-
Titik-Titik Rawan dalam Pilkada Serentak
Selasa, 26/06/2018 16:24 WIBEtika Melepaskan Jabatan
Senin, 29/01/2018 15:00 WIBPetahana yang masih menjabat sebelum tahapan pilkada bisa saja menggunakan kekuasaan sebagai alat politik.
Gegara OTT KPK Revisi Sistem Pilkada Mendesak Dilakukan
Minggu, 24/09/2017 18:01 WIBKetum PAN Zulkifli Hasan menyalahkan sistem yang ada terkait banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK akhir-akhir ini. Menurutnya, sistem yang ada di Indonesia semua tergantung uang.
"Sistemnya (yang salah). Berarti ada sistem yang semua itu uang. Sistem kita adalah uang. Ini harus kita kaji," ucap Zulkifli di Grand Ballroom Hotel Raffles, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (24/9).
Dia sendiri mengaku sedih dengan banyaknya OTT KPK. Bahkan dia menyebut Indonesia adalah juara dunia soal OTT.
"Aduh saya sedih. Habislah kita kalau begini terus. Mau siapa lagi. Juara dunia kita soal menangkap kepala daerah. Nggak ada lagi di planet bumi ini yang sebanyak kita. Mau berapa lagi?" ucap Zulkifli.
Zulkifli beranggapan salah satu yang harus dibenahi agar tidak ada lagi pejabat yang terkena OTT KPK adalah dengan membenahi sistem Pilkada. Sebab, menurutnya parpol akan kehabisan kader bila OTT KPK terus-terusan terjadi.
"Kita harus lihat secara menyeluruh Pilkada ini. Kalau pilkada kita terus begini, habis (kader) nanti kena OTT. Karena kita kaji UU-nya, apakah peraturannya, apakah tata caranya, kita kaji. Kalau begini terus habis kita, tokoh kita," tuturnya.
Ketua MPR itu juga tidak mau mengatakan bila Pilkada dengan cara dipilih oleh DPRD menjadi jalan keluar permasalahan. Sebab, semua harus melalui kajian.
"Nanti kita kaji dulu. Apakah itu solusi, kita kaji menyeluruh," pungkasnya.
Wakil Ketua KPK Basaria menyebut Operasi Tangkap Tangkap (OTT) di Cilegon, Banten, merupakan modus baru. Pasalnya sumber duit suap itu menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.
"Dalam OTT ini KPK mengungkap modus operandi baru yang diduga menggunakan saluran CSR perusahaan pada klub sepakbola sebagai sarana untuk menerima suap," kata Basaria di saat konferensi pers di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Sabtu (23/9/2017).
Basaria menduga alasan perusahaan menggunakan dana CSR untuk menyamarkan asal uang. Duit itu lalu masuk ke klub Cilegon United Football Club (CUFC) dengan dalih sebagai dana sponsorship.
"Sehingga diindikasi untuk menyamarkan dana agar tercatat dalam pembukuan sebagai CSR atau sponsorship dalam perusahaan. Dalam perusahaan PT BA (bukan PT Bukit Asam Tbk) PT KIEC diduga hanya sebagian bantuan pada CUFH Kota Cilegon," jelasnya.
Dalam kasus ini KPK Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Aryadi juga ditetapkan sebagai tersangka. Selain Iman, KPK juga menetapkan lima tersangka lain yaitu Ahmad Dita Prawira adalah Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Cilegon, dan Hendry.
Kemudian 3 pihak swasta yang diduga sebagai pemberi suap yaitu Bayu Dwinanta Utama proyek manager PT BA, TDS direktur utama PT KIEC, dan Eko Wandara legal manager PT KIEC. (dtc/mfb)
Menimbang Ulang Pola Kontestasi Pilkada
Sabtu, 23/09/2017 16:03 WIBSalah satu penyebab tingginya kasus korupsi adalah biaya politik yang cukup tinggi dalam kontestasi pilkada. Akibatnya, seseorang dipaksa melakukan fundraising (penggalangan dana) dengan berbagai cara, meskipun menabrak ketentuan hukum.
MK Kabulkan Gugatan Teman Ahok Atas UU Pilkada
Rabu, 14/06/2017 16:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Teman Ahok terkait UU Pilkada. Dalam putusannya MK menyatakan calon independen didukung oleh calon pemilih, bukan yang terdaftar di DPT pemilu sebelumnya.
Sebelumnya Teman Ahok bersama GNCI dan dua orang individu mempermasalahkan dua pasal dalam UU UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dianggap menyulitkan calon independen untuk bertarung di Pilkada. Dua pasal, yakni Pasal 41 dan Pasal 48 itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan: "Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan".
Menurut mereka munculnya frasa "termuat" dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, hal ini dapat menghilangkan hak suara pemilih pemula yang sebelumnya tidak terdaftar di DPT.
Namun dalam putusannya, MK menyatakan pasal di atas inkonstitusional sehingga harus diluruskan.
"Frase ´dan termuat´ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak mengacu pada nama yang termuat/tercantum dalam DPT melainkan pada jumlah penduduk yang telah memiliki hak pilih," ujar ketua majelis Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (14/6).
Selain itu, MK juga memutuskan jumlah pendukung calon independen haruslah diumumkan ke publik. Tapi nama pendukungnya tidak perlu diumumkan demi menjaga rahasia pilihan politik.
"Mahkamah berpendapat hasil verifikasi faktual pendukung calon perseorangan tetap harus diumumkan kepada publik namun terbatas pada jumlah dukungan yang memenuhi persyaratan calon perseorangan, bukan mengumumkan nama-nama pendukung pasangan calon perseorangan dimaksud. Dengan demikian hak atas informasi terpenuhi dan pada saat yang sama kerahasiaan pilihan atau dukungan politik seseorang sesuai dengan keyakinan politiknya tetap terjamin," ujar majelis. (dtc/rm)Pro Kontra Terpidana Percobaan Ikuti Pilkada
Rabu, 14/09/2016 09:00 WIBMenurutnya yang tidak diperbolehkan adalah pelaku kejahatan berat seperti korupsi, teroris, narkoba maupun perampokan. Terkait persoalan moral terpidana mengikuti Pilkada, ia meminta jangan terlalu membesar-besarkan masalah tersebut.
Polemik Rencana KPU Uji Materi UU Pilkada
Rabu, 03/08/2016 11:00 WIBRencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terus mengundang polemik.
KPU Hadang UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi
Sabtu, 16/07/2016 11:00 WIBKomisi Pemilihan Umum (KPU) bertekad mengajukan menggugat Pasal 9A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
UU Pilkada Minus Partisipasi Publik
Selasa, 21/06/2016 19:30 WIBUU Pilkada yang direvisi setiap hendak melaksanakan Pilkada membuat sistem Pilkada selalu berubah. Akibatnya, tidak ada aturan main yang pasti menjelang pelaksanaan Pilkada.
Calon Independen Terjegal, Teman Ahok Gugat UU Pilkada
Minggu, 19/06/2016 15:48 WIBDianggap menjegal kehadiran calon independen, sejumlah elemen yang tergabung dalam Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI), menggugat Undang-Undang Pilkada yang baru saja disahkan DPR ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal Intervensi DPR dalam Revisi UU Pilkada
Sabtu, 11/06/2016 09:00 WIBPasal perubahan Revisi UU Pilkada ramai diributkan, karena dianggap melemahkan kewenangan KPU selaku lembaga yang diberi mandat UU menyelenggarakan pemilu.
Menggugat Hilangnya Kemandirian KPU
Jum'at, 10/06/2016 15:00 WIBMeskipun KPU dibiayai oleh negara, bukan berarti hal tersebut bisa dijadikan dasar adanya intervensi pihak luar dalam semua peraturan dan keputusan yang dibuat KPU.
Dua Masalah Krusial dalam UU Pilkada
Senin, 06/06/2016 18:00 WIBPesta demokrasi akan berjalan sesuai dengan keinginan senayan bukan sesuai keinginan rakyat. Penyelenggara pilkada akan sibuk melobi untuk memuluskan peraturan dan pedoman teknis.
Akal Politikus Menggugat UU Pilkada
Sabtu, 04/06/2016 16:00 WIBDPR seharusnya tak patut mengajukan uji materiil sebab DPR dan pemerintah merupakan pembuat dari undang-undang tersebut.
Keabsahan UU Pilkada Dipertanyakan
Jum'at, 03/06/2016 21:05 WIBMenurut Ray, kuorum itu dihitung dari fisik anggota DPR yang ada dalam persidangan dengan jumlah 50 plus satu anggota DPR, bukan dari kehadiran sesuai absen sehingga bisa dianggap kuorum. Atas dasar itu Ray mempertanyakan keabsahan paripurna tersebut untuk mengesahkan UU Pilkada.