JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota DPR sudah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala daerah (RUU Pilkada). Namun beberapa pasal yang disahkan pada Kamis (2/6) kemarin, menjadi sorotan para pegiat demokrasi. Pasal-pasal tersebut adalah terkait penambahan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Aturan itu dinilai menjadi problematik karena tidak ditunjang oleh UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Ada ketidaksinkronan dalam UU tersebut karena dalam UU Penyelenggara pemilu tidak memuatkan kewenangan, padahal sebaiknya itu dimasukkan ke dalam UU tersebut.

Pengamat politik Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai ada kelemahan dalam pasal itu. "Ada poin dalam pasal itu akan menjadi polemik. Pertama, pasal itu tidak ada dalam UU Penyelenggaraan Pemilu. Kedua, pasal itu akan ada penambahan peradilan," kata Ray Rangkuti dalam diskusi bertajuk "Revisi UU Pilkada : Turbulensi Kepentingan dan Pasungan Politik Pragmatis" yang diselenggarakan oleh PARA Syndicate di Jalan Wijaya Timur III, Jakarta Selatan, Jumat (3/6).

Di dalam pasal itu, Bawaslu diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutuskan dalam hal terdapat tindak pidana pemberian uang yang memengaruhi pemilih. Menurut Ray, kewenangan itu sangat rentan diselewengkan lantaran Bawaslu bertindak dalam tiga tugas sekaligus.

"Bawaslu menjadi penegak hukum. Dia menjadi jaksa penuntut, penyidik juga sekaligus menjadi hakimnya. Ini problematik sekali," tutur Ray.

Sementara itu, tugas Bawaslu juga dinilai sangat terbatas pada hal politik uang saja. Padahal tindak pidana pemilu bukan saja money politics, tetapi ada beberapa bentuk pidana pemilu yang juga tidak bisa ditindak oleh Bawaslu seperti menghalangi pemilih datang ke TPS, perusakan surat suara serta pencurian suara. "Kenapa hanya terbatas pada politik uang?" katanya.

Selain itu juga, Ray menilai Pasal 73 Ayat (1) tentang pendefinisian politik uang juga sangat memungkinkan untuk disalahgunakan. Kalimat dalam pasal itu masih menggantung sehingga perlu penjelasan yang konkret dan pembatasan agar tidak disalahgunakan.

Pasal itu berbunyi: "Calon dan tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberi uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu".

"Menurut saya ini pasal karet sekali. Pasal ini bisa dijadikan kelompok tertentu untuk disalahgunakan," tukasnya.

Ray menekankan perlunya rumusan lebih detil agar tidak disalahgunakan. Kalau tidak, sambung Ray, ini akan bisa ditarik sesuai kepentingan tertentu. "Kalimatnya memengaruhi, memengaruhi dalam rangka apa?," ini tidak jelas," tegasnya.

Selain itu Ray juga melihat soal ketentuan kuorum dalam paripurna kemarin. Menurut Ray, kuorum itu dihitung dari fisik anggota DPR yang ada dalam persidangan dengan jumlah 50 plus satu anggota DPR, bukan dari kehadiran sesuai absen sehingga bisa dianggap kuorum. Atas dasar itu Ray mempertanyakan keabsahan paripurna tersebut untuk mengesahkan UU Pilkada.

Saat ditanya apakah UU Pilkada hasil revisi ini bisa digugat, Ray mengatakan, itupun dilematis. "Kalau mau digugat, apa yang mau digugat orang UU-nya tidak sah. Kecuali nanti KPU melakukan tahapan pemilu dengan mendasarkan pada undang-undang tersebut baru bisa digugat," katanya.
KEMUNDURAN DEMOKRASI - Sementara itu, dalam forum yang sama, peneliti senior PARA Syndicate Toto Sugiarto juga menilai pengesahan UU Pilkada ini merupakan langkah mundur demokrasi. Dia menyebut misalnya, ada pasal yang membolehkan kandidat untuk memberikan uang transportasi kepada pemilih.

Konsekuensinya, kewenangan Bawaslu untuk menindaklanjuti money politics tidak bisa direalisasikan karena praktik money politics sebenarnya sudah "dilegalkan"oleh aturan itu. "Bawaslu sebenarnya mendapat kewenangan kosong. Karena, apa yang akan diberi sanksi itu sudah dilegalkan," kata Toto.

Toto mengakui, ada kewenangan Bawaslu seperti menyelidiki dana "sewa perahu" politisi kepada partai politik. Akan tetapi, Toto meragukan kemampuan Bawaslu untuk menjadi intelijen untuk mengetahui kebenaran transaksi itu. "Selama ini tidak pernah terjadi karena Bawaslu tidak memiliki kemampuan itu,"kata Toto.

Pengamat Etika dan Komunikasi Politik Benny Susetyo juga mensinyalir adanya kemunduran demokrasi saat pengambilan kebijakan. Romo Benny sapaan akrab Benny Susetyo, menilai hasil keputusan anggota DPR melalui undang-undang inipun lebih kental kepentingan penguasa dan pemilik modal ketimbang aspirasi masyarakat.

"Demokrasi kita masih dipasung oleh kapital dan partai politik. Kita masih berada dalam demokrasi kekuasaan sebenarnya,"kata Romo Benny.

Menurutnya, terjadi pemiskinan etika dalam politisi kita. Mereka bergerak bukan lagi atas pertimbangan etik sehingga demokrasi pun hanya menjadi aksesoris semata. Dia mencontohkan seorang mantan narapidana masih boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah, meskipun diwajibkan mengumumkan statusnya itu.

"Orang sudah terpidana pantas tidak mencalonkan diri? Tapi mereka berdalih tidak ada aturannya dalam undang-undang yang melarang. Memang tidak ada aturan pelarangan dalam konstitusi, namun secara etik, sangat tidak pantas. Karena etika itu adanya pada kepantasan, bukan dalam norma undang-undang," pungkasnya.

ATURAN KPU - Terkait adanya celah politik uang dalam UU Pilkada yang baru disahkan, Ketua DPR Ade Komarudin mempersilakan KPU menyusun aturan yang lebih rinci soal politik uang tersebut. "Yang masih perlu peraturan lebih lanjut, tugas KPU adalah untuk melengkapi lebih detil. Soal politik uang, buatlah peraturan KPU dan Bawaslu yang lebih detil. Tentu peraturan tidak bisa berlawanan dengan UU," kata pria yang akrab disapa Akom ini di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (3/6).

Revisi UU Pilkada disahkan pada paripurna DPR, Kamis (2/6) kemarin. Bila ada yang tidak puas dengan aturan tersebut, dipersilakan untuk mengajukan judicial review.

Namun, Akom mengingatkan bahwa tentunya partai politik tidak bisa menggugat UU itu sendiri. Hanya saja, bisa saja niat menggugat itu disampaikan lewat pihak lain.

"Jadi MK harus peka juga, berasal dari mana yang mengajukan. Kalau masyarakat pada umumnya yang tidak terlibat parpol mau Judicial review ya silakan," ujar politikus Golkar ini.

Di revisi UU Pilkada, meski sanksinya jadi lebih tegas, pengkategorian politik uang ternyata lebih longgar. Uang makan dan uang transpor yang diberikan calon ke peserta kampanye ternyata tidak dianggap sebagai politik uang.

Jumlahnya uang makan dan transpor pun tidak diatur di dalam UU. Hanya disebut agar sesuai kewajaran. "Yang tidak termasuk ´memberikan uang atau materi lainnya´ meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye saat pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan peraturan KPU," demikian bunyi penjelasan dari Pasal 73 Ayat (1) Revisi UU Pilkada. (dtc)

BACA JUGA: