JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Namun paripurna pengesahan yang dihadiri 238 anggota itu masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya pasal 9A tentang kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pasal perubahan ini ramai diributkan, karena dianggap melemahkan kewenangan KPU selaku lembaga yang diberi mandat UU menyelenggarakan pemilu. Kehadiran Pasal 9A membuat indenpendensi penyelenggara pemilu seperti KPU dikebiri kewenangannya. Adanya pasal tersebut, kemandirian dan independensi KPU dalam menyelenggara pemilu menjadi partaruhan. Pasalnya dalam uu itu disebutkan putusan KPU harus melalui konsultasi bersama DPR.

Ada pun bunyi pasal 9A menyatakan bahwa tugas dan wewenang KPU menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat.

Padahal pasal 22E UUD 1945 menyatakan  bahwa KPU bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sebagian kalangan menilai keberadaan pasal 9A itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya dalam aturan baru tersebut, kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu akan terbatasi karena harus melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menganggap RDP yang disyaratkan pada pasal 9A itu merupakan bentuk intervensi parlemen kepada KPU. Karena keputusan yang dihasilkan dalam rapat tersebut bersifat mengikat, sehingga konsekuensinya KPU atau Bawaslu harus tunduk pada kepentingan parlemen.

"Kontrol kan sudah ada mekanismenya. Kalau sampai ingin mengontrol pembuatan regulasi oleh penyelenggara itu namanya sudah bagian upaya memengaruhi," terang Titi kepada gresnews.com, Jumat (10/6).

Dia menilai, DPR belum seratus persen memberikan kewenangan kepada KPU. Itu terlihat dari minimnya kewenangan KPU untuk membuat aturan secara mandiri tentang penyelenggaraan Pemilu. Dengan begitu, KPU pada dasarnya dikunci wewenangnya melalui pasal 9A itu.

"DPR dan Pemerintah tidak percaya pada KPU dan Bawaslu untuk mengatur penyelenggaraan pemilu. Jadi kewenangan membentuk peraturan diberikan, tapi implementasinya diikat," kata Titi.

Titi melihat aturan ini berdampak pada kualitas pemilu yang akan diselenggarakan pada awal tahun mendatang. Seharusnya, KPU diberi keleluasaan untuk membuat regulasi secara mandiri tanpa intervensi pihak mana pun. Meskipun hasil peraturan yang dibuat bertentangan dengan perundang-undangan lainnya, biarkan itu diselesaikan sesuai mekanisme kontrol secara konstitusional.

"Mestinya DPR dan Pemerintah tidak perlu campur tangan pembuatan kebijakan oleh KPU dan Bawaslu. Kalau KPU dan Bawaslu melanggar UU dan peraturan di atasnya, kan tinggal lakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," tuturnya.

Terhadap pasal tersebut, komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiansyah juga berpikir untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ferry menyatakan seharusnya sesuai dengan konstitusi KPU tidak bisa diintervensi oleh lambaga apa pun untuk menjaga kualitas pemilu yang baik. Jika di intervensi, Ferry khawatir keputusan yang diambil nanti, akan menyesuaikan dengan kebutuhan parlemen.

POLITIK INTERVENSI PARTAI - Hal senada juga disampaikan pengamat politik Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti. Ray mengatakan UU Pilkada yang diparipurnakan  pekan lalu, masih dibayangi dominasi partai politik. Parpol masih berkepentingan bermain dalam pilkada.

Pasal 9A dalam UU Pilkada, lanjut Ray, tidak memberi ruang bagi penyelenggara pemilu bersikap mandiri. Dia memastikan intervensi DPR melalui kemasan RDP yang bersifat mengikat pasti akan merusak independensi KPU. Padahal regulasi pada tataran teknis mestinya tidak boleh dicampuri oleh DPR.

"Pembuatan aturan terkait teknis pilkada sudah sepenuhnya menjadi kewenangan KPU,"ujar Ray kepada gresnews.com, Jumat (10/6).

Selain itu, sistem rapat konsultasi antara KPU dan DPR juga tidak dikenal dalam sistem tata negara kita. Bahkan kalau dipaksakan akan membuat wewenang lembaga saling bertabrakan satu sama lain, hingga menjadi semakin rancu.

Jika DPR terlibat dalam proses pembuatan peraturan di bawahnya, maka tak perlu lagi aturan di bawah UU. Karena aturan teknis yang diamanatkan UU akan menghasilkan produk yang sama.

"Apakah DPR boleh membuat aturan bersama di luar pemerintah. Kalau boleh, apakah ini juga dianggap sebagai produk legislasi?,"tanya Ray.

Keterlibatan itu, menurut Ray, membuat kerancuan jika DPR dilibatkan dalam membahas aturan teknis bersama KPU.

BACA JUGA: