JAKARTA - Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Joko Soegiarto Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte mengungkapkan, penghapusan red notice merupakan kekeliruan stafnya yang masih baru. Menurutnya seharusnya yang terjadi bukan penghapusan red notice.

"Harusnya grounded bukan penghapusan. Itu keliru. Saya akui mereka (staf saya) ini masih baru di NCB Interpol," kata Napoleon saat menjalani sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dihadiri Gresnews.com, Senin (8/2/2021).

Fakta tersebut terungkap bermula dari pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Napoleon terkait permintaan Anna Boentaran, istri Joko Tjandra untuk menghapus status red notice.

Mantan Kadiv Hubinter Polri itu mengaku kaget saat mengetahui status red notice Joko Tjandra sudah terhapus. Namun, dengan berat hati memaklumi kesalahan stafnya itu. Menurutnya, kesalahan teknis memang kerap kali dilakukan staf baru.

"Saat menerima surat, saya kaget, kok begini bahasanya, terhapus. Waduh ini mereka ada kesalahan administratif. Tidak tepat ini," ujarnya.

Napoleon mengakui bahwa pihaknya belum bekerja secara maksimal dalam menangani persoalan itu. "Memang begitulah yang tadi kami akui, staf kami belum sempurna, proses. Makanya saya sebagai komandan dihukum karena gagal mengawasi," kata Napoleon.

Kemudian, anggota Tim JPU mencecar pertanyaan kembali kepada Napoleon. "(Apakah) tidak ada niat kesengajaan untuk menutupi?," kata Jaksa.

Napoleon menepis kesalahan tersebut merupakan suatu kesengajaan. Dia mengklaim tidak berniat melindungi Joko Tjandra.

"Kesengajaan saya? tidak ada pak. Saya bilang ke staf saya, ingat ya saya cukup lama di NCB interpol, tapi tugas saya tidak untuk mengatasi masalah teknis seperti ini. Itu di luar nalar saya," ujarnya.

"Saya tidak ada niat memfasilitasi Djoko Tjandra. Kalau saya tahu dia (Joko Tjandra) datang tanggal 6 itu, saya tangkap," kata Napoleon.

Justru dia mengklaim, jika berhasil menangkap Joko, maka Napoleon akan diganjar naik pangkat menjadi bintang tiga.

"Tidak ada. Kalau saya tahu dia (Joko Tjandra) datang (ke Indonesia), saya tangkap. Naik karier saya, mungkin sekarang jadi bintang tiga," jawab Napoleon.

Menurutnya, semua kasus red notice Joko Tjandra berawal ketika NCB Interpol Indonesia mengirimkan surat kepada Kejaksaan Agung pada 14 April 2020.

Surat tersebut dilayangkan terkait masa perpanjangan status red notice Joko Tjandra yang habis dalam lima tahun.

"Masalah ini bermula inisiasi NCB Interpol bersurat kepada Kejaksaan, apakah masih butuh status Joko Tjandra. Tanpa surat 14 April, semua nggak ada yang tahu status Joko Tjandra ke mana-mana, semua hening, yang kemudian bergulir ke sana-sini," tutur Napoleon.

Atas hal tersebut, "Pemain utama adalah NCB Interpol." Napoleon menyatakan tidak terima bila dirinya dikatakan sebagai pemain utama dari kasus itu.

Atas perkara ini, Joko Tjandra diduga menyuap Napoleon dan Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo untuk menghapus namanya dari daftar buronan agar bisa masuk ke Indonesia.

Itu dilakukan agar Joko Tjandra dapat mendaftarkan Peninjauan Kembali kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Perbuatan tersebut dilakukan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi. Berdasarkan kesaksian Tommy, uang sebanyak US$370 ribu dan Sing$200 ribu diberikan kepada Napoleon, sedangkan US$150 ribu untuk Prasetijo.

Dalam perkara ini, Terdakwa Irjenpol Napoleon Bonaparte dan Brigjenpol Prasetijo Utomo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: