JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR sudah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala daerah (RUU Pilkada). Namun UU Pilkada yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada 2017 itu berpotensi digugat. Politikus yang tak puas dengan hasil revisi tersebut bersiap melakukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti yang diungkapkan Almuzzammil Yusuf, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKS. Dia menilai pengesahan UU tersebut masih memiliki beberapa kekurangan. Poin dimana kepala daerah tak harus mengundurkan diri saat mencalonkan dan DPR harus mengundurkan diri masih dirasa mengganjal.

Menurutnya, penyalahgunaan kewenangan yang dianggap menodai asas langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) dalam pemilihan kepala daerah lebih berpotensi dilakukan para petahana. "Mereka itu jauh lebih berpengaruh untuk penyalahgunaan dibanding anggota DPR, DPD, dan DPRD," kata Muzzammil di Gedung DPR RI, Jumat (3/6).

Untuk itu ia menyatakan perubahan UU Pilkada ini amat mendesak apabila kualitas demokrasi di daerah ingin dibenahi. Apalagi ketika DPR menemukan dasar sosiologis, yuridis dan filosofis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan maka norma dalam UU tersebut dapat diajukan untuk diperbaiki.

Untuk itu ia dan partainya mendorong berbagai pihak yang belum puas terhadap hasil legislasi tersebut untuk mendatangi MK mengajukan uji materiil. "Bagi anggota DPR dan masyarakat yang tidak setuju dan merasa dirugikan ajukan uji materiil," katanya.

Ia berpendapat, dasar pemerintah untuk mengharuskan mundur para anggota DPR atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 itu tidaklah kuat. Sebab putusan MK tersebut tidak cocok jika harus dikaitkan dengan kewenangan DPR dalam membuat dan merevisi UU. Dan lebih cocok diberlakukan bagi PNS, TNI dan Polri karena berpotensi terganggu independensinya sebagai aparatur negara.

"Menurut kami ini tidak adil. Seharusnya calon kepala daerah yang menjabat sebagai anggota Dewan cukup mengambil cuti dan mundur dari jabatan pimpinan atau alat kelengkapan Dewan," ujar Muzzammil.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan Humphrey R. Djemat juga akan mengajukan judicial review UU Pilkada ke MK. Salah satu yang akan diuji materi adalah Pasal 40a Ayat (5) tentang penyelesaian sengketa partai politik, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.

"Untuk itu DPP PPP akan mengajukan judicial review terhadap UU Pilkada tersebut," kata Humphrey melalui keterangan tertulisnya, Jumat (3/6).

Menurut Humphrey yang juga menjabat Waketum PPP kubu Djan Faridz ini, apabila judicial review UU Pilkada ini dikabulkan, otomatis Menkumham wajib mengesahkan hasil Muktamar Jakarta. "Dan dengan sendirinya PPP Muktamar Jakarta yang berhak mengikuti Pilkada 2017," kata dia.

"Begitu pula apabila gugatan terhadap UU Pilkada tersebut dikabulkan Mahkamah Konstitusi, KPU wajib merevisi jadwal Pilkada disesuaikan dengan putusan MK terbaru," tambah Humphrey.

Pada Muktamar PPP di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur 8 April 2016 lalu yang menetapkan Romahurmuziy (Romi) sebagai ketua umum, Humphrey tak masuk dalam daftar kepengurusan DPP.

TAK PAHAM ATURAN - Niat Humphrey mengajukan uji materi UU Pilkada atas nama partainya disebut Sekjen PPP Arsul Sani tak paham aturan. Arsul kini duduk di Komisi III DPR. Dia juga merupakan Tim Kuasa Hukum DPR untuk perkara di MK.

Menurut Arsul, niat Humphrey mengajukan uji materi atas UU Pilkada, terutama Pasal 40a, menunjukkan ketidakpahaman atas aturan beracara di MK. "Kalau DF (Djan Faridz -red) atau Humphrey mau gugat dengan baju PPP, maka ya tidak bisa, karena PPP adalah parpol yang memiliki fraksi di DPR. Dan Fraksi PPP ikut membahas dan menyetujui RUU Pilkada untuk disahkan sebagai UU, baik dalam pembahasan tingkat Panja, Komisi II maupun di rapat paripurna DPR," kata Arsul kepada wartawan, Jumat (3/6).

Menurut Arsul, niat Humphrey menggugat UU Pilkada hanya manuver untuk mengganggu konsolidasi yang dilakukan PPP. Dia mengajak Djan dan Humphrey untuk islah.

"Adalah dosa besar terus-terusan menggunakan baju upaya hukum, tapi tujuan sebenarnya adalah melakukan destabilisasi PPP," pungkasnya.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga menyatakan DPR seharusnya tak patut mengajukan uji materiil sebab DPR dan pemerintah merupakan pembuat dari undang-undang tersebut. Bila itu dilakukan akan terjadi blunder ketika legislator malah menggugat hasil legislasinya.

Jika ada yang tidak setuju, maka yang diperbolehkan menggugat hanyalah masyarakat. Sedangkan pemerintah dan DPR tidak memiliki hak untuk menggugatnya. "DPR dan pemerintah bersama-sama menyusun UU, jadi tidak berhak menggugat," kata Tjahjo, Jakarta, Jumat (3/6).

Pasal yang mengharuskan anggota DPR untuk mundur jika mengikuti Pilkada, ditegaskannya tidak bisa direvisi oleh DPR dan pemerintah karena keputusan MK final dan mengikat. Dan masalah pro kontra merupakan hal yang wajar dan akan selalu ada. "Selalu ada pihak yang merasa tidak puas, itu pasti," kata Tjahjo. (dtc)

BACA JUGA: