JAKARTA - Joko Tjandra merasa menjadi korban dalam perkara dugaan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Joko menyusun pledoi yang diberinya judul "Menanggung Beban Sebagai Korban Atas Penipuan Orang Lain".

Adapun agenda hari ini pembacaan pledoi atau nota pembelaan Joko Tjandra dihadapan majelis hakim. Dimana, Joko pada sidang sebelumnya telah dituntut hukuman oleh jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejasaan Agung selama 4 tahun penjara.

Ia tidak terima dituntut 4 tahun penjara dan mengklaim telah menjadi korban tipu-tipu dari seorang Pinangki Sirna Malasari.

Joko Tjandra membacakan nota keberatan atau pleidoi dalam persidangan itu mengaku menjadi korban peradilan sesat atas Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009. Putusan itu berkaitan dengan perkara lawas yang menjerat Joko Tjandra dalam perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Putusan itu mengharuskan Joko Tjandra menjalani hukuman 2 tahun penjara tetapi ia malah kabur ke luar negeri.

Selanjutnya Joko Tjandra mengungkapkan setelah upaya hukum PK yang pernah dia ajukan itu ditolak, ia tidak punya harapan lagi untuk pulang ke tanah air Indonesia yang dicintainya.

Tidak ada lagi harapan untuk kumpul bersama-sama dengan semua keluarga di Indonesia. Tidak ada lagi ada harapan untuk bisa nyekar ke makam orang tua. Tidak ada lagi ada harapan untuk menghabiskan masa tua dan meninggal di tanah air Indonesia tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

"Tidak lagi bisa saya mengatakan kepada cucu-cucu saya bahwa mereka harus mencintai tanah air Indonesia, sementara saya tinggal di luar negeri," kata Joko Tjandra dipersidangan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dihadiri Gresnews.com, Senin (15/3/2021).

Kemudian, Joko mengungkapkan fakta-fakta, pertama, bukan dia yang mencari Pinangki Sirna Malasari untuk meminta bantuannya menyelesaikan persoalan hukumnya.

Pinangki Sirna Malasari, lewat Rahmat, yang memiliki inisiatif untuk datang bertemu di Kuala Lumpur, Malaysia, menawarkan bantuan dan menjanjikan  menyelesaikan persoalan hukum lewat jalur Fatwa Mahkamah Agung. Fatwa MA ini untuk menindaklanjuti Putusan MK No : 33 Tahun 2016 dengan tujuan agar Putusan PK No : 12 Tahun 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.

Kedua, Pinangki yang merekomendasikan dan membawa sahabatnya, Anita Dewi A. Kolopaking, untuk menjadi pengacara Joko. Kemudian dia mengajak Andi Irfan Jaya yang disebutnya sebagai konsultan swasta.

Mereka bertigalah yang  mengurus Fatwa Mahkamah Agung sebagaimana dijanjikan Pinangki Sirna Malasari. Secara tegas dia katakan kepada mereka bertiga bahwa Joko tidak ingin membuat kesepakatan/perjanjian dengan Pinangki Sirna Malasari karena dia adalah seorang jaksa.

"Hal ini juga saya sampaikan dalam pertemuan saya dengan Rahmat dan Pinangki Sirna Malasari. Penolakan saya tersebut diketahui dan disetujui oleh mereka dan kemudian disepakati bahwa saya hanya berurusan dengan Anita Dewi A. Kolopaking dan Saudara Andi Irfan Jaya," jelasnya.

Selain itu,  uang US$1 juta adalah consultant fee dan lawyer fee yang disepakati untuk pengurusan Fatwa MA sampai selesai. Joko diminta untuk membayar uang muka sebesar US$500 ribu dan dibayarkan kepada Andi Irfan Jaya.

Karena besarnya harapan Joko untuk bisa kembali ke tanah air dan percaya kepada janji Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan bahwa dengan Fatwa Mahkamah Agung guna menindaklanjuti Putusan MK Nomor : 33 Tahun 2016 dengan tujuan agar Putusan PK No : 12 tahun 2009 tidak bisa dieksekusi.

Atas hal itu Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana penjara, maka dengan berat hati dia melakukan pembayaran uang muka sebesar US$500 ribu dengan minta tolong kepada  Herrijadi Anggakusuma untuk membayar kepada  Andi Irfan Jaya.

"Keempat, uang sebesar US$500 ribu itu bukan uang suap kepada Pinangki Sirna Malasari, dan sama sekali tidak dimaksudkan sebagai uang suap," ujarnya.

"Pembayaran uang US$500 ribu tersebut bukan sebagai pemberian hadiah kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai pegawai negeri. Sebab jika disebut sebagai pemberian hadiah, pertanyaannya adalah hadiah karena apa? Apa alasan/dasar pemberian hadiah tersebut? Sama sekali tidak ada," sambungnya.

Maksud dan tujuan pemberian uang sebesar US$500 ribu lewat Saudara Herrijadi Anggakusuma kepada Saudara Andi Irfan Jaya adalah sebagai pembayaran uang muka consultant fee dan lawyer fee sebesar US$1 juta untuk pengurusan Fatwa Mahkamah Agung. Di dalam jumlah sebesar US$500 ribu tersebut termasuk lawyer fee untuk Anita Dewi A. Kolopaking.

Joko juga mengaku turut menolak action plan yang ditawarkan Andi Irfan Jaya karena dianggap tidak masuk akal dan hanya sebagai penipuan belaka. Dengan mencermati action plan tersebut, dia sadar bahwa sebenarnya telah menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi Fatwa Mahkamah Agung.

Joko Tjandra memohon kepada majelis hakim untuk menolak pembuktian yang dilakukan Penuntut Umum dengan menyatakan bahwa surat tuntutan tersebut bukan untuk keadilan, tetapi untuk ketidakadilan, sehingga Dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Kemudian Joko Tjandra meminta kepada majelis hakim untuk membebaskannya dari tuntutan. "Membebaskan saya, Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, dari semua dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum," tegasnya.

Jaksa Penuntut Umum meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Joko Tjandra. Penuntut Umum menyatakan terdakwa perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.

Selain terbukti bersalah, dalam amar tuntutan, penuntut umum juga menolak permohonan Joko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021. Penuntut umum menganggap Joko Tjandra merupakan pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara.

Hal tersebut karena Joko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap. "Menyatakan permohonan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra untuk menjadi justice collaborator tidak diterima," ucap dia.

Joko Tjandra didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.  (G-2)

BACA JUGA: