusaha memperjuangkan hak-hak para korban teror bom dimaksud.

Menurut Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, pihaknya tengah menindaklanjuti keinginan korban bom Bali 1, Bali 2, Kuningan, dan JW Marriot untuk mendapatkan bantuan medis, psikologis, psikososial dan kompensasi. Untuk itu, LPSK terus berkoordinasi dengan instansi terkait. Koordinasi dilakukan agar pihak terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polda Metro Jaya dan Polda Bali, dapat mengeluarkan surat keterangan bagi para korban teror bom.

"Sejauh ini, masih ada kendala dan tantangan dalam mewujudkan hak-hak para korban teror bom. Kita sudah ke BNPT dan mereka masih harus melakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap para korban yang berjumlah sekitar 50-an orang itu, sehingga LPSK masih butuh waktu untuk memberikan jawaban bagi korban," ungkap Edwin di Jakarta, Senin (1/6).

Saat berkoordinasi dengan BNPT, Edwin dan jajaran diterima Direktur Penegakan Hukum Widodo Supriady. Edwin mengatakan, pada Pasal 7 Undang-undang (UU) No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan, setiap korban pelanggaran HAM dan tindak pidana teorisme, selain berhak mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, juga berhak atas kompensasi.
"Pelaksanaan pembayaran kompensasi bagi korban tindak pidana teorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme," tegasnya.

Kondisi para korban teror bom Bali 1, Bali 2, Kuningan dan JW Marriot, kata Edwin, sangat membutuhkan bantuan, terutama medis dan psikologis. Karena ada di antara mereka yang di tubuhnya saat ini masih terdapat gotri. Begitu pula dengan mereka yang menderita luka bakar.

"Luka-luka itu harus terus diobati sehingga mereka sangat membutuhkan pengobatan. Di sinilah, peran dan perhatian pemerintah itu sangat dibutuhkan, khususnya bagi mereka yang menjadi korban," ujarnya.

Edwin mengungkapkan, pada putusan terhadap salah satu terdakwa kasus terror bom JW Marriot, hakim telah mengamanatkan pemberian kompensasi bagi korban. Jumlahnya juga bervariasi, ada yang Rp10 juta, ada pula Rp20 juta.

Hanya saja, dalam amar putusannya, hakim tidak menyebutkan secara spesifik, siapa nama korban yang berhak menerima kompensasi. Karena itulah, pemberian kompensasi yang menjadi tanggung jawab negara ini belum bisa direalisasikan.

Ke depan, menurut Edwin, LPSK akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait untukmembantu memenuhi hak-hak para korban. LPSK sadar, untuk mewujudkan hal itu tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan dibutuhkan campur tangan pihak lain, terutama dalam memberikan layanan psikososial.

"LPSK serius mendorong hal ini agar para korban bisa mendapatkan haknya. Negara harus hadir bagi para korban terror bom ini," ujar Edwin.

 

BACA JUGA: