JAKARTA,GRESNEWS.COM - Hasil dari revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala daerah (UU Pilkada) tak memuaskan. Komisi Pemilihan Umum ( KPU) berencana melakukan uji materi alias judicial review terkait hasil revisi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang hendak digugat adalah pasal yang mengesankan bahwa KPU menjadi lembaga yang tak lagi mandiri dalam mengambil keputusan.

Pada Pasal 9 revisi UU Pilkada disebutkan bahwa tugas dan wewenang KPU adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat. Kata setelah berkonsultasi itu lah yang dapat dimaknai hilangnya kemandirian KPU.

Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, pada saat ini KPU tengah membahas dan mengkaji hal-hal apa saja yang membuat pengaruh dari hasil revisi UU Pilkada tersebut. "Kalau keputusan kami ( KPU) dan kemandirian kami bagaimana putusan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Itu sangat penting bagi kami," kata Ferry di Kantor KPU Pusat, Jakarta, Kamis (9/6).

Dia juga menjawab soal adanya pihak yang menilai bahwa KPU bukanlah lembaga independen sebab dibiayai oleh negara. Namun kata Ferry, meskipun dibiayai oleh negara, bukan berarti hal tersebut bisa dijadikan dasar adanya intervensi pihak luar dalam semua peraturan dan keputusan yang dibuat KPU.

"Jadi hal yang wajar kalau lembaga di negara Indonesia didanai oleh rakyat dengan APBN, APBD, tetapi terkait keputusan yang diputuskan KPU tidak boleh di intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah ," jelasnya.

Ketua KPU Husni Kamil Manik juga mengatakan KPU akan menyiapkan langkah-langkah tertentu jika memang pasal itu mengancam independensi KPU. Sebab menurut Husni, KPU dalam UUD adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

"Jika nanti muncul pasal yang kira-kira mengancam independensi KPU maka kita perlu mengambil langkah berikutnya," ucap Husni Kamil Manik, Rabu (8/6).

Kemandirian KPU, lanjut Husni, dapat terancam bila sudah ada pemaksaan atas satu proses. Menurutnya, tugas KPU untuk mendudukkan kembali asas yang sudah diatur dalam UUD.

Sementara itu, Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu ( KIPP) Indonesia, Adrian Habibi mengatakan, revisi kedua UU Pilkada harus diajukan judicial review ke MK karena Pasal 9 tersebut telah menyakiti azas kemandirian penyelengara pemilu.

"DPR harus bertangung jawab menjelaskan semua pasal aneh yang muncul di revisi ke dua UU Pilkada, di lain sisi, Kementerian Hukum dan Ham wajib menjelaskan setiap kesepakatan antara pemerintah dan DPR terkait hasil revisi," kata Adrian kepada gresnews.com, Kamis (9/6) malam.

Dia menjelaskan jika semua diam, untuk apa ada penyelenggara pilkada. Buat saja lembaga khusus gabungan antara perwakilan pemerintah dan perwakilan DPR untuk melaksanakan UU Pilkada beserta akomodir kepentingan pemerintah dan DPR.

Mendagri Tjahjo Kumolo mempersilakan KPU menggugat UU Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Silakan ajukan gugatan ke MK. Sah secara hukum, hanya yang tidak boleh adalah pemerintah dan DPR," kata Tjahjo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).

Tjahjo mengakui bahwa UU Pilkada yang baru direvisi belum bisa memuaskan semua pihak. Namun, ini upaya terbaik dari pemerintah dan DPR. "Ini maksimal, merevisi yang menyeluruh, komprehensif sampai 2 masa persidangan yang kami buat termasuk detil money politics," ucapnya.

TERBURU-BURU DISAHKAN - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menilai ketentuan Pasal 9 UU Pilkada memang mengganggu independensi KPU. "Padahal dalam konstitusi, jelas, KPU itu lembaga nasional, tetap, mandiri," ucap Jimly di kantor DKPP, Gedung Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta, Rabu (8/6).

Menurut Jimly, satu-satunya lembaga yang harus berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR dalam penyusunan peraturan adalah KPU dan Bawaslu. Padahal UUD 1945 menyebut KPU bersifat mandiri, lebih konkret indepensinya, lebih eksplisit dibanding lembaga-lembaga lain. Misalnya Komnas HAM dan KPK tidak ada di konstitusi.

Jimly Asshiddiqie menilai UU Pilkada tak memuaskan karena terlalu terburu-buru sehingga tidak maksimal. Ia mencontohkan, soal definisi Pilkada pemilu satu putaran yang tidak dirinci dalam UU Pilkada. Padahal itu ada kaitannya dengan peradilan pemilu. Namun karena DPR buru-buru mensahkan UU Pilkada, maka tak semua tersentuh.

"Padahal mestinya tak usah terikat jadwal, kan UU walaupun tahapannya sudah jalan kan ada peralihan," ujar mantan ketua MK itu.

Dengan demikian kata Jimly, terbuka jika ada pihak yang ingin mengajukan judicial review ke MK. Namun dia menyebut tidak elok jika judicial review itu dilakukan KPU atau penyelenggara pemilu lain.

"Bagaimanapun KPU, Bawaslu, DKPP kan sudah pernah dimintai masukan. Walaupun masukannya itu, entah dibaca atau tidak. Itu soal kedua. Bahwa sebagai lembaga yang punya peran di bidang itu sudah dilibatkan, termasuk dengan Menko Polhukam juga saya datang," kata Jimly.

Sebagaimana diketahui, UU Pilkada disahkan pada Kamis (2/6) lalu, saat tahapan Pilkada yang disusun KPU sudah mulai berjalan. KPU selanjutnya akan menuangkan ketentuan dalam UU Pilkada dalam beberapa Peraturan KPU (PKPU). (dtc)

BACA JUGA: