JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta majelis hakim menolak seluruh pleidoi atau nota pembelaan terdakwa Bos Mulia Goup, Joko Soegiarto Tjandra terkait perkara penghapusan red notice dan daftar pencarian orang (DPO) dalam pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).

JPU menyampaikan hal itu dalam sidang beragenda pembacaan duplik terhadap pledoi Joko Tjandra yang merasa keberatan atas tuntutan jaksa 4 tahun penjara.

"Kami JPU berkesimpulan nota pembelaan terdakwa tidak didukung oleh argumentasi atau alasan kuat oleh karena itu JPU tetap berada pada kesimpulan dalam tuntutan sebelumnya yang telah kami bacakan sidang hari Kamis 4 Maret 2020," kata Tim Anggota JPU di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (22/3/2021).

Sebelumnya Jaksa menguraikan alasan penolakan pledoi Joko Tjandra terkait pengurusan fatwa MA terdakwa menjadi korban penipuan yang dilakukan saksi Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.

Berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi-saksi dalam beberapa kali pertemuan antara terdakwa Joko dengan Pinangki dan Andi dilakukan dalam rangka meminta fatwa MA agar pidana penjara terhadap terdakwa tidak bisa dieksekusi.

Terlihat jelas kesamaan kehendak yang kemudian menjadi kesepakatan antara terdakwa dengan Pinangki dan Andi Irfan Jaya. Bahkan terdakwa juga meminta dibuatkan proposal untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang dilakukan dalam rangka meminta fatwa MA.

Diwujudkan dalam action plan dengan biaya awal US$1 juta dan terdakwa bersedia berikan uang muka US$500 yang dibayarkan melalui Hariadi Wijaya Kusuma.

"Sehingga kami berpendapat bahwa pembelaan yang menyatakan terdakwa sebagai korban penipuan sangat tidak mendasar," jelasnya.

Kemudian mengenai locus delicti, pihak Joko mengatakan bahwa terkait dengan penghapusan red notice dan DPO di Imigrasi dilakukan di Malaysia, sehingga berkaitan dengan locus delicti tindak pidana adalah di negara tersebut.

Berdasarkan fakta yakni dari keterangan saksi ahli petunjuk yang diajukan, pernyataan tersebut salah. Alasannya, pertama pemberian uang kepada mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo melalui Tommy Sumardi yang masing-masing diberikan di ruang kerja Napoleon Bonaparte di gedung TNCC Mabes Polri di Jakarta.

Rinciannya, tanggal 28 April 2020 sebesar Sing$200 ribu, 29 April US$100 ribu, 4 Mei 2020 US$150 ribu, dan 4 Mei 2020 sebesar US$70 ribu.

Pemberian uang kepada Napoleon dan Prasetijo oleh Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi diberikan di dekat area parkir gedung TNCC Mabes Polri sebesar US$50 ribu dan di ruang kerja Prasetijo di Bareskrim polri sebesar US$50 ribu.

Sedangkan untuk pemberian uang sebesar US$500 ribu dari Joko yang diberikan melalui Hariadi Kusuma kepada Andi Irfan Jaya yang kemudian diserahkan kepada Pinangki bertempat di Mall Senayan city tanggal 26 November 2019.

"Sehingga kami berpendapat terkait pembelajaran yang menyatakan bahwa locus delicti yang disampaikan terdakwa di Malaysia adalah kekeliruan," ujarnya.

Selain itu, Jaksa juga menolak pledoi Joko Tjandra yang menegaskan bukan uang suap namun uang konsultan fee yang diserahkan terdakwa kepada Tomy Sumardi untuk penghapusan red notice dan DPO di imigrasi.

Begitu juga uang yang diberikan kepada Andi Irfan Jaya, dan Pinangki Sirna Malasari melalui Hariadi Angga Kusuma adalah konsultan fee untuk biaya pembuatan pengurusan fatwa ke MA agar pidana yang dijatuhkan kepada Joko Tjandra tidak bisa dieksekusi.

"Sehingga kami berpendapat bahwa pembelaan yang menyatakan terdakwa atas pembelaan memberikan uang tersebut sebagai konsultan fee sangat tidak mendasar dan tidak beralasan sehingga harus dikesampingkan," tuturnya.

Kemudian, kata Jaksa bahwa surat tuntutan Jaksa telah di uraikan secara jelas dan tegas mengenai pasal yang dilanggar terdakwa. Sehingga
Jaksa berketetapan pada kesimpulan dalam tuntutannya yang menuntut Joko Tjandra selama 4 tahun penjara.

Sebelumnya Joko Tjandra mengklaim kalau dirinya adalah korban penipuan dari Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya. Hal itu disampaikan dalam nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan empat tahun penjara dari jaksa.

"Putusan PK Mahkamah Agung RI Nomor:12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang diawali oleh pengajuan permohonan PK oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan jelas dan terang merupakan pelanggaran KUHAP tentang PK yang berakibat terjadi miscarriage of justice (peradilan sesat), ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Joko Tjandra dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (15/3).

Menurutnya, putusan terhadap kasus cassie bank bali dengan hukuman 2 tahun menjadikan dirinya buronan di Indonesia. Namun, ketika ingin kembali ke Indonesia dalam keadaan bebas, dia ditawari oleh seorang jaksa bernama Pinangki dan seorang lain bernama Rahmat.

"Harapan dan kerinduan saya untuk pulang ke tanah air Indonesia yang saya cintai ini telah pula dimanfaatkan orang lain untuk menipu saya. Harapan dan kerinduan saya untuk pulang ke tanah air Indonesia telah menghantar saya pula ke kursi Terdakwa ini, sehingga menjadi korban dari harapan dan kerinduan itu sendiri, karena termakan janji-janji, iming-iming yang ternyata tidak lebih dari suatu penipuan belaka," ujarnya.

Oleh karena itu, Joko menilai kalau tuntutan jaksa terlalu berat dan tidak berdasarkan dakwaan yang sesuai fakta sebenarnya. Dia menyebut Pinangki Sirna Malasari dan Rahmat yang berinisiatif mengajukan bantuan kepadanya di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dalam perkara ini, Joko Tjandra didakwa melakukan dua dakwaan. Pertama, Joko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah US$500 ribu, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah Sing$200 ribu dan US$270 ribu serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai US$150 ribu.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.

Terkait perkara ini, jaksa Pinangki sudah divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, Irjen Pol Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Brigjen Prasetijo Utomo divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan, Tommy Sumardi divonis 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. (G-2)

BACA JUGA: