JAKARTA - Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak sudah memasuki tahap masa tenang. Berbagai persiapan telah dilakukan pihak-pihak terkait untuk menyukseskan kontestasi demokrasi lokal yang akan diselenggarakan pada 27 Juni 2018 itu. Namun, baik penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta jajarannya hingga tingkat bawah di daerah, masyarakat pemilih, pihak keamanan, media-media massa, serta pemangku kepentingan terkait, harus mencermati potensi-potensi pelanggaran, kecurangan-kecurangan, bahkan tindakan-tindakan kontrademokrasi. 

Berikut ini beberapa potensi yang dapat menodai proses berjalannya penyelenggaraan Pilkada serentak yang harus diperhatikan pada masa tenang menjelang pemungutan suara, saat pemungutan suara, dan setelah penghitungan suara:

1. Potensi pelanggaran pada masa tenang menurut pengalaman kami adalah banyak oknum baik dari Tim Sukses maupun pendukungnya (Baca: orang suruhan) bergerak memasuki kantong-kantong suara untuk membagikan sembako, sejumlah uang, atau perangkat ibadah yang tertempel gambar pasangan calon (paslon). Modus ini cukup efektif untuk mengubah pilihan pemilih. Dalam waktu semalam, pemilih dapat berubah pikiran, walau sudah menetapkan pilihan jauh-jauh hari sebelumnya;

2. Masih banyak terpampangnya alat peraga kampanye yang belum dibersihkan oleh Panitia Pengawas (Panwas) atau Satuan Polisi Pamong Praja setempat, bahkan sehari menjelang hari H, banyak oknum menempelkan poster, stiker, dan lainnya di dekat lokasi TPS atau jalan maupun akses menuju TPS;

3. Mobilisasi pemilih yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada masa tenang menurut pengalaman Pilkada lalu, ada saja ASN dengan dalih kegiatan tertentu mengajak warga berkumpul untuk mengarahkan pemilih memilih paslon tertentu, bahkan sedikit mengintimidasi. Yang paling rawan adalah di tingkat kelurahan atau nama lainnya;

4. Penimbunan surat undangan pemilih atau formulir C6. Modus ini sangat banyak ditemukan pada masa-masa tenang Pilkada. Tujuannya adalah untuk membingungkan pemilih mengenai lokasi tempat memilih, membuat pemilih kehilangan hak pilihnya, dan membuka peluang masuknya “pemilih siluman”;

5. Mobilisasi pemilih fiktif dengan penyalahgunaan E-KTP palsu atau surat keterangan (SUKET) dikarenakan kurang akuratnya atau kacaunya penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT);

6. Logistik yang tidak tepat sasaran, tidak tepat jumlah, tidak terjaga keamanannya, keterlambatan logistik – bisa terjadi karena kelalaian petugas atau kesengajaan - , serta ketidakseimbangan jumlah pemilih di TPS dapat menyebabkan kurangnya surat suara;

7. Ketidakpahaman dan kelalaian penyelenggara tingkat bawah, yakni KPPS, ketika ada pemilih yang memenuhi syarat memilih akan tetapi tidak dapat memilih, seperti pemilih yang belum terdaftar di DPT namun memiliki E-KTP, atau pindah domisili, dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan potensi konflik di wilayah tersebut;

8. Independensi penyelenggara harus diawasi dengan ketat. Pengalaman pada Pilkada-Pilkada lalu terjadi di TPS-TPS penggiringan pemilih untuk memilih paslon tertentu, perubahan angka perolehan suara di tingkat kecamatan. Seperti misalnya pemalsuan dan perubahan  Form C1.  Formulir C1 adalah dokumen pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang dibuat oleh petugas TPS, sebagai berita acara pemungutan dan penghitungan suara yang di dalamnya tertuang hasil dari perolehan suara setiap pasangan calon yang bertarung dalam pilkada. Sebagai contoh pada Pilkada Halmahera Selatan, Maluku Utara Tahun 2015;

9. Intimidasi berbentuk hasutan kebencian atau SARA sangat kuat dalam Pilkada kali ini. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang kemungkinan disusupi visi dan misi paslon, karena dalam masa tenang, kegiatan keagamaan bukan kategori yang dilarang oleh pihak berwenang;

10. Potensi konflik pasca pemungutan suara. Di beberapa daerah rawan sudah terjadi konflik, seperti salah satunya bentrok antar Timses di Empat Lawang, Sumatera Selatan yang memakan korban jiwa karena tertembak. Pengkondisian konflik terbuka paslon dan pendukungnya yang tidak siap kalah harus segera diantisipasi;

11. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sengaja oleh pihak paslon lawan dengan tujuan untuk menjatuhkan rivalnya sebagai pengkondisian pragugatan.

Girindra Sandino
Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI)

 Anda mempunyai ide dan karya yang orisinil, cerdas, dan mencerahkan yang senafas dengan misi kami untuk melakukan pembaharuan hukum-politik Indonesia, silakan kirimkan tulisan, foto, video atau segala bentuk ekspresi kreatif lainnya melalui email: [email protected].

BACA JUGA: