JAKARTA - Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI) dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI. Tindakan pemerintah itu pun memancing kritik dari beberapa pihak. Dasar pembubaran FPI dinilai tidak kuat.

Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon memandang keputusan pemerintah itu merupakan pembunuhan terhadap demokrasi dan penyelewengan konstitusi.

Melalui akun Twitter @fadlizon, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR menegaskan pembubaran FPI adalah praktik otoritarianisme (sewenang-wenang).

"Sebuah pelarangan organisasi tanpa proses pengadilan adalah praktik otoritarianisme. Ini pembunuhunan terhadap demokrasi dan telah menyelewengkan konstitusi," kata Fadli.

Pengajar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chaerul Huda juga menilai dasar pelarangan FPI untuk beraktivitas tidak cukup kuat.

"Ya, sebenarnya aneh bin ajaib! Karena pembentukan organisasi kemasyarakatan itu kan didasarkan pada hak kontitusional warga negara," kata Huda kepada Gresnews.com, Rabu (30/12/2020).

Menurut Huda, bila ada orang yang dilarang membentuk organisasi, berdasarkan pengalaman sejarah, melalui TAP/MPR. Misalnya penetapan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan diatur dalam TAP MPR.

"Kalau sekarang, pelarangan itu berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB), saya tidak tahu itu dasar perundang-undangannya apa sehingga dia bisa mengeluarkan SKB itu," jelasnya.

Jika melihat kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang memang organisasi terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, wajar bila dicabut tanda bukti pendaftarannya. Berbeda dengan FPI yang bukan organisasi terdaftar. "Kok tiba-tiba dilarang," cetusnya.

Huda menerangkan bila pemerintah mengacu pada pembubaran Masyumi yang menggunakan Penetapan Presiden, hal itu justru menunjukkan kemunduran. Pembubaran Masyumi terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. "Jadi dari segi demokrasi sebenarnya kita menuju atau berada pada keadaan yang mundur," ujar Huda.

Ia melanjutkan, fakta-fakta menunjukkan bahwa mudah sekali pemerintah untuk melaksanakan kehendaknya. Termasuk dengan membubarkan sebuah organisasi yang dianggap berbeda haluan atau bertentangan dengan kepentingan pemerintah.

"Berarti kan kita tidak lagi berada di dalam sebuah suasana yang mencerminkan supremasi hukum. Atau sering disebut sebagai sebuah negara yang otoritarian," ujarnya.

Huda pun menegaskan argumen pemerintah yang mengkaitkan dasar pelarangan FPI karena ada kegiatan-kegiatan yang dianggap bertentangan dengan hukum juga rancu. Bila ada hal yang bertentangan dengan hukum maka yang seharusnya dihukum adalah hal yang bertentangan dengan hukum itu. "Nah, ini yang bertentangan dengan hukum kan belum pernah dihukum. Kok tiba-tiba dianggap sebagai dasar pembubaran," pungkasnya.

Politikus Gerindra lainnya, Habiburokhman, mempertanyakan apakah pembubaran FPI sudah sesuai UU yang berlaku. Dia juga mempertanyakan apakah pemerintah telah mengonfirmasi tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada FPI.

"Kami mempertanyakan apakah pembubaran FPI ini sudah dilakukan sesuai mekanisme UU Ormas, khususnya Pasal 61, yang harus melalui proses peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan pencabutan status badan hukum," sebut Habiburokhman dalam keterangannya kepada wartawan.

Meski demikian, Habiburokhman sepakat dengan spirit pemerintah untuk melawan radikalisme. Namun dia menilai segala tindakan hukum harus sesuai hukum yang berlaku juga.

"Kami sepakat dengan semangat pemerintah agar jangan ada organisasi yang dijadikan wadah bangkitnya radikalisme dan intoleransi, namun setiap keputusan hukum haruslah dilakukan dengan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku," ucap dia.

Pemerintah secara resmi telah melarang segala bentuk kegiatan dan penggunaan simbol FPI. Pembubaran dan penghentian kegiatan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.

Isi SKB itu dibacakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (30/12/2020).

Dalam SKB disebutkan, ada enam hal yang menjadi pertimbangan pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan menghentikan kegiatan FPI.

Pertama, adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-undang Ormas.

Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT.

"Oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar," ujar Eddy.

Keempat, bahwa organisasi kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan Pasal 5 huruf g, Pasal 6 huruf f, Pasal 21 huruf b dan d, Pasal 59 Ayat (3) huruf a, c, dan d, Pasal 59 Ayat (4) huruf c, dan Pasal 82A Undang-undang Ormas.

Kelima, bahwa pengurus dan/atau anggota FPI, maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdsarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme. Dari angka ini, 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. "Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana," kata Eddy.

Pertimbangan keenam, telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggota FPI yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat. Padahal, sebenarnya kegiatan itu menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum.

"Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam," kata Eddy. (G-2)

BACA JUGA: