JAKARTA - Terdakwa Andi Irfan Jaya tak menerima bila dituduh sebagai pembuat action plan dan bersikeras tidak merasa bersalah dalam perkara gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Joko Tjandra.

Pernyataan itu disampaikan "Ketika saya dituduh melakukan sebuah kejahatan dengan membuat yang namanya action plan maka saya tegaskan kembali. Demi Allah, Tuhan Yang Maha Segalanya, itu bukan saya," kata Andi saat membacakan pledoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat yang diikuti Gresnews.com, Senin (4/1/2021).

Menurut mantan politikus NasDem ini tidak mungkin orang dengan kualifikasi dan kualitas sepertinya mampu membuat perencanaan terkait langkah hukum sebagaimana yang telah disampaikan dalam persidangan.

"Bahkan nalar saya hingga hari ini sangat sulit untuk menerima pendapat beberapa saksi yang menuduh saya membuat action plan. Terlebih saya berada di antara 2 (dua) orang doktor ilmu hukum yang berprofesi di bidang hukum pula," jelasnya.

Sementara, kata Andi Irfan, dirinya sebagai tertuduh hanyalah seorang alumni S1 jurusan Pendidikan Seni Musik yang berprofesi sebagai pengusaha kuliner.

Begitu pula terkait dengan pemberian dan penerimaan uang sebagaimana yang disebutkan dalam tuntutan dan persidangan sebelumnya.

"Maka kembali saya tegaskan bahwa saya sama sekali tidak pernah menerima satu sen pun, baik dari Bapak Joko Tjandra maupun dari seseorang yang bernama Heryadi Angga Kusuma yang bahkan namanya tidak pernah dibahas panjang dalam persidangan," tegas Andi Irfan.

Selain itu, Ia mengatakan, jangankan menerima uang dari Heryadi Angga Kusuma, bertemu pun tak pernah. Jangankan bertemu, berkomunikasi pun tak pernah. Jangankan berkomunikasi, saling kenal pun tidak. Jangankan kenal, saya bahkan baru mengenal nama Heriyadi Angga Kusuma saat diperiksa sebagai tersangka untuk terakhir kalinya.

"Dan sampai sidang ini tidak ada dua alat bukti yang menunjukkan kebenaran tuduhan dan tuntutan ini," tuturnya.

Kemudian, terkait keterangan yang menyebutkan Andi Irfan sebagai konsultan Joko Tjandra. Dia meluruskan bahwa ia memang pernah berprofesi sebagai seorang konsultan.

Namun proresi tersebut adalah profesi konsultan pada salah satu lembaga survei yang tidak ada keterkaitannya dengan bidang hukum.

"Maka sangat aneh rasanya, jika saya dituduh menerima uang dari Bapak Joko Tjandra sebagai fee konsultan. Padahal saya sendiri sama sekali tidak pernah menawarkan diri atau merasa ditawarkan sebagai seorang konsultan kepada Bapak Joko Tjandra," cetusnya.

Andi Irfan menegaskan kembali bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindakan atau kegiatan apapun sebagai seorang konsultan untuk membantu permasalahan hukum Joko Tjandra. Suatu permasalahan yang olehnya sendiri tidak paham akan hal tersebut.

"Bagaimana mungkin saya dituduh sebagai seorang konsultan dan menerima fee (uang) sedangkan pertemuan saya dengan Bapak Joko Tjandra hanya berlangsung selama kurang lebih 1-2 jam?," ujarnya.

Selain itu, dari pengakuan para saksi yang jelas dan terang-terangan mengubah pernyataan mereka. Tidak ada satu bukti apapun, baik itu surat kuasa atau perjanjian sebagaimana lazimnya seseorang yang sedang bekerjasama, yang bisa menunjukkan Andi Irfan sebagai konsultan Joko Tjandra.

Berbeda dengan saksi Anita Kolopaking yang berdasarkan fakta persidangan ini terungkap. Bahwa dia memang bekerja sebagai pengacara dari Joko Tjandra yang diikat dengan surat kuasa khusus.

Ketika Andi Irfan berangkat ke Malaysia untuk menemani sahabatnya dan mengirimkan surat kuasa jual kepada Joko Tjandra sebagai bentuk penolakan dirinya dipandang sebagai sebuah kejahatan. Maka dirinya nyaris kehabisan
kata-kata dan tak thau lagi bagaimana sebenarnya hukum berjalan sehingga bisa tersesat sejauh itu.

"Saya tidak pernah merugikan orang lain. Apalagi sampai mengakibatkan kerugian negara. Saya tak pernah mencoba untuk merusak sistem hukum," tandasnya.

Dalam pledoinya, Andi mengaku menyesal karena tergiur bujukan Pinangki bersama pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking untuk ikut menemui Joko Tjandra di Malaysia pada 25 November 2019 lalu.

"Saya menyesal, karena terlalu mudah tertarik dengan ajakan sahabat saya sendiri untuk berangkat tanpa ada niat dan maksud tertentu," kata Andi.

Dia juga mengakui tidak meminta izin ketika berangkat ke Malaysia kepada istri dan anaknya yang berumur sembilan tahun. Buntut dari tindakan itu, Andi mengaku meminta maaf karena tak bisa berada dengan keluarga tercintanya karena harus mendekam di penjara.

Andi pun mengaku menyesal atas perbuatannya. Hingga, anak dan istrinya menjadi korban yang bahkan tidak tahu apapun tentang perbuatannya sendiri.

Andi pun berharap dalam putusan majelis hakim dapat mempertimbangkan nota pembelaan yang disampaikannya. Apalagi, kata Andi, majelis hakim dapat memutus perkara yang menjeratnya secara adil.

Sebelumnya, Andi Irfan Jaya dituntut hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider empat bulan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung, pada Senin (28/12/2020).

Jaksa menilai Andi Irfan telah terbukti secara sah dan menurut hukum menjadi perantara suap sebesar US$500 ribu yang diterima Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Joko Tjandra.

Andi Irfan juga terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan Pinangki dan Joko untuk melakukan tindak pidana korupsi melalui rencana action plan dengan menjanjikan uang US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Atas perbuatannya itu, Andi Irfan Jaya dituntut oleh Jaksa dengan ancaman pidana Pasal 15 Jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana. (G-2)

BACA JUGA: